"Jangan biarkan kekecewaan menghancurkan harapan. Sesungguhnya, Tuhan menyukai hamba Nya yang berdoa dalam harapan." - Fathimah Haura
___________________________________________________
Fajar menjelma menjadi cahaya, pertanda bahwa hari telah bermula. Suara alunan ayat-ayat suci Al Quran dari para santri terdengar begitu indah, masuk melalui indera pendengar dan merasuk ke dalam sukma.
Pagi hari adalah waktu di mana para santri putra dan putri berkumpul di kelas yang berbeda, namun terhubung dengan sound yang sama, yang memimpin mereka melantunkan ayat Al Quran dengan nada yang sama, atau biasa disebut dengan istilah Qoor.
Rutinitas membaca Al Qur'an bersama sebagai awal dari dimulainya kegiatan belajar mengajar sudah di lakukan para santri sejak pesantren ini didirikan.
Mereka selalu berpedoman pada nasihat sang Kyai,
"Awali hari dengan sesuatu yang baik, Insya Allah akan kalian temui kebaikan sampai malam di waktu mata kalian terpejam."
Begitulah nasihat kyai Musthofa pada santri-santrinya.
Satu bulan berlalu sejak kepulangan ning Haura ke tempat asalnya. Kini Haura sudah banyak berkontribusi dalam kepengurusan pesantren, tidak hanya itu, Haura juga turun langsung untuk mengajar para santriwati di beberapa mata pelajaran.
Kehadiran Haura diterima dengan sangat baik oleh para santri, kepribadiannya yang humble dan rendah hati membuat para santri mudah merasa dekat dengan putri Kyainya itu. Mereka merasa akrab, namun tetap segan dan menghormatinya sebagai putri dari sang pemimpin pesantren.
Hari ini Haura sedang berada di suatu kelas untuk menyampaikan pelajaran Tafsir Al Qur'an. Haura menyampaikan materi dengan lugas dan detail, membuat para santri mudah memahami maksud yang disampaikannya. Para santri fokus mendengarkan dan menyimak dengan seksama, sesekali mereka juga mencatat hal hal yang perlu dicatat.
"Sifat Arrahman dan Arrahim dalam kalimat bismillah secara bahasa memang memiliki arti yang sama, namun secara makna keduanya memiliki perbedaan.
Sifat ar-raḥmān Allah jangkauannya lebih umum, mengandung makna pemberian rizki di dunia dan hal ini berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya secara menyeluruh, tanpa terkecuali, baik itu hewan, tumbuhan, terutama manusia tanpa melihat apa keyakinannya.
Adapun makna yang terkandung dalam sifat ar-raḥīm yakni ampunan Allah di akhirat, dan hal ini hanya diperuntukkan secara khusus kepada orang mukmin yang beriman kepada Allah."
Samar-samar Haidar mendengar penjelasan Haura tentang sifat kasih sayang Tuhan kepada para santri,
Ia sengaja berhenti sejenak untuk mendengar suara Haura yang tengah mengajar dari luar kelas.
"Masya Allah, sudah lah cantik, berakhlak baik, bernasab mulia masih pula di anugerahi kecerdasan dan keahlian dalam menyampaikan yang luar biasa. Benar-benar bentuk kesempurnaan dari seorang wanita," batin Haidar yang semakin mengagumi sosok Haura.
Tak berlama-lama berdiri di sana, Haidar segera melanjutkan langkahnya menuju kantor asrama untuk kepentingan tertentu.
Saat Haidar berjalan melintasi kelas, pandangan para santriwati mulai tak dapat dikendalikan. mereka kehilangan fokusnya mendengarkan pelajaran yang tengah disampaikan oleh ning Haura. Kini semua mata tertuju pada Haidar yang tengah berjalan melintasi kelas mereka.
"Eheem," Haura berdehem menyadarkan para santriwati yang mulai berhalusinasi.
"Sudah bisa kembali fokus mendengarkan?" tanya Haura pada mereka yang dijawab serentak oleh para muridnya
"Sudah, Ning.''
