NASI GORENG GOSONG DARI MERTUA
PART 6 CHEK
Mataku masih mengawasi setiap gerakan ibu. Kini, wanita ceria di dekatku itu asyik membaca novel tulisan anak menantunya sendiri.
Aku pun memang sengaja menggunakan nama pena dan juga foto profil bukan asliku. Takut terkenal dan banyak yang naksir nanti. Apalagi, aku memanglah semempesona ini. Siapapun pasti akan kelabakan melihat jati diriku yang sesungguhnya. Biarlah saja mereka menikmati hasil karyaku, tanpa tahu wujud asliku yang kadang memang misterius. Iya misterius, karena suka mendadak hilang pas punya hutang. Eh tapi boong.
"Yeni! Kenapa masih bengong?! Cepetan ulek tuh bumbu. Nanti keburu Mira, Irfan, dan Danu berangkat kerja." perintah ibu menyentakkan napas kasar.
Aku mendengkus sambil meliriknya dengan ekor mata. Kadang ibu emang suka nyebelin. Gumamku seraya melangkah mengerjakan titahnya untuk menghaluskan serangkaian bumbu dapur yang sudah tertata di atas cobek batu berwarna hitam.
"Iya, iya," jawabku malas.
Sedikit demi sedikit semua bumbu sudah kuhaluskan.
Aku segera mengalihkan pandang ke arah ibu. Ia masih di posisi yang sama. Masih fokus pada gawainya, bahkan sesekali ibu mengumbar tawa.
Duh, makin tua makin jadi. Tapi bagus sih, kalau ibu suka baca novel onlineku di aplikasi. Aku jadi punya pembaca militan kayak ibu yang seneng unlock gembok.
Tapi, disisi lain, kok aku merasa bersalah ya sama ibu. Dia nggak tahu kalau sebenarnya novel yang sedang ia baca dan kagumi itu milikku.
Apa aku bilang yang sejujurnya aja ya?
Enggak, enggak, kalau aku jujur pasti ibu dan semuanya bakalan tertawa. Aku yang selama ini petakilan mendadak jadi penulis yang berpenghasilan. Kurasa … mereka tak akan percaya.
Aku sibuk bermonolog dalam hati, sambil menggeleng pelan mengargumenkan semuanya dalam benak.
"Bu, udah selesai belum baca novelnya?" tanyaku disela-sela keheningan dapur.
"Udah, Yen. Bumbunya udah jadi belum?" tanya lalu mendekat.
"Udah,"
"Ya udah, sana kamu layani suamimu. Persiapkan arit sama glangsingnya." kata ibu, menyuruhku melayani mas Irfan. Glangsing itu karung. Orang sini biasa menyebutnya glangsing untuk wadah rumput pakan ternak.
"Ya elah, Bu. Biasanya juga disiapin sendiri sama mas Irfan."
"Jadi istri mbok ya yang penurut. Selama ini Irfan nyiapin sendiri kan memang dia nggak mau ngerepotin kamu." ujar ibu lalu mengambil alih cobek berisi bumbu yang ada di hadapanku.
Tak ada pilihan lain, selain mengiyakan perkataannya. Lagipula, bagus kalau aku nggak masak bareng ibu. Pasti dia nyuruh ini itu, belum lagi kalau aku dibanding-bandingin sama mantu tetangga. Sudah kubayangkan pasti hal itu sangat menjengkelkan.
"Iya, Bu, Iya." cetusku sembari berbalik badan hendak ke kamar.
"Ibu …!" Sebuah teriakan mendengung di telinga. Rupanya mbak Mira tergopoh datang dengan ekspresi kegirangan.
"Ada apa Mira? Kenapa seneng banget kayaknya?" tanya ibu pada menantunya itu.
"Mira, Ibu, lihat!" Alat tes kehamilan berbentuk stik kecil itu mbak Mira tunjukan padaku. Dan … ini yang membuat hatiku berdenyut nyeri. Test pack itu menunjukan dua garis berwarna merah yang sangat jelas.
"Mira, kamu hamil?!" Mata ibu melebar. Sesekali tangannya mengatup pada mulut karena mungkin sangat terkejut dengan kehamilan mbak Mira.
"Iya, Bu. Alhamdulillah." ucap mbak Mira girang. Ia lantas mendaratkan pelukan di tubuh ibu dan mendekapnya lama.
Sedangkan aku, aku menatap kebahagiaan mereka dengan kemelut duka dalam hati. Bukan aku tak bahagia akan mendapat keponakan. Tetapi, gunjingan tetangga dan ibu yang sudah pasti akan mengusik telingaku.
Ah, rasanya aku ingin enyah saja dari sini.
"Mira, kamu istirahat aja ya, nggak usah kerja. Biar Danu aja yang kerja." cecar ibu seusai mereka menyudahi pelukan masing-masing.
"Nggak ah, Bu. Aku masih pengen kerja, hari ini aja aku izin cuti karena mau periksa ke Dokter." cetus mbak Mira.
Di sini, dengan baik aku menyimak pembicaraan hangat keduanya. Hampir saja aku ingin menyimak sambil makan pop cron.
"Ya udah, kamu istirahat aja. Biar ibu masakin makanan kesukaan kamu." titah ibu memapah mbak Mira untuk duduk.
Kuayunkan langkah hendak ke kamar.
"Yeni! Mau ke mana kamu?!" sentak ibu membuat langkahku reflek terhenti.
"Mau ngarit." ujarku sekenannya. Karena memang rencananya aku ingin ikut mas Irfan nyari rumput. Daripada di rumah, pasti banyak cemoohan yang membuat kuping panas mendingan aku nyari udara segar.
"Emang bisa ngarit?" Naik turun alis ibu seolah tak percaya pada jawabanku. "sama cacing aja takut gimana bisa ngarit." lanjutnya menorehkan decak tawa.
"Bisalah," kataku tak acuh.
"Udah lah, nggak usah ke mana-mana, mendingan bantuin Ibu masak biar cepat selesai. Kasihan tuh bayinya Mira pasti lapar." panjang kali lebar kali tinggi ibu berceloteh.
"Bukannya tadi ibu yang nyuruh aku pergi ya?"
"Itu tadi, sekarang enggak. Udah ah, jangan membantah mulu, nih kupas pete ini."
Satu keranjang pete yang barusan diambil ibu langsung di sodorkan ke arahku.
"Huek!"
Next?
Kira-kira siapa hayo yg mual??
Login untuk melihat komentar!