"Ketika sebuah mimpi indah menjadi nyata di depan mata, maka di situ lah letak kebahagiaan tiada tara. "
- M.Ali Haidari
_________________________________________________
"Selamat pagi, Ning Haura," ucapnya yang membuat irama detak jantung Haura berlompatan tak menentu.
"U ... Us ... Ustadz Haidar? Wa'alaikumsalam," tanya Haura terbata, sedang Haidar hanya tersenyum sembari menundukkan kepalanya hormat.
"Panggil Haidar saja, Ning," ucap Haidar tak enak mendengar panggilan ustadz itu dilontarkan oleh Haura.
"Oh, Iya. Ada apa, Akhy Haidar?" tanya Haura yang sudah mulai menguasai dirinya.
"Saya mencari kyai Musthofa, apa beliau sehat? Soalnya tadi tidak hadir jamaah shubuh di Masjid," ungkap Haidar menjelaskan tujuan kedatangannya.
"Oh, Abah memang mendadak ada undangan di luar kota bersama Ummi, jadi semalam langsung berangkat tanpa sempat memberitahu Akhy Haidar terlebih dahulu," jawab Haura menjelaskan.
"Oh begitu, syukurlah kalau Kyai sehat, biasanya Kyai kalau mau bepergian memang selalu memberitahu saya, tapi tadi malam tidak ada pemberitahuan sama sekali. Tiba-tiba saat jamaah subuh beliau tidak hadir, jadi saya khawatir beliau sedang sakit," ungkap Haidar menyampaikan kekhawatirannya.
"Alhamdulillah, Abah sehat, kok. Mungkin karena undangannya mendadak, jadi tidak sempat memberitahu Akhy Haidar terlebih dahulu," balas Haura menenangkan.
" Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu," ucap Haidar penuh syukur.
"Ehm, Ning ...," panggil Haidar.
"Ya, Akhy?"
""Maaf sebelumnya, kalau saya lancang. Berarti Ning Haura ini sedang sendirian di ndalem?" tanya Haidar sungkan.
"Iya, Akhy," jawab Haura.
Haidar melihat Haura yang masih mengenakan mukenah, kemudian pandangannya beralih ke arloji yang di kenakannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 06.15.
Tak ingin wanita pujaannya itu sampai telat mengajar, Ia pun berinisiatif memberikan makanan yang baru di belinya kepada Haura, karena Haidar tahu biasanya Bu nyai Khadijah yang akan masak untuk anggota keluarganya, sedang beliau hari ini tidak ada di rumah. Ia sangat berharap Haura mau menerima pemberian kecilnya.
"Maaf, Ning. Ini ada sedikit makanan, saya baru membelinya tadi saat berjalan ke rumah H. Mu'in, masih hangat. Semoga Ning Haura berkenan menerimanya," ucap Haidar sembari menyerahkan kotak berisi nasi krawu khas Gresik yang baru dibelinya.
"Terima kasih sebelumnya Akhy, tapi makanannya untuk Akhy Haidar saja," jawab Haura tak enak menerima pemberian Haidar, meskipun sebenarnya ia tengah bingung bagaimana ia harus membagi waktu untuk menyiapkan sarapan dan bersiap-siap untuk mengajar.
"Saya kebetulan sedang puasa, Ning. Tadi ada ibu-ibu menawarkan jualannya ke saya, jadilah saya beli, padahal saya tidak membutuhkannya. Jadi nggak apa-apa, makanannya untuk Ning Haura sarapan saja, dari pada Ning harus ke dapur pesantren dulu, ini sudah hampir pukul setengah tujuh," jelas Haidar berharap Haura mau menerima pemberiannya.
"Maasya Allah, baiklah kalau begitu, terima kasih, ya," ucap Haura dengan raut kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Bukan karena tak perlu lagi masak sarapan, bukan juga karena nasi krawu yang rasanya begitu nendang di lidah, melainkan karena ini adalah kali pertama dia bisa ngobrol dengan durasi lumayan panjang dengan Haidar, dan nasi krawu ini merupakan pemberian pertama dari tambatan hatinya yang berada di hadapan.
"Sama-sama, Ning," jawab Haidar dengan senyuman manis miliknya.
"Kalau begitu saya masuk dulu, ya," pamit Haura.
"Silahkan, Ning," jawab Haidar dengan menundukkan kepalanya.
Haura kemudian meninggalkan Haidar dan memasuki rumahnya. Sedang Haidar masih berdiri di tempatnya, memandangi wanita yang ternyata telah lama di rindukannya.
"Ketika sebuah mimpi indah menjadi nyata di depan mata, maka di situ lah letak kebahagiaan tiada tara,* batin Haidar mengiringi hilangnya punggung Haura di balik pintu.
