Mama keluar dari kamar dengan wajah gelisah. Kami berempat duduk lesehan, sedangkan mertuaku duduk di kursi.
"Ada apa, Ma? Kok wajahnya murung?" selidikku.
"Oh enggak. Ini cuma ada temen mama yang sakit. Mama minta dianterin Ewin ke sana. Kamu bisa, Win?" tanya Mama penuh harap.
"Loh! Tadi Mama bilang temen arisan yang telpon mau pesen baju. Sekarang dia kecelakaan, Ma?" tanyaku, membeliakkan mata.
"Eng-enggak. Eh iya," balasnya ragu. Lah, jawabannya ada dua. Berarti Mama ngarang cerita nih.
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Bibah aja yang antar Mama, ya. Sekalian biar kenal sama teman-teman Mama. Kalau Mas Ewin pasti bosan kalau nungguinnya," ujarku, mencoba mencari kebenaran di mata mertuaku.
"Enggak usah, Sayang. Anak-anak sama siapa?" Mama makin kikuk.
"Biar Ewin yang tidurin mereka, Ma," timpal suamiku. Sontak saja aku terkejut sekaligus senang mendengar ucapan suamiku. Aku tidak perlu beralasan agar suamiku yang menidurkan anak-anaknya.
"Mama besok aja jenguknya kalau gitu," pungkas Mama, tidak suka dengan jawaban anaknya. Perempuan yang masih terlihat muda itu bergegas ke kamar setelah ada yang menelpon lagi. Entah beneran teman Mama sakit, atau Lisa yang sakit hati dan meneror mertuaku ?
"Beneran enggak ngerepotin nih bantu nidurin anak-anakku? Seharian udah capek loh. Besok harus kerja lagi. Enggak usah kasih harapan palsu sama anak-anakku, Mas!" ujarku, memancing emosional suamiku.
"Mereka itu anak kandungku, Bibah! Kenapa aku harus merasa direpotkan? Kamu terus menyebut anakku, anakku. Ingat! Aku yang lebih pantas mengatakan hal itu," bentak Mas Ewin.
Ya Allah! Apakah aku tak salah dengar? Suamiku mengaku kalau si Kembar adalah anak kandungnya? Jika ada otang bahagia dibentak, itulah aku. Karena kata-kata itu yang kutunggu sejak lama.
"Ulangi lagi, Mas!" ujarku, mengulum senyum. Mas Ewin salah tingkah dan kebingungan melihat Dea dan Dio berdiri, lantas memelukku.
"Jangan marahi Mamaku!" cetus Dio. Marahnya balitaku itu tidak menakutkan sama sekali. Kalau tidak ingin membuat Mas Ewin cemburu melihat kedekatan kami, aku akan langsung tertawa dan menjawil pipi gembul Dio. Anak lelakiku ini selalu jadi pembela kembarannya dan kini mamanya.
"Ayo bobok!" ujar Dea, melipat tangan di dada. Gayanya sok dewasa dengan bibir mengerucut ke arah suamiku. Dio menarik tanganku agar masuk ke kamar.
"Sayang! Enggak boleh kayak gitu! Papa itu tidak marah. Kalian tidur sama Papa dulu ya!" bujukku. Mas Ewin menatapku takjub saat melihat dua anaknya menuruti ucapanku.
***
"Mama! Mama!" teriak Dio. Aku yang sedang mengecek grup whatsapp bergegas menemui anak-anak ke kamar.
"Ada apa, Sayang?" tanyaku, mengusap kepala Dio yang kini memelukku.
Aku celingukan mencari keberadaan suamiku. Astaga! Mas Ewin memutar lagu Indonesia Raya dengan ponselnya dan kini dengkuran halus mulai terdengar. Ternyata Mas Ewin memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi juga. Tapi, bagaimana dengan anak-anak? Suamiku tidak bisa diandalkan. Harusnya menidurkan, malah tidur duluan.
"Ssst! Papa bobok!" bisik Dea. Tangan mungilnya mengusap-usap rambut papanya, hal yang Dea tiru saat aku menidurkan mereka. Sunguh dunia terbalik malam ini.
