Pantai menyimpan sejuta kenangan bersama Bang Doni, setiap rindu bertandang aku mengunjungi tempat di mana wajahnya terlihat nyata dalam embusan udara.
Bocah-bocah bertelanjang dada berkejaran di bibir pantai. Nelayan dengan senjata khasnya bertarung melawan badai kenyataan di atas pasir, kadang di tengah lautan. Aku menyaksikan pemandangan yang selalu berulang pada waktu yang tak sama.
"Hei." Aldi mengagetkanku dengan menepuk bahuku tiba-tiba.
"Eh, ke sini sama siapa?" tanyaku basa-basi, demi menenangkan debaran yang entah kapan menjadi mulai tak biasa, di dada ini.
"Sama Kamu," balasnya.
Aku menatap haru lelaki di hadapanku, di saat hati merindu kehadiran Bang Doni, Aldi selalu ada. Ada luka lain yang mulai mengering semenjak Ia hadir, seolah menawarkan diri menjadi pengobat lara ini.
Aldi mengisi hampir seluruh hariku, meskipun di hatiku belum memiliki tempat. "Kita teman, kan?" tanyaku kala itu. Hanya dibalas senyum olehnya.
"Boleh Aku duduk di sebelahmu?" tanyanya membuat lamunanku buyar.
"Boleh."
Udara pantai di siang hari terasa panas. Namun, aku tidak keberatan teriknya membakar seluruh tubuh. Ada kedamaian yang menjalar di hati, tatkala embusannya berkali-kali menampar wajah, juga bagian raga lainnya.
"Bang Doni, apa kabar?" Ia menatapku lebih dekat, dengan sorot yang menyiratkan cemburu di maniknya.
"Baik," jawabku seadanya.
Sekarang. Aku canggung menceritakan apapun tentang Bang Doni pada Aldi. Demi menjaga perasaanku juga perasaannya, sejak kapan pikiran semacam ini muncul di kepala, entahlah.
"Maaf jika tanyaku menoreh luka di batinmu," ujarnya dengan rasa bersalah.
"Gak apa-apa, nyantai ajah." Aku membuang senyum ke arahnya. Lalu, tatapanku masih pada gulungan ombak yang membawa puing-puing kenangan bersama Bang Doni.
"Mel."
"Iyah."
"Mau menikah denganku?" Sontak gemuruh di dadaku terasa berbeda. Aku menelan saliva yang mengental, kaget juga haru. Ingin segera menatap wajahnya demi melihat rona wajahnya.
"Kamu serius?" tanyaku setelah ribuan detik mengumpulkan keberanian beradu netra dengannya.
"Pastikan Bang Donimu mau kugantikan posisinya!" ucapnya serius, namun mengubah moodku menjadi buruk.
"Aku pikir dia serius, kenapa bawa-bawa nama Bang Doni?" batinku.
"Oh, gitu," balasku acuh.
"Kamu ke sini sama siapa? Bareng yuk baliknya!" ajaknya, menutup percakapan serius kami.
"Tadi sama teman," balasku.