Dejavu

“Alaa bidzikrillahi tathmainnul-qulub.”

Hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tentram.
(QS. Ar Ra'd Ayat 28)

__________________________________________________


Allahu Akbar Allahu Akbar ...

Suara adzan shubuh mulai terdengar dari segala penjuru arah. Membangunkan setiap insan yang memiliki harapan untuk menjemput sebuah berkah.

Mendengar suara adzan membuat Haura terbangun dari tidurnya.

"Astagfirullah, aku ketiduran," ucapnya mendapati dirinya yang tertidur di atas sajadah, masih dengan mengenakan mukenah dan Al Qur'an dalam pelukannya.

Ia segera meletakkan Al Qur'an di nakas yang tak jauh dari tempatnya duduk. Kemudian perlahan mulai melepas mukenahnya.

Ingatannya kemudian kembali pada kejadian semalam, saat ia merasa begitu gelisah dan memutuskan untuk sholat dan membaca Al Qur'an sebagai upaya menghilangkan kegelisahannya.

Ia lalu tersenyum, "memang benar, hanya dengan mengingat Allah lah hati ini menjadi tenang. Sesuai dengan yang selalu******dalam Al Quran surah Ar Ra'd ayat 28, Ala bidzikrillahi tathmainnul-qulub.”

Haura segera beranjak dari tempatnya untuk mengambil wudhu dan bersiap melaksanakan sholat shubuh.

Hari ini ndalem kyai Musthofa tampak sepi, hanya ada Haura seorang diri. Abah dan Umminya sedang ada acara di luar kota. Ia diamanahi orang tuanya untuk menjaga pesantren dalam beberapa hari. 

Setelah selesai mengambil wudhu, Haura segera bergegas ke masjid untuk mengikuti sholat jamaah. Setiap shubuh, maghrib dan isya' para santriwan dan santriwati  berkumpul di masjid untuk melakukan sholat berjamaah. Sedang untuk dzuhur dan ashar, mereka berjamaah di tempat terpisah, santri putra tetap berjamaah di masjid, sedang santri putri melakukan sholat berjamaah di mushollah, itu karena waktu sholat berjamaah yang tidak panjang, hanya di sela-sela kegiatan belajar-mengajar.

Haura berjalan menuju masjid, hembusan angin pagi terasa sangat segar saat menerpa wajahnya yang masih dibasahi sisa air wudhu. Aroma embun yang bercampur dengan segarnya dedaunan menyeruak memasuki indera penciuman Haura, sangat segar dan menenangkan. Sejenak Haura memejamkan matanya, menikmati kesegaran pagi yang selalu ia rindukan.

Sejak empat tahun lalu, waktu shubuh menjadi waktu yang spesial bagi Haura. Karena tiap kali ia mendengar adzan shubuh, ingatannya akan kembali memutar kejadian indah di stasiun kereta, di mana saat itu ia merasakan indahnya jatuh cinta untuk kali pertama.

Haura tersenyum mengingat pertemuan pertamanya dengan Haidar, "Pertemuan awal kita selalu diikuti dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, dan disetiap pertemuan selalu terdapat kisah yang semakin menambah kecintaan di hati. Aku yakin ini semua bukan sebuah kebetulan, ada maksud Tuhan di dalam setiap pertemuan kita," batin Haura kemudian melanjutkan langkahnya menuju Masjid.

Saat Haura menginjakkan kakinya di Masjid, tampak kondisi masjid masih lenggang. Beberapa santriwati sudah duduk  di saffnya, Sebagian dari mereka sedang sholat qobliyah Shubuh, sebagian lagi sedang membaca ayat-ayat suci Al Qur'an. Banyak juga santriwati yang masih berlalu lalang tengah bersiap-siap mengikuti sholat jamaah shubuh.

Haura berjalan dan memilih shaff di bagian paling depan, karena semakin terdepan shaff saat berjamaah akan semakin besar keutamaan yang akan diterima. Dia gelar sajadahnya kemudian melakukan qobliyah shubuh dan lanjut membaca Al Qur'an sembari menunggu sholat dimulai.

Tak berselang lama, terdengar iqomah dikumandangkan. Haura segera bangkit dan bersiap, tak lupa ia sempatkan untuk merapikan shaff di sisi kanan kiri dan belakangnya. Menghimbau para santri agar merapatkan shaffnya.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening, semua tengah bersiap melakukan ritual pertemuan dengan Rabbnya. 

"Allahu Akbar."

Terdengar sang Imam teleh memulai sholatnya, diikuti seluruh jamaah yang berada di belakangnya.
Hening sejenak setelah takbir dikumandangkan sebagai pertanda imam tengah membaca doa iftitahnya, sesaat kemudian terdengar Imam memulai bacaan Alfatihahnya.

