Lirih kudengar isak ibu dari balik kamar, bukan saja ibu, aku keberatan jika ayah pergi merantau. Jika hanya soal mencukupi, bukankah selama ini kami baik-baik saja? Aku pun tahu diri, tidak pernah merengek meminta sesuatu di luar kesanggupan orang tuaku.
Namun apa daya, tekad ayah sudah bulat, ajakan Pak Tanu beberapa hari yang lalu membuat ayah mengambil keputusan sepihak, tanpa mendengarkan keberatan ibu juga tangisku.
"Kalimantan itu jauh, Yah. Ayah bekerja hanya untuk biaya transportasi saja. Di sana juga Ayah akan susah menghubungi kami," isakku tepat di depan ayah, ia membisu sudut matanya memerah menahan perih yang sama. "Bulan depan Aku mulai kerja di toko bu Asih, Yah. Kita gak akan kesusahan lagi." Dadaku sesak harus belajar melepaskan untuk kedua kalinya.
Ayah berlalu meninggalkanku tanpa sepatah katapun, ingin memeluknya namun canggung.
Ayah hendak merantau? Bagaimana jika ia sakit? Siapa yang memijitnya? Siapa yang akan memasak nasi untuknya? Bagaimana jika rindu bertandang? Haruskah setiap waktu mengelus dada menahan gejolak rindu.
Aku tidak sanggup memiara rindu, menanti kabar dari dua arah angin yang berbeda. Cukup Bang Doni yang menyiksa batinku, kuharap ayah tidak menambah basah luka ini.
"Besok kita akan mengantar ayahmu, kita tidak jadi ke rumah Aldi," ujar ibu dengan tatapan kosong, sedari tadi dia berada di sebelahku, aku bahkan baru menyadari setelah mendengar suaranya.
Pikiranku kacau, aku diliputi berbagai ketakutan. Aku takut ayah tidak kembali, lelaki rentaku akan mengadu nasib di kota besar, entah bagaimana Tuhan menulis takdir untuknya. Aku takut ia kalah lalu hilang tanpa jejak. Air mataku menganak sungai, ini lebih perih dari lebam ketika melepas Bang Doni, dulu.
Aku merapat ke kamar ayah, ia tertidur pulas bersama mimpi yang ia rakit untuk esok, sedang aku masih ingin melihat wajahnya, masih ingin menikmati udara saat masih seatap dengan ayah.
Dadaku kian sesak, aku benci hidupku. "Kenapa ayah harus ke kalimantan? Bagaimana jika ia tak kembali?"