"Cinta adalah saat kamu menatap mata seseorang dan melihat semua yang kamu butuhkan ada di sana." - M. Ali Haidari.
______________________________________________
Tiga hari berlalu, dan hari ini adalah penentuan para juara olimpiade Al Qur'an.
Semua peserta dari berbagai cabang lomba berkumpul di masjid Istiqlal. Mereka menunggu acara pengumuman para juara sekaligus penutupan olimpiade Al Qur'an nasional dengan penuh harap.
MC sudah membuka acara di pagi hari ini. Ia memberikan sambutan dan menyebutkan rangkaian acara yang akan berlangsung.
Setelah membuka acara dengan bacaan Ummul Qur'an surah Al Fatihah, MC lanjut mengajak para hadirin untuk memasuki acara selanjutnya.
"Acara berikutnya yaitu pembacaan ayat-ayat suci Al Qur'an, yang akan dibawakan oleh saudara kita Muhammad Ali Haidari, selaku juara pertama Musabaqah Tilawatil Quran tingkat internasional di Maroko tahun lalu.
Kepada saudara Muhammad Ali Haidari, waktu dan tempat kami persilahkan."
Ucapan MC ditutup dengan suara riuh tepuk tangan dari seluruh hadirin.
Tak lama kemudian, tampak seseorang bangkit berdiri dari barisan kaum lelaki berjalan menuju ke arah podium yang telah disiapkan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh," ucap lelaki yang dikenal dengan nama Haidar sebagai muqaddimah bacaan Al Qur'annya.
" 'Audzubillahiminasyaitonirojim ...," Haidar memulai bacaan Al Qur'annya dengan suara yang sangat syahdu, membuat semua hadirin terpaku kala mendengar suaranya yang begitu merdu. Mereka yang awalnya saling berbicara satu dengan yang lain, saling bercanda satu dengan yang lain, kini semuanya terdiam dan fokus mendengarkan ayat-ayat suci Al Qur'an yang dilantunkan oleh suara Haidar.
"MasyaaAllah, indah sekali suara itu," gumam Haura pelan, ia belum mengetahui siapa yang tengah melantunkan ayat Al Qur'an dengan suara merdu itu.
"Iya,ya. MasyaaAllah, bagus banget suaranya, jadi penasaran deh sama pelantunnya," ucap Hamidah mulai celingukan ingin tahu siapa pemilik suara yang sangat merdu itu. Sedang Haura masih tetap menikmati lantunan ayat suci Al Qur'an dengan khusyuk di sisi sahabatnya.
"Eh Ra, Ra ... Coba lihat deh, itu kan salah satu dari rombongan cowok yang kemarin? Kelihatan loh dari almamaternya," bisik Hamidah antusias.
"Terus kenapa, Mid? Kamu tuh, ya, lagi dibacain ayat Al Qur'an bukannya dengerin malah heboh sendiri," tegur Haura masih tak menghiraukan Hamidah.
"Ya habisnya aku penasaran sih siapa pemilik suara yang merdu itu, mana ganteng lagi orangnya. Jangan-jangan itu cowok yang kamu lihat lagi, Ra? Kan kamu bilang dia ganteng?" Hamidah tak menghiraukan teguran Haura.
Ucapan Hamidah mulai membuat Haura penasaran, ia lalu mengedarkan pandangannya ke arah podium.
Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat ternyata lelaki yang disebut dengan panggilan Muhammad Ali Haidari tadi adalah lelaki yang sama dengan yang ia temui di depan kereta shubuh itu.
"MasyaaAllah," gumam Haura pelan masih dengan pandangan melekat pada Haidar.
"Ra, Haura ... Fathimah Haura!" Panggil Hamidah yang tak kunjung mendapati sahutan dari Haura.
"Shodaqollahul 'adziim," hingga terdengar suara Haidar mengakhiri lantunan Ayat-ayat sucinya.
Puk!
Hamidah menepuk paha Haura pelan, membuat Haura terkejut dan berucap istighfar.
