Setelah tangisan di depan kelas itu, bullying untuk Ovie mereda. Teman-teman mulai sering mengajak Ovie bicara.
Bahkan, beberapa keanehan mulai terjadi. Contohnya, saat Pak Guru memberi perintah untuk membentuk tim masing-masing hari ini.
"Vie, mau masuk team kami, nggak?" Intan bertanya.
Sementara lima anak lain sama-sama menoleh ke arah Ovie.
Untuk pertama kali, ada yang menawari Ovie untuk masuk ke dalam teamnya.
Bisa kulihat bagaimana mata cewek itu berbinar ceria. Tanpa pikir panjang dia mengangguk antusias. Lalu segera bergeser merapat ke arah mereka.
Aku mengembuskan napas lega. Karena kali ini, sebagai ketua kelas, aku tak perlu memaksa salah satu team membuka pintu untuk Ovie.
Dari sini aku memahami sesuatu. Sebagian pem-bully itu mengatai seseorang hanya karena mereka tidak tahu apa-apa tentang orang yang mereka bully.
Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak tahu latar belakang kenapa seseorang dikatai. Dan yang paling penting, mereka tidak tahu bagaimana sesungguhnya perasaan saat seseorang dibully.
Mereka tidak tahu, karena Ovie tak pernah memberitahu. Ovie tak pernah membalas atau berusaha menjelaskan. Dia hanya diam. Karena itulah bully terhadapnya jadi berkelanjutan.
***
Seperti biasa, aku membeli dua buah minuman dingin di kantin. Saat akan menuju Bu Dian, pemilik kantin, aku menangkap sosok Ovie sedang duduk di bangku kantin.
Cewek itu mengobrol bersama beberapa teman. Di hadapannya terlihat minuman dingin yang tinggal setengah.
Matanya mengarah ke arahku. Aku segera membayar minuman dan berlalu pergi ke luar kantin.
***
Kami di kelas 9 saat terjadi peristiwa itu.
Jam istirahat, entah bagaimana awalnya hingga tiba-tiba saja kelas gaduh.
Di depan kelas, beberapa anak laki-laki saling melempar sebuah buku kesana kemari. Sementara Ovie berusaha mengejar buku itu tanpa daya.
"Baca yang keras, Ngga!" seru Garin. Kini anak itu menghalangi langkah Ovie dengan tubuhnya.
Dengan putus asa, Ovie berusaha menggapai buku yang dibuka oleh Angga.
"Baca! Baca! Baca!" Yang lain segera menyoraki.
Lalu Angga yang berdiri di atas meja, mulai membaca kata-kata yang tertulis di buku Ovie.
"Love Raka."
Terdengar suara gelak tawa seisi kelas. Lalu ledekan disertai hujatan untuk Ovie yang tak tahu diri.
Sementara aku menenggelamkan wajah di antara kedua lengan, menelungkupkan kepala di atas meja.
***
Hari itu, Ovie tidak mengikuti di belakang. Dia berlari melewatiku saat kami baru turun dari angkot.
Larinya cepat sekali. Hanya beberapa saat langsung menghilang di belokan paving. Aku hanya mengamati dengan dahi sedikit mengernyit.
Keesokan paginya, tak kulihat Ovie berdiri di dekat tembok. Ternyata dia berangkat lebih dulu. Begitu pun dengan keesokannya lagi.
Akhirnya aku mengerti, Ovie malu. Karena di sekolah pun sikapnya begitu, seperti berusaha tak terlihat di hadapanku. Atau mungkin bisa juga karena tak tahan dengan olok-olok mereka tentang siapa aku dan siapa Ovie?
Beberapa hari kemudian, setelah turun dari angkot, Ovie kembali melangkah di belakangku.
Entah. Menurutku sikap anak itu memang aneh. Sebentar menghindar, sebentar kembali seperti biasa.
"Raka," panggilnya.
Aku menoleh, lalu berhenti.
Baru kali ini dia memanggilku dalam suasana berdua. Wajahnya tampak gugup, seperti seorang murid yang sedang takut salah di depan gurunya.
"Aku ... mau minta maaf udah buat kamu malu." Dia menunduk.
"Malu apa?" Aku bertanya.
Dia mendongak, menatapku. Mau tak mau aku harus menatap wajah dekil itu.
"Tulisan di buku itu ...." Dia menggantung ucapan sambil menatapku bingung.
"Tulisan apa?"
Ovie tampak semakin bingung.
"Yang dibaca Angga di depan kelas."
"Aku nggak dengar," sahutku. Lalu kembali meneruskan langkah.
Kadang lebih baik pura-pura tak tahu. Karena sebenarnya aku pun tak tahu harus bagaimana menyikapi tulisan itu.
Geli? Jengkel? Muak? Atau kembali terbayang wajah Ciklit?
Entah.
Di belakangku, Ovie kembali mengikuti.
***