"Bismillahirrahmanirrahim ..."

Deg!

Haura seperti merasakan dejavu saat mendengar suara indah itu. Di waktu yang sama saat shubuh, di posisi yang sama saat sholat, dan dengan suara imam yang sama. Suara itu sempat membuyarkan fokus Haura dalam sholatnya, kemudian bersusah payah Haura mengembalikan khusyu'nya dan mempertahankan sampai akhir shalatnya.

"Assalamu'alaikum warahmatullah ..."
Terdengar imam mengucap salam sebagai penutup sholat berjamaah, diikuti oleh seluruh makmum di belakangnya. Termasuk Haura yang sedari tadi berjuang mempertahankan kehusyu'an sholatnya.

"Astaghfirullah ..." ucap Haura sesaat setelah mengucapkan salam.

"Ampuni hamba yang tidak bisa fokus dalam pertemuan dengan-Mu kali ini Ya Allah," sesal Haura dalam hatinya.

Dadanya masih berdegub kencang, tangannya terasa dingin, tubuhnya tiba-tiba berkeringat.

"Ya Allah, apakah mungkin semua ini hanya sebuah kebetulan? Skenario-Mu begitu rapih untuk di anggap hanya sekedar sebuah kebetulan. Suara itu adalah suara yang sama seperti imam shalat shubuhku empat tahun lalu, suara yang membuatku jatuh hati pada pemiliknya," batin Haura, kemudian ia melanjutkan dzikirnya.

Setelah sholat shubuh dan dzikir berjamaah selesai, para santri satu persatu meninggalkan shaffnya. Meski ada juga beberapa yang menetap untuk sekedar membaca Al Qur'an atau menghafal tugas hafalan hadis dan alfiyah.

Beberapa santri yang berada di sisi dan belakang Haura mendekat dan menyalaminya sebagai rasa hormat. Ada yang langsung pergi, ada juga yang tetap disana untuk berkonsultasi atau sekedar berbasa-basi.

Setelah meladeni para santri, Haura menyempatkan bertanya prihal pertanyaan yang sedari tadi mengisi pikirannya.

"Oh iya, kalian tahu tidak siapa yang biasa menggantikan Abah menjadi imam sholat saat Abah tidak ada di rumah?" tanyanya pada beberapa santri yang mengerumuninya.

"Biasanya selalu Ustadz Haidar, Ning. Karena dengar-dengar sih Abah Kyai pernah berpesan, kalau beliau berhalangan, maka yang menggantikannya adalah ustadz Haidar. Kalau keduanya berhalangan, baru bisa diganti oleh ustadz lainnya,'' jawab sesesantri yang ikut nimbrung mengobrol dengan ning Haura.

"Jadi yang tadi mengimami sholat shubuh kita itu ustadz Haidar?" tanya Haura memastikan.

"Iya, Ning. Udah ketahuan dari suaranya yang merdu," jawab santri yang lainnya.

"Masya Allah ...," gumam Haura kagum.

"Kenapa, Ning?" tanya santri itu kembali.

"Nggak apa-apa, suaranya sangat indah," jawab Haura seraya tersenyum, "Ya sudah, kalau begitu saya duluan, ya. Kalian sebaiknya segera bersiap-siap, Jam 07.00 kan kalian sudah harus apel," ucap Haura pada para santri yang berkerumun di sekitarnya

Para santri pun menurut, mereka kembali mencium tangan Haura, kemudian satu persatu pergi meninggalkannya.

Haura segera beranjak dari tempatnya, hari sudah mulai terang, ia harus segera kembali untuk menyiapkan sarapan dan bersiap-siap, karena hari ini dia ada kelas pagi.

Haura melangkah pelan namun pasti, melewati halaman masjid yang dikelilingi pohon kelapa yang berjajar semampai dengan dedaunannya yang tampak berkibar-kibar indah.

"Ya Allah, seandainya engkau menjadikannya imam dalam setiap shubuhku, dalam setiap sholatku, bahkan di dalam urusan rumah tanggaku, maka hamba akan sangat bahagia dan bersyukur, jika memang benar seperti itu takdir yang Engkau tuliskan untuk hamba," harap Haura dalam hatinya.

Tak berselang lama ia telah sampai di depan rumahnya. Namun sedetik kemudian Haura tampak terkejut, karena tak jauh dari tempatnya telah berdiri seseorang yang sedari semalam memenuhi pikiran dan hatinya.

Lelaki itu tersenyum,

"Selamat Pagi Ning Haura,'' ucapnya yang membuat irama detak jantung Haura berlompatan tak karuan.