"Astagfirullah ... Kenapa sih, Mid?"
"Kamu tuh yang kenapa? dari tadi dipanggil nggak nyahut-nyahut saking fokusnya ngeliatin Abang Haidar," ledek Hamidah pada Haura.
"Astagfirullah," Haura beristighfar sekali lagi.
"Jadi bener, Ra? Dia cowok yang kamu lihat kemarin?" Tanya Hamidah penuh selidik, sedang Haura hanya diam membisu.
"MasyaaAllah, Ra. Pantes seorang Fathimah Haura sampai terpesona. Kalau kaya begitu juga semua mau, Ra," lanjut Hamidah kemudian.
"Mau apa maksudmu, Mid?"
"Mau dinikahin," jawab Hamidah berbisik mengundang cubitan halus dari Haura di pahanya.
"Kamu itu loh, Mid. Kok malah ngalor ngidul mikirnya," ucap Haura heran.
"Aduuuh, sakit tau, Ra," keluh Hamidah merasakan sakit di pahanya akibat cubitan Haura.
"Lagian aneh-aneh aja," kesal Haura mendengar ocehan teman yang kerap ia sebut sebagai besti itu.
"Aneh-aneh gimana sih, Ra? Kalau kamu nggak mau ya biar aku aja lah yang mau sama Bang Haidar," ucap Hamidah.
Haura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan begitu pertanyaan yang tepat, Mid," jawab Haura mulai meladeni ucapan Hamidah.
"Terus gimana, dong?"
"Pertanyaanya, mau nggak dia sama kita-kita? Kok ge-er banget kita udah bilang mau-mau sama dia?" lanjut Haura menjelaskan
"Ya elah, Ra ... masalah itu mah pikir belakangan aja, yang penting kitanya mau. Ya udah kita minta sama Allah, kan beres? Dikasih Alhamdulillah, nggak di kasih ya Alhamdulillah, berarti Allah sudah siapkan yang lebih baik untuk kita," jawab Hamidah panjang kali lebar yang dibenarkan oleh Haura.
"Tumben kamu bijak, Mid?" canda Haura pada temannya.
"Yee, ngeremehin aku kamu, Ra," sahut Hamidah tak terima.
Mereka pun tertawa ringan.
"Ya Allah, ampuni kami yang malah ghibahin Ajnabi di rumah-Mu yang mulia ini," ucap Haura dengan gaya khas orang berdoa.
"Ghibah itu ngomongin kejelekan orang lain, Ra. Lah kalau kita kan ngomongin kelebihan-kelebihannya, itu namanya mengagumi ciptaan Tuhan, kan, Ra? Pahala itu." Hamidah terus mencari pembenaran.
"Terserah kamu lah, Mid," sahut Haura tak ingin berdebat.
"Yee, di bilangin ga percayaan si Neng," ucap Hamidah yang tak ditanggapi lagi oleh Haura.
Sambutan demi sambutan telah dilalui, kini saatnya masuk ke acara inti yaitu pengumuman juara Olimpiade Al Qur'an.
Para peserta yang sedari tadi menunggu sudah tak sabar dan harap-harap cemas.
Sedang di sisi lain dari bagian masjid ini para juri tengah berkumpul.
"Haidar, nanti kamu bantu menyerahkan hadiah untuk para juara, ya," ucap seorang juri yang sudah senior.
"Biar juri-juri yang lainnya saja, Ustadz. saya kan masih baru, belum pantas," Jawab Haidar merendah.
"Justru karena kamu masih baru, jadi pengalaman kamu masih fresh, wajah kamu juga masih sangat familiar di kalangan pecinta Al Qur'an. Jadi sebaiknya kamu saja yang maju ke depan, nanti saya kasih bagian di beberapa cabang lomba," jelas sang Ustadz pada Haidar.
"Baik, Ustadz, " jawab Haidar tak lagi menolak.
Kemudian pengumuman para juara pun dimulai, satu persatu juara dipanggil ke depan sesuai dengan cabang lomb nya untuk diberikan hadiah.
