5

NASI GORENG GOSONG DARI MERTUA 


PART 5 CHEK


"Sama ajalah, Bu!" cebikku kesal.


"Emangnya kamu tahu sego itu apa?" Ibu menggelontor pertanyaan yang bagiku mudah dijawab.


"Tahulah, aku kan sering beli sego gudeg punyanya Haji Taslim, yang itu tempatnya di deket alun-alun." jelasku lantas berbalik hendak kembali duduk bersama mas Irfan.


Kami makan seperti biasa, sambil mengobrol hangat. Meski entah bagaimana kondisi perasaan masing-masing.


*

"Dek, kenapa belum tidur?" tanya mas Irfan yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya.


"Nggak pa-pa, Mas. Mas lanjut tidur aja. Aku belum ngantuk." tukasku sibuk dengan gawai yang kupegang dengan kedua tangan.


"Kamu nggak capek ya?" tanyanya lagi. Kini posisi lelaki itu menatap wajahku lama. Meski ia tengah berbaring dan aku terduduk, posisi yang berbeda ini tak menghalangi tatap netra kami yang semakin mendalam.


Segera kutepis pikiran menyebalkan dalam otakku. Biasanya kalau mas Irfan ada manis-manisnya gini, bau-baunya dia mau minta ronde ke dua.


"Ngapain Mas kamu lihatin aku kayak gitu? Udah tau kali kalau aku memang cantik, jadi biasa aja dong lihatinnya!" cebikku lantas membuang muka.


"Dek ... katanya kamu nggak capek 'kan?" tanyanya mengerling nakal.


"Capek, Mas!" jawabku sekenannya.


"Capek apa?"


"Capek mikir! Dah ah, Mas! Mas mendingan tidur lagi aja. Besok Mas harus bangun pagi buat ngarit." pintaku. Ia mengeha napas lalu membenamkan wajah dibalik selimut motif Doraemon. Betewe kalian kalau nggak tahu ngarit itu apa? Sini aku kasih tahu, ngarit itu cari rumput buat pakan ternak.


Mas Irfan tak lagi berkata lagi. Kulanjutkan aktivitas menulisku seperti biasa. Kebetulan sebuah ide melintas di kepala. Sebuah cerbung bergenre rumah tangga yang mudah dipahami.


Ah, beginilah, ketika waktuku banyak terbuang kumanfaatkan untuk menulis. Awalnya hanya hobi di waktu luang. Tapi lama-lama bisa jadi uang. Terlebih lagi, bisa mencukupi kebutuhan harianku, tanpa aku harus meminta uang pada mas Irfan.


Mata ini sudah terasa pedih, kelamaan menatap layar digital yang sedari tadi tak hentinya memancar di wajahku. Kini, kuberalih memandang jam bulat di dinding. Tepat pukul satu dini hari.


Selepas menyelesaikan satu bab cerita yang akan kuposting pada esok hari. Aku lantas mematikan gawai dan menyelam ke alam mimpi.


Tak lupa, kucium kening mas Irfan yang lagi pulasnya tidur. Beginilah, aku selalu mencuri ciuman ketika ia terlelap. Kalau sewaktu ia melek, gengsilah aku nyosor lebih dulu. Kalau dia tidur, barulah aku beraksi. Beginilah wanita, kebanyakan gengsi meski sudah halal dan milik sendiri.


*


"Ternyata udah bangun Dek kamu?" Mas Irfan yang baru terbangun memandangki sembari mengucek kedua netranya.


"Iya, dong. Istri rajin tuh begini, pagi-pagi udah bangun." jawabku. Jemari ini sibuk bergulir di layar pipih. Tentu untuk memposting cerita semalam di sebuah platform kepenulisan.


"Kamu akhir-akhir ini main HP mulu sampe larut malam? Ngapain? Nonton drakor atau drachi?" tanyanya perlahan menurunkan kaki dari ranjang.


"Em, aku ...." Harus kujawab apa ini? Mas Irfan kan nggak tahu kalau aku jadi penulis. Dia tahunya aku sibuk main HP karena nonton drama luar negeri.


Tok!


Tok!


"Yeni!" Terdengar ibu mengetuk pintu sambil beteriak memanggil namaku.


Pagi-pagi udah bikin kesel aja. Gumamku sebal.


Cepat kubuka pintu untuk menghentikan tangan ibu yang sedari tadi belum berhenti mengetuk.


"Ada apa, Bu? Ini masih pagi." tukasku pada ibu yang berdiri di depanku.


"Pagi apanya, Yen? Udah siang begini, lihat tuh ke luar, matahari udah hampir meninggi kamu masih aja ndekem di kamar." cebik ibu yang lagi-lagi membuat moodku rusak.


"Emangnya Ibu mau aku ngapain?" Karena bosan baku hantam dengannya. Lebih baik aku mengalah.


"Tolong Ibu sebentar ya di dapur." Ibu langsung membawaku ke dapur. Aku menurut saja.


"Biasanya 'kan Ibu paling seneng masak sendiri. Kenapa sekarang minta bantuan Yeni?" kataku sambil mencuci tangan di kran wastafel.


"Kamu tolong ulek-in bumbu ini sampai halus ya, Ibu mau baca novel sebentar." titahnya. Kugaruk pelipis yang tak gatal. Ngapain ibu baca novel? Ada-ada aja.


Tangan cekatan ibu menyambar ponselnya yang tergelak di atas meja makan.


Kuperhatikan tingkah laku ibu yang terlihat antusias sekali.


Karena penasaran, akhirnya kudekati ia yang tengah sibuk mengotak-atik aplikasi berwarna hijau berlogo pena.


Itu 'kan aplikasi tempatku menulis. Ngapain ibu pakai download aplikasi itu segala? Batinku penuh tanya.


"Eh, Yeni, lihat deh, ini tuh cerita favorit Ibu. Nama penulisnya Pelangi Indah dia barusan posting bab baru tadi. Jadi nggak sabar Ibu buat baca." ujar ibu bersemangat. Layar gawai itu tak hentinya diotak-atiknya.


Kuperhatikan seksama, rupanya ibu baru saja membuka kunci bab itu menggunakan gembok.


Dan ... betapa menganganya aku, saat tahu isi bab terkunci itu.


Fix, dunia emang sempit. Dan, wajan yang kemarin kubeli untuk ibu. Itu sama saja pakai uangnya yang digunakan untuk membuka kunci pada novelku.


Kasihan sekali kau, Bu.


*




Komentar

Login untuk melihat komentar!