.
Setelah memulangkan payung hari itu, aku selalu terbayang wajah si cewek dekil, Ovie. Ada perasaan tak enak yang susah dijelaskan apa artinya.
Rasanya sama seperti saat aku harus melihat Ciklit, kucingku yang mati keracunan beberapa waktu lalu. Tapi kan Ovie tidak akan mati keracunan. Jadi perasaan apa namanya?
Seringkali saat melihat Mama mulai membuang sisa sayur semalam di wastafel, aku mengamati. Lalu kembali terbayang sepiring nasi putih yang dimakan Ovie dengan lahap. Rasanya sedikit geli, tapi bukan jijik. Sama, seperti saat aku melihat Ciklit mati keracunan. Ada yang seolah mencubit di dalam sini.
"Raka mau sarapan pake apa hari ini?" Aku baru sadar Mama menanyai dari tadi.
"Apa aja, Ma," sahutku asal.
Mama sedikit mengernyit. Mungkin karena biasanya aku sedikit payah memilih menu sarapan. Selalu tidak menghabiskan, atau bilang ke Mama bahwa aku tidak ingin sarapan yang ini atau yang itu.
Setelah sepiring sarapan diletakkan di hadapanku, aku makan dengan dibayangi wajah dekil Ovie.
Jujur, aku terganggu.
.
Seperti biasa, kulihat anak perempuan itu berdiri menunggu di dekat tembok yang menjulang tinggi di dekat rumah jeleknya.
Tanpa senyum, tanpa sapa, lalu kami berangkat beriringan menuju gang ke arah jalan raya.
Di depan gang itu, beberapa anak SMP dan SMA kompleks kami berdiri menunggu. Kadang kami harus saling berebut naik angkot agar tak terlambat sampai ke sekolah.
Sepertinya hari ini pun akan begitu. Terlihat dari banyaknya anak yang menunggu di depan gang.
Sebuah angkot berhenti. Dengan cepat, aku segera berlari dan menyelinap masuk. Di belakangku, berebut anak-anak itu hingga terdengar beberapa seruan tertahan dari cewek-cewek.
Aku berhasil mendapat bangku di ujung, dekat salon besar di bagian belakang angkot. Baru saja membenahi tas untuk diletakkan di pangkuan, saat kudengar olok-olok itu.
"Awas! Aku mau naik!" seru cewek yang juga satu SMP denganku.
"Kasih tempat, eh, mending kamu turun dulu deh. Tunggu angkot nanti!" Seorang anak mendorong Ovie yang sebenarnya sudah akan menempati bangku paling luar.
"Tapi aku kan yang duluan." Kudengar Ovie membela diri.
"Jean aja yang duduk sini, males gue deket lo, bau!" Cewek yang duduk di dekat bangku yang diperebutkan, ikut mengusir Ovie.
"Tapi aku yang duluan ...." Ovie masih berusaha mempertahankan dengan suara lirih.
"Udah buruan naik, Je! Ntar telat semua!" Terdengar seruan anak-anak lain, yang ternyata memang lebih setuju Ovie ditinggal untuk diganti Jean.
Cewek itu mulai didorong turun. Kulihat dia sempat mengusap sudut mata.
Aku beranjak dan keluar dari dalam angkot. Beberapa anak langsung bergeser saling menggantikan tempat. Hingga akhirnya kembali tersisa bangku paling ujung.
Ovie menoleh sekilas, lalu kembali menduduki tempatnya.
Setelah itu aku berdiri di pintu, berpegangan pada langit-langit angkot agar tak terjatuh saat kendaraan itu berjalan.
***
Melihat cewek itu dimarahi guru karena terlambat menunggak SPP, aku sering. Melihat cewek itu tak mendapat teman kelompok saat guru menyuruh membentuk team, aku sering. Melihat cewek itu diam berdiri di dekat pintu kelas, memandangi teman-teman lain yang sibuk bercerita sambil mengunyah makanan, aku sering.
Melihatnya hanya beristirahat di sudut lapangan padahal kami baru selesai berolah raga dan membutuhkan minuman, juga sering.
Tanpa sadar, aku mulai memahami kebiasaannya. Lalu kembali terbayang Ciklit mati keracunan. Aku mengumpat dalam hati. Perasaan ini sungguh tak enak. Menggantung. Seperti melakukan sesuatu tapi belum selesai.
Entahlah. Otakku mungkin ikut keracunan.
Aku ingin memberinya uang untuk beli minuman, tapi aku tak tahu harus mengatakan apa. Pantaskah jika melemparkan uang dari jauh?
Aku tahu, itu tidak pantas. Dia kan bukan binatang sirkus.
Ovie menoleh. Wajahnya masih dibanjiri keringat. Kelas kami baru selesai jam pelajaran olah raga. Hampir semua siswa pergi ke kantin atau ke ruang ganti. Tapi dia memilih duduk di sudut lapangan untuk beristirahat.
Rambut riap-riapan mirip gembel. Itu yang kadang membuatku sedikit eneg. Dia sama sekali tak enak dipandang, tapi entah kenapa aku akhirnya selalu mengawasinya. Hanya karena aku teringat kematian Ciklit.
Tatapan Ovie penuh tanya saat aku tiba-tiba mengulurkan sebotol minuman dingin ke arahnya. Beberapa saat hanya menatapku ragu hingga uluran tanganku tak juga diterima.
"Buruan ambil," desisku jengkel.
Hampir saja ia menerima, saat kemudian kami dikagetkan oleh suara-suara itu.
"Cieee, Raka pacaran sama Ovie!"
"Hahahaha! Raka pacar Ovie!"
"Hayoo!"
"Jahaha!!"