Hamidah dipanggil sebagai Juara 1 Tafsir Al Qur'an. Sedang dua teman lainnya juga dipanggil sebagai Juara 2 dan 3 cabang lomba Tilawatil Qur'an. Hanya tinggal Haura yang masih harap-harap cemas, sebab cabang lomba yang diikutinya termasuk cabang tertinggi, sehingga pengumumannya pun sengaja diletakkan di paling akhir.
Kini tiba giliran Haura yang namanya dipanggil sebagai Juara.
"Dan inilah, juara satu cabang lomba Musabaqoh Hifdzil Qur'an 30 Juz, atas nama Fathimah Haura, perwakilan dari Al Falah University Jepara. Kepada Fathimah Haura dipersilahkan segera maju kedepan untuk di berikan penghargaan."
"Alhamdulillah," ucap Haura lega. Ia kemudian maju ke depan dengan rasa bangga dan percaya diri. Namun tetap menunduk demi menjaga hati dari rasa ujub dan menjaga pandangannya dari ajnabi.
Sedang di tempat yang lain, Haidar tengah tersenyum penuh kekaguman,
"MasyaaAllah, Fathimah Haura. Dia pasti putri kyai Musthofa yang sering aku dengar namanya, namun belum pernah sekalipun kulihat rupanya," batin Haidar yang tengah memperhatikan dari belakamg sosok perempuan yang tengah berjalan anggun menuju ke depan.
"Baiklah, kepada Ustadz Muhammad Ali Haidari harap maju ke depan untuk memberikan penghargaan pada juara kita di cabang lomba MHQ 30 Juz ini," lanjut MC mempersilahkan Haidar untuk maju.
Deg!
Sejenak Haura terdiam, ia cukup terkejut tatkala mendengar nama Haidar yang dipanggil untuk memberikan penghargaan padanya. Entah mengapa tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada rasa bahagia bercampur grogi karena akan kembali bertemu bahkan bertatap muka dengan lelaki yang dikaguminya.
Jantungnya berdegup kencang, tangannya tiba-tiba terasa dingin, dan perutnya mendadak menjadi mual dan mulas.
"Tenang Haura, jangan seperti ini," Haura mencoba melakukan afirmasi positif untuk dirinya. Namun nihil, tidak ada hasil yang dirasakannya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Haidar. Hatinya bergetar kala mengetahui akan berjumpa dengan sosok wanita yang telah lama ia kagumi. Walau belum pernah bertatap muka, namun harum nama Haura sang putri kyai Musthofa itu tidak asing lagi di telinganya. Seorang wanita cantik dengan segudang prestasi yang memiliki akhlak mulia, yang selalu menjaga pandangan juga kehormatannya.
Haidar mulai memberikan penghargaan dan hadiah pada para juara, dimulai dari juara harapan 3 Cabang MHQ 30 juz sampai pada juara pertamanya.
Kini lngkah Haidar tertuju ke arah Haura, dan betapa terkejutnya ia ketika tahu bahwa Haura adalah perempuan yang ditemuinya di stasiun pagi itu.
"Kamu?" ucap Haidar tersenyum memandang Haura, membuat Haura tiba-tiba blushing tak tertahan.
"Selamat, ya,'' lanjut Haidar masih memandang Haura yang tertunduk malu.
"Terima kasih," ucap Haura lirih.
Haidar tersenyum manis. Kemudian menyerahkan piala, piagam penghargaan dan sejumlah uang tunai kepada Haura.
"MasyaaAllah, betapa tenang jiwa ini saat memandangnya. Seperti sebuah kerinduan yang telah lama menanti pertemuan dengan tuannya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Karena ketika aku memandangnya, rasanya seperti aku menemukan semua yang aku butuhkan di sana," batin Haidar kemudian berdiri di sisi Haura untuk berfoto bersama para juara.
_______________________
Bantu support cerita ini di event #KWC season 4 dengan subscribe dan bintang 5 ya Reader. Terima Kasih