Kemudian Haura pun melanjutkan pelajarannya.
Haura memaklumi apa yang terjadi di dalam kelasnya saat Haidar melintas, bahkan ia pun mungkin merasakan hal yang sama dengan murid-muridnya. Hanya saja dia lebih pandai menjaga dan mengolah perasaannya.
Saat Haura mulai kembali menyampaikan pelajarannya, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
Tak berselang lama seorang wanita yang merupakan ketua pondok putri membuka pintu.
" Permisi, Ngapunten, Ning saya mengganggu."
"Oh, nggak apa-apa, Ukhty. Ada apa, ukhty Atikah?" jawab Haura pada wanita yang dikenal dengan sebutan Atikah tersebut.
Atikah berjalan ke arah Haura untuk menyampaikan hajatnya.
"Jadi begini, Ning. Atap kelas ini ada yang bocor, kalau hujan jadi sering banjir. Nah mumpung hari ini terang, kami berinisiatif untuk membenarkannya, mumpung tukangnya hari ini bisa. Mohon maaf jadi mengganggu waktu belajar nya, Ning."
Ucap Atikah menjelaskan dengan sopan pada Haura.
"Oh, begitu. Jadi kami harus berpindah begitu?" tanya Haura balik.
"Inggih, Ning untuk sementara saja."
"Baik, tidak apa-apa, Ukhty. Jadi di mana kami bisa berpindah untuk melanjutkan pelajaran?"
"Kalau itu bebas, Ning. Di aula sedang kosong, di Mushollah juga kosong, atau bisa di manapun yang Njenengan dan anak-anak merasa nyaman."
"Baik kalau begitu beri saya waktu sebentar, ya," pinta Haura.
"Baik, Ning."
Atikah meninggalkan kelas Ning Haura. Kemudian Ning Haura menyampaikan pesan Atikah pada murid-murid-nya.
"Baiklah, berhubung kelas ini harus di renofasi, jadi sementara kita belajarnya pindah dulu. Sekarang saya kasih kalian pilihan, mau belajar di aula, mushollah atau suasana alam?"
"Suasana alam saja, Ning" ucap para santri serempak.
"Oke, kalau begitu kita pindah di bawah pohon beringin itu ya," ucap Haura sembari menunjuk sebuah pohon bringin besar yang terletak tak jauh dari kelas tempatnya mengajar.
Pohon beringin itu sudah ada sejak Abahnya membeli tanah untuk membangun pesantren ini, kyai Musthofa sengaja membiarkannya sebagai tempat berteduh para santri. Dan sekarang, setiap habis subuh dan sore hari banyak santri yang duduk di bawah pohon itu untuk menghafal Al Qur'an ataupun menghafal nadzom-nadzom Alfiyah ibnu Malik. Suasananya yang dingin, sejuk dan damai memang sangat cocok digunakan sebagai tempat menghafal.
Ning Haura dan para santri melanjutkan pelajaran dibawah pohon beringin, semilir angin yang begitu sejuk membuat suasana belajar semakin nyaman, para santri yang mendengarkan penjelasan ning Haura pun tampak lebih fokus dan menikmati pelajaran ini.
Materi sudah selesai disampaikan, kini saatnya memasuki sesi tanya jawab. Para santri saling berbicara satu dengan lain membahas materi yang telah disampaikan Ning Haura, kemudian mempersiapkan pertanyaan apa yang ingin mereka tanyakan. namun tiba-tiba fokus mereka terpecah saat melihat Haidar berjalan ke arah kelas bersama seorang tukang yang akan merenovasi kelas tersebut.
Suasana menjadi hening sejenak, kemudian deheman Ning Haura kembali menyadarkan para santri dari lamunan ya.
"Ehem ... jadi ada yang mau ditanyakan?" tanya Haura sekali lagi.
"Hehehe ada, Ning," jawab mereka serentak.
Kemudian satu persatu dari mereka menyampaikan pertanyaannya. Sedang Ning Haura berusaha menjawab pertanyaan para santri dengan sebaik mungkin.
