Tes DNA
Mas Ewin terisak memeluk diary milik mendiang istrinya. Kakinya merosot hingga terduduk bersandar ke tembok. 

"Aku memang tahu segalanya dari diary ini, Mas. Dan aku sudah melihat sendiri siapa perempuan yang jadi kekasih suamiku."

Mas Ewin membelalak. "Jadi, mobil merah tadi pagi di dekat restoran itu mobil kamu?"

Aku mengangguk. Aku memang orang kampung, tapi tidak kampungan, Mas. Wanita matre itu akan segera kusingkirkan. 

"Aku bahkan duduk di belakangmu, mendengar suamiku mengeluh karena menikah dengan gadis kampung ini. Tapi gak usah dibahas lagi, aku tidak sedang berusaha jadi orang lain. Aku hanya ingin tahu sebenarnya perasaanmu pada mamanya anak-anak. Kamu yang selingkuh, Mas. Kenapa menjalin hubungan dengan Lisa, sementara Mbak Renata sedang hamil tua waktu itu?" cecarku. 

Mas Ewin menyusut air matanya, kembali memandangi halaman terakhir diary mendiang Mbak Renata. 

"Kami tidak pacaran. Lisa hanya menghiburku saat ada orang yang melihat istriku jalan dengan lelaki lain. Awalnya aku tak mencintai Rena, tapi setelah dia hamil, cintaku hanya untuknya. Lisa telah mengarang cerita," lirih suamiku. Antara menyesal dan juga marah. 

Rasanya aku ingin menjambak rambutnya agar tidak bertindak sebodoh itu. Menyebalkan. 

"Lalu percaya begitu saja tanpa membuktikannya? Kamu orang berpendidikan tapi otak kosong, Mas. Kamu tidak bisa membedakan mana kucing dan mana harimau," balasku sinis. Keberanian muncul begitu saja karena gemas dengan sikap lelaki ini. 

"Kenapa memelototiku, Mas? Tidak terima dikatakan otak kosong? Kalau kamu masih perlu bukti kalau Dea dan Dio anak kandungmu, kita tes DNA besok. Aku yakin seratus persen, kamu memang orang terbod*h di dunia ini, tidak mengenali anakmu sendiri!" cetusku, lantas meninggalkan suamiku.

Sesampainya di kamarku dan anak-anak, segera kuganti baju dengan pakain tidur. Kupandangi wajah-wajah tak berdosa itu dan mengecup pipi Dea dan Deo dengan linangan air mata. 

"Tak akan mama biarkan ada orang yang menyakiti kalian, Nak. Mama akan perjuangkan hak kalian," bisikku.
***

"Kamu tumben gak ke kantor, Win? Jam segini belum berangkat?  Apa kamu suka dengan penampilan istrimu tadi malam?" cecar Mama, mengedipkan mata ke arahku. 

Dia tidak tahu apa yang terjadi. Tiada kemesraan di antara kami. Untuk apa aku membahagiakan diri sedangkan dua buah hatiku dikucilkan? 

"Lagi malas, Ma. Kerjaan udah ada yang urus," balas suamiku singkat, menoleh sekilas padaku yang kebetulan keramas pagi ini. Kali ini rambut sebahu itu kugerai karena mengira kalau suamiku sudah berangkat kerja. Pasti Mama salah sangka lagi. 

"Eeh! Mau kemana lagi, Bibah? Sini, makan!" seru Mama, masih mengulum senyum, memandangiku dengan daster lengan pendek dan menutupi betis. 

"Aku ambil jilbab dulu, Ma. Menutup aurat di depan makanan," balasku, lalu berjalan cepat ke kamar. 

Aku melihat si Kembar sudah bangun, segera aku mencuci wajah dan mengosok gigi Dea dan Dio, lalu membawa mereka ikut  ruang makan. Diam-diam, Mas Ewin mencuri-curi pandang pada dua anak yang tak dianggapnya.

"Duduk di bawah ya, Sayang! Mama ambilkan dulu makanannya!"

"Iya, Ma!" balas keduanya kompak, lalu tertawa. Ah, seandainya pun orang tua mereka bersalah, bocah-bocah menggemaskan ini akan tetap kuterima dengan penuh kasih sayang.