Aku menahan tawa melihat wajah suamiku yang kelihatan lucu saat tidur. Kewibawaannya terkikis jika dilihat saat tidur. Aku mengajak Dea dan Dio ikutan tidur di atas ranjang 'king size' itu dan mematikan ponsel suamiku. Untuk pertama kalinya Mas Ewin tidur bersama kami. Sungguh rejeki yang tak disangka-sangka.
***
"Mas! Kenapa kamu tidak datang semalam? Beraninya kamu ingkar janji, Mas! Aku tidak terima kamu diamkan seperti ini."
Aku yang sedang memakaikan baju Dea merasa terganggu dengan suara berisik itu. Aku tahu, itu Lisa, pacar suamiku.
Aku beranjak ke dapur, meminta ART untuk menemani si Kembar di kamar. Aku tidak terima ada orang yang teriak-teriak di rumah suamiku.
"Ada apa ya? Apakah anda tidak punya sopan santun saat bertamu ke rumah orang?" cetusku. Dahiku mengernyit saat melihat Mama berusaha mengajak Lisa keluar, tapi dengan suara yang lembut.
"Mama kenal dia?" tanyaku. Mama melepaskan pergelangan tangan Lisa dan mendekatiku.
"Di-dia manajer di restoran milik suami kamu," jelas Mama. Milik suamiku atau mendiang istrinya Mas Ewin? Entahlah.
"Oowh. Mau melaporkan keuangan restoran ya! Sini aku lihat dulu!" ujarku.
"Heh! Kamu tidak berhak ikut campur urusanku dan Mas Ewin. Kamu ya yang ngangkat ponsel Mas Ewin semalam?" hardik Lisa. Aku tertawa dan mengambil ponsel Mas Ewin dari sakuku.
"Pencuri! Kamu berani mencuri ponsel Mas Ewin? Mas! Mas Ewin!" Dia semakin menjadi-jadi. Teriak sajalah Lisa! Suamiku masih di kamarnya.
"Aku cuma mau memperlihatkan nama kamu di ponsel suamiku. Sejenis binatang liar yang berbahaya," kekehku, lantas memperlihatkan nama kontak 'Gorilla'.
"Mas! Lancang sekali istrimu itu mengganti namaku dengan gorilla. Usir saja dia dari rumah ini!" Lisa mulai memprovokatori saat Mas Ewin keluar dari kamar. Hari ini suamiku tidak buru-buru berangkat kerja seperti biasanya.
"Aku yang tulis namamu seperti itu. Awas! Aku mau berangkat kerja!" celetuk Mas Ewin yang sudah rapi dan lengkap dengan tasnya.
Aku tersenyum puas melihat reaksi Mas Ewin. Kukira dia akan marah saat melihatku mengambil ponselnya.
"Ini ponselnya, Mas. Hati-hati di jalan," ujarku sok mesra. Untung saja suamiku tidak menolak saat aku mencium punggung tangannya yang baru pertma kali kulakukan. Ia malah mengecup pucuk kepalaku. Entah tulus atau hanya ingin memanas-manasi Lisa, yang jelas aku tetap bahagia. Aku memandangi mobil suamiku sampai menghilang dari pandangan.
"Tante! Apa-apaan ini? Kenapa bisa mereka jadi mesra? Aku tidak terima kalau Mas Ewin mencampakkanku. Apa aku perlu bongkar semuanya, Tan?" seru Lisa, mendudukkan bobotnya di sofa dengan angkuh.
"Rahasia apa, Lisa?" cecarku, mengabaikan wajah Mama yang sudah pias.
"Lisa! Kita bicara di luar saja, ya!" bujuk Mama, menarik pergelangan tangan perempuan yang sudah hadir sejak pernikahan pertama suamiku.
"Mau kemana, Ma? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" cecarku.
"Bukan urusanmu!" cetus Mama, lantas masuk kamar dan mengambil kunci mobilku. Lisa tersenyum mengejekku dan mengacungkan jempol menghadap bawah.
Hmmm, ada apa ini, Ma? Biasanya kamu lembut padaku, kenapa dengan hari ini? Apakah sikapmu selama ini hanya pura-pura baik?
Aku meminta ART tidak usah mengerjakan pekerjaan lain dulu. Fokus menjaga anak-anak selama aku mengikuti dua orang itu. Kalau mobilku dibawa, bukankah masih ada ojek online? Aku bukan orang yang pasrah dan langsung menyerah jika melihat kejanggalan seperti ini.