Ternyata Lisa Dalangnya
Aku memang tidak pernah kekurangan materi dari Mas Ewin. Mama juga selalu menanyakan apakah aku perlu uang tambahan. Aku seperti pengasuh yang dibayar mahal agar anak-anak tidak lecet sedikit pun. Aku sudah menganggap Dea dan Dio seperti anak kandungku, tidak mengharapkan semua uang suami dan mertua.

Sejak lulus SMA, aku sudah biasa berjualan apa saja yang penting halal. Setelah berbaur dengan kecanggihan tekhnologi, berjualan semakin mudah. Sekarang aku jadi distributor minuman sari lemon dengan reseller yang lumayan banyak. 

Bisnis itu kutekuni dua tahun sebelum menikah dengan Mas Ewin. Mencoba melupakan kesedihn atas semua penolakan lelaki yang taaruf denganku. Aku tahu, tujuan pernikahan salah satunya untuk mendapatkkan keturunan. Wajar saja kalau mereka menolakku. Kalaupun ada yang mau, pihak keluarga tidak setuju. 

Setiap uang berlebih yang diberikan Mama dan suamiku, aku menabungnya untuk biaya pendidikan dua bocah itu, terpisah dengan rekening bisnisku. Siapa yang bisa menerka masa depan? Apalagi melihat dinginnya sikap Oma dan Papa mereka. Aku lebih memedulikan nasib anak-anak tak berdosa itu daripada diriku sendiri. 

"Tante! Kenapa bilang ke istri Mas Ewin kalau aku itu cuma manajer restoran ini?  Sepertinya Tante telah berkhianat padaku. Bukankah kita sudah sepakat kalau akan kerja sama menguasai harta warisan Renata yang jatuh pada anak kembarnya? Kenapa Mas Ewin berubah akhir-akhir ini?" cecar Lisa. 

Aku menutup mulut mendengar penuturan perempuan itu. Sopir ojek online yang membawaku ke Restoran Renata mau diajak kerja sama. Aku menelpon nomornya dan lelaki itu duduk di dekat kusi dua perempuan yang sedang kuintai. Aku bisa mendengarkan obrolan Lisa dengan jelas sambil melihat mereka dari sudut yang aman. 

"Iya, tante masih ingat. Kamu adalah saksi mata yang melihat tante tak sengaja menabrak mamanya Renata. Kamu juga yang menyuruh Tante agar meminta Ewin menikahi Renata. Siapa sangka, mereka bisa saling mencintai? Itu semua rencanamu, Lisa. Kalau kamu memang cinta pada anakku, kenapa tidak mau menikah dengannya sejak dulu? Kamu itu matre, Lisa."

"Aku tidak matre, Tan. Hidup itu realistis. Kalau tidak ada uang, kami akan sering bertengkar. Pokoknya, aku tidak mau tahu, jangan biarkan kisah lama terulang kembali! Mas Ewin tidak boleh saling mencintai dengan Bibah. Atau, aku akan laporkan ke polisi kasus tabrak lari itu biar Tante mendekam di penjara," ujar Lisa, tertawa mengerikan. 

Lagi-lagi restoran itu sepi sehingga tidak ada yang peduli dengan obrolan mereka. Mungkin Lisa tidak pandai mengelola restoran itu. 

"Pulang sana, Tan! Ingat! Tugas pengasuh itu hanya membesarkan anak-anak Renata dengan baik, bukan mencintai kekasihku. Jangan coba-coba mendekatkan perempuan kampung itu dengan Mas Ewin!" pungkasnya. 

Ya Allah, ternyata Lisa begitu tamak harta, menggadaikan cintanya demi uang. Mama juga mendapat tekanan dari Lisa selama ini. Mertuaku berjalan gontai, keluar dari restoran. Wajahnya kusut dan tidak bersemangat. 

"Habibah?" gumam mertuaku, terkejut karena melihatku dua langkah di depannya. 

"Kenapa mobilnya gak dibawa, Ma?" cecarku. 

"Mama gak berani bawa mobil," balasnya.

"Kenapa? Trauma karena pernah nabrak orang? Mau mengelak dari jeratan hukum dengan menggadaikan masa depan anakmu dan juga anak-anakku? Egois!" cetusku, mengambil kunci mobil dari tangan Mama dan membawanya ikut masuk.

"Ba-bagaimana kamu bisa tahu semuanya? Kamu kan tidak ada di sana tadi?" cecar Mama. 

"Aku punya banyak cara untuk mengungkapkan kebenaran, Ma. Tak kusangka kalau mama mertua yang kuhormati memiliki sifat yang tidak bertanggung jawab. Aku ternyata cuma dianggap pengasuh anak-anak. Statusku sebagai istri Mas Ewin akan diganti dengan Lisa setelah mereka bisa dilepas ke boarding school," jelasku. 