Aku memberikan piring masing-masing dan melihat mereka lomba makan. Pemandangan yang sangat akan aku rindukan jika mereka dewasa nanti. Ini pengalaman pertama dan mungkin juga terakhir dalam merawat balita. Tidak akan ada balita lain lagi. Cuma kalian, Nak. Mama bukan wanita sempurna. 

"Kamu makan juga, Bah!" lirih Mas Ewin. Aku mendongak, tak percaya kalau suamiku menyuruh istri tak dianggap ini untuk makan. 

"Kita kan mau ke rumah sakit," imbuhnya. Aku tersenyum tipis, walaupun bukan karena perhatian, tapi dia sudah mau menuruti saranku. Biar semuanya jelas dan tak ada keraguan di hatinya. 

"Untuk apa, Win?" Kening Mama mertua mengernyit.

"Tes DNA. Habibah yakin kalau dugaan kita selama ini salah, Ma."

"Dan jika terbukti perkataanku benar, Mama sama Mas Ewin harus janji akan menyayangi kedua anakku!" tegasku. Aku bersikap seolah seorang ibu yang melahirkan mereka karena rasa sayang ini sungguh tulus. 

"Mama ngikut aja. Tapi mama gak ikut nemani kalian ya," balas mertuaku, ragu. Entahlah, Mama juga kadang bersikap aneh. 
***

"Kenapa harus melakukan tes DNA? Apakah kalian sedang punya masalah?" tanya Dokter, memandangiku dan suami,  lalu anak-anak. 

"Hanya untuk meluruskan salah faham saja, Dok," balasku, tersenyum tipis. 

"Apa ini anak kandung Ibu Habibah?" 

"Enggak, Dok. Saya ibu sambung mereka, tapi saya tidak pernah meragukan anak-anak ini," balasku, melirik sekilas ke arah suamiku. 

Dokter wanita itu manggut-manggut, dan tersenyum menjawil pipi Dea. "Pantas mirip sama papanya, anak manis. Pasti mama kandung kalian sangat cantik," kekehnya. 

"Sangat cantik, Dok," balasku. 

Dokter pun mengambil sampel darah Mas Ewin, Dea dan Dio. Bisa saja menggunakan rambut, tapi itu akan memakan waktu yang lama. Kalau menggunakan darah, lusa sudah keluar hasilnya. 

"Pegang tangan mama aja, Dea!" tuturku saat anak perempuan yang lebih mirip dengan suamiku itu menjangkau tangan papanya. Tak ingin kalau tangan anak itu ditepis Mas Ewin.

"Sudah! Biarkan saja!" balas Mas Ewin. Ia membiarkan Dea menggengam tangannya dengan senyum terpaksa. Sepertinya dia mulai sadar akan kekeliruannya. 

Kami berjalan bersisian, keluar dari rumah sakit. Mataku menangkap seseorang sedang mengintai kami. Dia kan, …? Akan kupastikan. 

Aku mengantar anak-anak sampai ke mobil. "Mas! Aku masuk sebentar ya! Sepertinya tadi melihat seseorang yang kukenal. Teman lama," celetukku. Lelaki itu diam, berarti mengiyakan. 

Aku mengikuti wanita berhati busuk itu yang menghampiri petugas laboratorium. Dia berbisik-bisik, lantas memberikan amplop yang kuduga isinya uang. 

"Hhmm. Licik sekali kamu, Lisa! Kamu mau menukar hasilnya nanti? Rencanamu akan sia-sia," gumamku. Aku sudah mengambil gambar dan juga video mereka, tinggal melaporkan saja ke Dokter yang sudah kukantongi nomor WA-nya.

Aku bergegas ke mobil dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tiba-tiba ponsel Mas Ewin berdering, sepertinya dari Lisa. Ia memandangku ragu. 

"Angkat saja!" balasku cuek. 

"Aku sibuk urusan penting. Nanti malam saja kita ketemu. Udah ah, kamu ribet." Mas Ewin mematikan ponselnya. Aku tersenyum menyeringai membayangkan kesalnya Lisa melihat kekasihnya sedang berada di tempat yang seharusnya. Aku tidak yakin kalau suamiku akan menemuimu nanti malam, Lisa!










Komentar

Login untuk melihat komentar!