Terdengar riuh ledekan anak-anak dari belakang. Ternyata mereka memperhatikan.
Garin yang memang dari dulu selalu mengatai kami pacaran, makin bersemangat meledek. Bahkan dia berani bilang aku dan Ovie pacaran dari SD.
Malu. Aku berlalu pergi dari hadapan Ovie. Entah ke arah mana, yang penting aku pergi. Sementara botol minuman itu sudah terbuang saat aku berlalu.
***
Setelah itu, aku mencoba menepis segala bayangan Ciklit tiap kali melihat wajah Ovie.
Kenapa aku harus terganggu melihat keadaannya? Kenapa juga harus memberi dia minuman setelah olah raga? Kulihat sesekali ada cewek-cewek yang memberi dia makanan atau minuman. Tanpa kuberi pun Ovie bisa bertahan di sekolah. Begitu, kan?
Tapi tetap saja, disangkal seperti apapun, sesekali aku masih mengamatinya diam-diam.
Kelas tadinya begitu hening. Hingga tiba-tiba ada suara memecah keheningan.
"Pak!" Ternyata Susan yang memanggil.
Pak Hasdi yang tengah menulis di papan tulis seketika menoleh. Begitu pun dengan kami seluruh siswa. Semua menoleh ke arah bangku paling pinggir, di mana cewek itu duduk.
Tapi ternyata cewek itu malah menunjuk ke arah Ovie.
Ovie yang terlihat sedang meringis kesakitan dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa, Ovie?" Pak Hasdi mendekat ke arahnya.
"Ovie sakit perut katanya, Pak." Kembali, Susan yang menjawabkan.
"Benar, Ovie?" Pak Hasdi memastikan.
Melihat bagaimana cewek itu meringis kesakitan harusnya Pak Hasdi tak perlu bertanya, itu menurutku. Ovie mengangguk lemah. Sepertinya sudah tak sanggup menjawab.
"Ya sudah, kamu boleh pulang." Pak Hasdi memberi izin.
Ovie segera membereskan buku-bukunya. Lalu bersiap menenteng tas dan bangkit berdiri. Lagi, dia membungkuk sambil memegangi perut. Membuat Pak Hasdi menatapnya dengan tatapan tak yakin.
"Kamu bisa pulang sendiri?" tanyanya ragu.
Ovie hanya diam. Wajahnya semakin pucat.
"Atau, telepon saja orang rumah kamu, minta dijemput. Pakai telepon kantor." Pak Hasdi memberi saran.
Ovie menunduk.
"Kok diam?" tanya Pak Hasdi heran.
"Ovie kan nggak punya telepon di rumahnya, Pak. Bapaknya juga enggak ada. Lagi ngojek," celetuk Garin sambil cengengesan.
Seketika terdengar bisik-bisik teman sekelas. Menggunjingkan tak punya telepon dan pekerjaan bapaknya Ovie.
"Ibu nggak bisa jemput?" Pak Hasdi mulai bingung.
"Ibunya nggak ada juga, Pak!" Garin nyeletuk lagi. Kali ini gunjingannya semakin santer terdengar.
Ovie semakin menunduk. Tangannya sedikit meremas perut.
"Siapa yang rumahnya dekat dengan rumah Ovie?" Pak Hasdi menatap ke arah kami.
Mula-mula tatapannya berhenti pada Garin. Mungkin karena anak itu dilihat paling tahu keadaan Ovie dan keluarganya.
Garin langsung kelimpungan. Senjata makan tuan dia. Ketahuan kalau akhirnya tetanggaan. Dan kami sudah bisa menebak apa maksud Pak Hasdi menanyakan itu.
"Jean deket, Pak!" Garin langsung menunjuk ke arah Jean.
Cewek yang ditunjuk langsung melotot tak suka. Lalu menggelengkan kepala.
"Nggak mau!" tolaknya tanpa alasan.
"Kalau begitu, kamu saja!" Pak Hasdi memerintah Garin.
Garin celingukan. Antara kesal dan jengkel. Lalu tatapan kami bertemu.
"Raka juga dekat, Pak! Apalagi dia kan ketua kelas," tunjuknya tiba-tiba.
.
Kami naik ke dalam angkot. Jam masih menunjukkan pukul 11 siang. Dan aku diizinkan mengantar Ovie pulang.
Hanya ada empat orang di dalam angkot yang kami tumpangi. Dua orang duduk di bangku seberang. Sementara kami duduk bersebelahan.
Wajah Ovie semakin pucat. Berkali dia meringis sambil meremas perut. Kadang aku takut dia tiba-tiba jatuh pingsan. Jadi terus kurapalkan doa agar dia pingsan di rumah saja.
Setelah sampai di gang rumah kami, angkot berhenti. Ovie beranjak turun. Di situlah aku melihat ada bercak kemerahan di rok belakang Ovie.
Aku membayar angkot. Lalu ikut turun. Ingin memberitahu Ovie, tapi ada rasa sungkan. Jadi aku diam saja.
Sepanjang menyusuri paving, kami hanya diam. Lalu sampai di depan rumahnya yang sepi.
Benar kata Garin, bapaknya Ovie lagi ngojek. Ibunya juga tak ada. Cewek itu masuk rumah setelah membuka pintu yang tak terkunci.
Sebelum masuk, dia menatapku.
"Makasih ya, udah nganterin pulang," ucapnya lirih.
Aku diam saja. Lalu berbalik.
Masih sempat kudengar suara tangis Ovie di dalam sana. Dia sakit perut dan sendirian. Dan mungkin juga sekarang menangis karena melihat ada darah di roknya.
Aku melangkah pergi dengan pelan.
Ah, jadi ingat wajah Ciklit lagi.
***