"Maafkan, Mama, Bibah! Mama tahu, kamu orang yang pintar. Jujur, awalnya mama setuju dengan rencana Lisa. Tapi, melihat sikapmu yang penyayang dan juga sabar, Mama jadi suka sama kamu. Mama tulus menyayangimu. Tapi, mama tak berdaya di hadapan Lisa. Mama takut masuk penjara, Bibah," ujar Mama, menyentuh lenganku yang sedang mengemudi. Aku jadi sangsi apakah ucapan Mama itu benar atau hanya menarik simpatiku saja. 

"Oh ya?  Berarti itu sebabnya Mama gak masalah kalau aku tidak bisa punya anak karena cuma dianggap pengasuh dan setelah mulai sayang padaku, Mama enggak terima? Dea dan Dio itu cucu kandung Mama. Yakin deh sama Bibah!"

"Enggak mungkin. Lisa pernah mengirimkan gambar kalau Renata sering jalan dengan lelaki lain," seru Mama, lalu memperlihatkan sebuah foto dari ponsel. 

Aku ingin sekali mengumpati Mama, tapi sebagai menantu yang berstatus lebih muda darinya, aku terus memilih diksi yang tidak terlalu kasar. Sejahat-jahatnya Mama Mira, dia masih mertuaku. 

"Aku tidak tahu yang terjadi di masa lalu. Kita akan buktikan besok, Ma. Hasil tes DNA Mas Ewin dan si Kembar akan keluar besok. Mama harus ikut ngambilnya," titahku. 

"I-iya," balas Mama gugup. 

"Oh iya, jangan pernah takut dengan ancaman Lisa, Ma! Aku tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Mama. Kita akan meminta maaf pada keluarga Mbak Renata," tandasku. Mama mengangguk pasrah. 

Sebelum Lisa mengatakan yang sebenarnya pada keluarga Mbak Renata, aku akan mencari kebenaran tentang kecelakaan itu. Entah kenapa, aku berfirasat kalau Lisa itu jahat sekali. Tipu dayanya tak main-main untuk mencapai ambisinya, merampas hak kedua anakku. 
***

"Kita akan mengambil hasil tes DNA-nya hari ini. Apa Mas sibuk? Ikut kan? " ujarku, lantas memberikan segelas air putih. 

"Enggak usah lagi. Aku tidak perlu lagi hasilnya. Aku yakin mereka memang anak-anakku. Lupakan saja itu," balas Mas Ewin.

"Itu berita yang baik, Mas. Tapi, Mama perlu tahu juga. Kalau tidak, beliau akan selalu bersikap dingin dengan dua cucunya. Aku ingin semuanya saling menyayangi," balasku, ikut senang dengan tanggapan suamiku. 

"Ya sudah. Kalian saja yang ambil sama Mama!"

"Kamu harus ikut, Mas! Jangan mau dibohongi wanita ini! Dia pasti cuma ngarang cerita agar kamu luluh. Kita buktikan kalau anak kembar itu bukan anak kandungmu. Aku yakin itu. Yang polos tidak selalu baik, Mas. Kamu ingat kan mendiang istri kamu yang pura-pura lugu dan ternyata selingkuh?" celetuk Lisa, tersenyum menyeringai.

"Kalau kamu mau mengejekku, silakan! Tapi, berhentilah menjelek-jelekkan orang yang sudah tiada!" bentakku. Rasanya tangan ingin menampar wajah mulusnya. Namun mengingat liciknya wanita ini, niat itu kuurungkan. Dia bisa saja menjebloskanku ke penjara karena kasus sepele.

"Jangan pernah membahas itu lagi, Lis! Baiklah, aku turuti keinginanmu. Kita buktikan yang sebenarnya," ujar Mas Ewin. Lisa tersenyum penuh kemenangan dan mengamit lengan suamiku. 

"Udah kubilang, jaga jarak! Siapa suruh kamu tak mau dihalalin," ucap Mas Ewin, menepis tangan Lisa. Aku senang melihat suamiku menjaga jarak dengan Lisa, tapi hatiku teriris mendengar kalimat terakhir. Apakah kamu berniat menjadikan dia yang kedua, Mas?

Mas Ewin bergegas ke kamar untuk ganti baju. Lisa menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelilingiku. 

"Sudah dua tahun, Habibah! Tinggal empat tahun lagi. Kamu senang kan hidup bergelimang harta? Nikmati saja! Bisalah dijadikan kenang-kenangan. Tapi, entahlah, hari ini aku berubah pikiran. Mungkin, aku akan meminta Mas Ewin mengasingkan kalian dengan anak-anak selingkuhan Renata. Siap-siap ya!" bisik Lisa.

"Percaya diri sekali! Aku yakin Mas Ewin tidak akan mau berpisah dengan anak-anaknya. Jangan-jangan kamu yang akan diputusin nanti," balasku, berbisik juga. Mata Lisa membeliak seperti mau menerkam saja. 








Komentar

Login untuk melihat komentar!