Sesi tanya jawab sudah selesai, namun waktu belajar masih tersisa sekitar 10 menit, kemudian sisa waktu itu mereka gunakan untuk saling mengobrol dan pendekatan satu dengan yang lain.
Saat tengah asyik mengobrol dan bercanda, tiba-tiba mereka menghentikan tawanya saat melihat Haidar keluar dari kelas.
"Kenapa pada berhenti ngobrolnya?" tanya ning Haura pada para santri, namun tak satupun dari mereka yang menjawab. Tiba-tiba seorang santri yang terkenal pendiam menyeletuk, "Mereka pada jaim itu, Ning di depan ustadz Haidar, mereka kan pada naksir sama ustadz Haidar."
Jawaban Aisyah membuat para santri tak nyaman.
"Woy Aisyah! Nggak usah sok suci, Lo, Lo juga pasti dalam hati naksir, kan sama ustadz Haidar?"
ucap Hafsah tak terima dengan ucapan Aisyah si santri pendiam itu.
.
"Iya nih Aisyah, jangan sok suci deh," seru santri yang lain.
"Sudah, sudah. Jangan bertengkar!" ucap Ning Haura menengahi.
"Nggak ada yang salah dari rasa cinta atau menyukai seseorang, asalkan kita tidak terlena dengan rasa itu hingga menjerumuskan kita pada maksiat," ucap ning Haura menjelaskan yang diikuti oleh anggukan para santri.
"Memangnya benar apa yang di katakan Aisyah tadi? Kalian semua naksir sama ustadz Haidar?" tanya Haura kemudian.
Kemudian para santri saling menoleh satu dengan yang lain, "kalau itu sih hampir satu Pondok Putri kali Ning yang ngerasain, orang Ustadz Haidar gantengnya di atas rata-rata," lanjut Hafsah malu-malu yang disambut gelak tawa oleh teman-teman nya. ning Haura pun ikut tertawa mendengarnya.
"Anak-anak ini masih sangat polos, mereka belum mengerti makna cinta yang sesungguhnya, mereka hanya tahu bahwa cowok ganteng lah yang pantas dijadikan sebagai objek harapan di masa depan mereka,'' batin Haura.
"Oh, iya kah? Terus di antara kalian tidak ada kah yang berinisiatif menyampaikan perasaannya pada ustadz Haidar?" Tanya Haura mulai tertarik dengan tema obrolan kali ini.
"Nggak ada yang berani, Ning, takut sama Ukhty Atikah," sahut Zainab salah satu murid teraktif di kelas ini. Mereka pun kembali tertawa mendengar ucapan Zainab.
"Oh, pasti kalian takut sama ukhty Atikah karena dia ketua pondok ya? takut kena hukuman kan kalau ketahuan naksir Ustadz Haidar?" Haura mencoba menebak sebab ketakutan mereka.
"Bukan, Ning, tapi karena ukhty Atikah juga naksir sama Ustadz Haidar," kali ini Zahra ikutan menyahut.
Mereka pun kembali tertawa begitu renyah.
Sedang Haura justru terdiam memikirkan ucapan Zahra yang sedikit mengganggu hatinya.
"Apa benar ukhty Atikah ada rasa sama ustadz Haidar? Lalu bagaimana dengan ustadz Haidar sendiri ya?apa dia juga memiliki rasa yang sama?"
Batin Haura bertanya-tanya. Kemudian tak sengaja netranya melihat Haidar berjalan berdampingan dengan Atikah dari arah kantor asrama. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu, sesekali mereka tampak sama sama tersenyum.
"Mereka terlihat sangat akrab," Batin Ning Haura, entah mengapa di dalam sana seperti ada yg terasa sakit saat melihat mereka berdua begitu akrab.
"Tenang Haura, jangan biarkan kekecewaan menghancurkan harapan. Sesungguhnya, Tuhan menyukai hamba-Nya yang berdoa dalam harapan," ucap Haura dalam hati berusaha menenangkan dirinya sendiri.
________________
*) Ngapunten : Maaf