**
Ponselku berdering tanda panggilan masuk
'Halo, iyah, Di'
Segera aku menjawab panggilan.
'Waalaikumslaam, Mel'
Aldi membuat pipiku merona sempurna menahan malu.
'Eh, assalamualaikum, Di'
Menyadari kesalahanku menjawab telepon tanpa mengucap salam.
'Aldi? Kita gak seumuran loh, aku lebih tua dari kamu,' protesnya dari seberang sana.
Akhirnya pria kulkas itu berbicara lebih banyak dari biasanya.
'Eh, emang mau dipanggil, apa?' tanyaku lagi, mengulum senyum seolah dia berada di hadapanku.
'Apa ajah, asal bukan Aldi juga bukan Abang,' pintanya semangat, mungkinkah dia sama sepertiku saat ini, mengatur napas setiap akan mengeluarkan kata, atau hanya sebatas basa-basi.
'Memang kenapa kalo kupanggil Abang?'
Aku penasaran dengan jawabannya yang sengaja ia gantung beberapa detik.
'Karena aku gak mau menggeser posisi Abang Donimu!'
Hening.
***
Pagi menyingsing, tugasku masih seperti hari biasa saat ayah di sini. Membereskan rumah, menggantikan tugas ibu yang sedang menggantikan tugas Ayah.
Setelah semua beres, aku menghabiskan waktu di depan televisi menonton film bollywood kesukaanku.
Dari arah pintu, kulihat ibu mempercepat langkahnya. Di tangannya terdapat secarik kertas.
"Mel." Dengan napas terburu ia menunjukkan kertas yang Ia bawa pulang. " Tadi Ibu ke rumah Pak Adam, ternyata dia ketemu Ayahmu di kalimantan," lanjutnya penuh semangat, binar bahagia terpancar di kedua maniknya.
"Ini nomor telepon teman kerja Ayahmu, coba dihubungi sekarang, Mel!" perintahnya menunjukkan deretan angka yang membuat semangat ibu kembali bersinar.
Setelah beberapa kali melakukan panggilan, raut kecewa kembali menghiasi wajah rentanya, nomor yang di tuju tidak bisa dihubungi.
"Ibu, besok kita coba lagi, Ibu, kan tahu sendiri signal di sana. Biasanya juga kita yang menunggu dihubungi dari sana, iya, kan?" aku berusaha menghibur beliau.
Ibu hanya mengangguk pelan. Ia melipat remasan kertas itu, lalu ke dalam kamar.
Ibu memamggilku dari dalam kamar. Aku segera menemuinya yang sedang sibuk mencari sesuatu.
"Mel, Ibu minjam pulpen kamu!" pintanya mengedarkan pandangan di sekeliling kamar.
Aku segera meraih pulpen diatas meja, dibawah tumpukan buka bacaan. Ibu meminta menyalin nomor handphone di dinding kamar, khawatir kertasnya hilang.
"Nanti Imel simpan di kontak hape, Bu," ujarku.
"Udah nurut ajah, Mel!" perintah ibu lagi. lalu, dengan seksama kulukis angka-angka itu di dinding, sengaja kubuat dengan ukuran besar, demi melihat ibu kembali bahagia.
"Nah, kalo begini Ibu mudah membacanya," Senyum ibu mengembang, sehebat itukah cinta.