"Niat hati ingin menemui Abahnya untuk curhat tentang mimpi semalam, malah ketemu anaknya yang sudah hadir di dalam mimpi itu. Ini namanya rizki, Alhamdulillah," batin Haidar bahagia sebelum melangkah meninggalkan ndalem kyai Musthofa.
Pagi itu Haidar memang berniat untuk menceritakan mimpi masa kecilnya yang kembali datang semalam pada kyai Musthofa. Tapi ternyata kyai Musthofa sedang tidak di rumah. Justru takdir malah mempertemukannya dengan Haura, wanita yang selalu hadir di dalam mimpinya.
Hari berganti siang, tampak Huara sedang memberikan latihan ulangan pada murid-muridnya. Tapi saat sedang menulis beberapa soal di papan, isi spidolnya tiba-tiba habis, begitu pun dengan isi ulangnya yang selalu dia bawa dalam satu kotak pensil.
Haura pun meminta muridnya untuk melanjutkan mengerjakan latihan, sedang dia akan ke kantor untuk mengisi ulang spidolnya.
Haura berjalan melewati lorong kelas yang sepi, karena semua santri tengah berada di dalam kelasnya. Ia berjalan sedikit terburu-buru, karena ia harus segera menyelesaikan latihan anak didiknya.
Setelah mengisi spidolnya di kantor diniyah, tak sengaja telinga Haura mendengar seseorang tengah bercakap-cakap di kantor asrama. Haura semakin menajamkan pendengarannya saat dirasa suara itu tak asing baginya.
"Seperti suara akhy Haidar?'' batin Haura, rasa ingin tahunya pun semakin besar. Ia berjalan mendekat ke kantor asrama yang letaknya persisi di sisi kantor diniyah. Samar-samar ia mendengar Haidar tengah berbicara.
"Oke, jadi semua sudah beres, ya, Tik? Kalau sudah biar aku kasih langsung upah tukangnya."
"Iya, udah, Ustadz."
"Oke."
"Oh ternyata akhy Haidar sedang membahas urusan asrama dengan Atikah," batin Haura saat hendak beranjak dari tempatnya.
"Oiya, Ustadz, tadi katanya mau cerita?" suara Atikah kembali terdengar di telinga Haura, membuat Haura membatalkan niatnya untuk kembali ke kelas.
"Kapan saya bilang begitu?" Jawab Haidar membalas pertanyaan Atikah.
"Tadi pagi waktu saya nyapa Ustadz, terus Ustadz kelihatan bahagia banget. Kan saya sempat tanya, kenapa? Ustadz bilang nanti saja akan cerita," jawab Atikah mengingatkan Haidar.
"Ternyata mereka sering bertukar cerita?" batin Haura yang masih di posisi yang sama.
"Oh, itu. Biasa, soal gadis yang biasa aku ceritain," jawab Haidar dengan nada bicara yang terdengar sangat bahagia.
Sedang Haura yang tengah mendengarkan percakapan mereka tampak terkejut mendengar Haidar bercerita tentang seorang gadis. Ada rasa sesak yang tak bisa didefinisikan dalam dadanya.
"Siapakah gadis yang dimaksud Haidar?" batin Haura semakin penasaran.
"Oiya? Ada apa dengan dia? Apa dia sudah kembali, Ustadz?" tanya Atikah antusias mendengar penjelasan Haidar.
"Maasya Allah, seberapa dekat sebenarnya Haidar dengan Atikah? Sepertinya mereka sudah terbiasa saling bertukar cerita. Atikah sangat tahu seluk beluk Haidar bahkan sampai hal hal privasinya. Apa mungkin memang ada hubungan khusus antara mereka?" batin Haura saat mendengar tanggapan Atikah tentang cerita Haidar.
"Iya, akhirnya dia kembali lagi setelah bertahun-tahun menghilang." Haidar mulai bercerita, matanya menerawang jauh ke atas, memandang mimpi-mimpinya yang ia rasa akan segera menjadi nyata.
"Maasya Allah, jadi kapan Ustadz ketemu dia lagi?"
"Semalam, Tik. Dia sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Bahkan dia menungguku di tempat biasa kami bertemu," Haidar melanjutkan ceritanya dengan binar bahagia, bahkan tanpa melihat wajahnya pun Haura bisa merasakan kebahagiaan itu melalui intonasi bicaranya.
"Maasya Allah, sepertinya Haidar sudah memiliki tambatan hati. Mana mungkin aku mengharapkan cintanya yang sudah ia berikan untuk gadis kecintaannya itu? Batin Haura bersedih.
"Aku salah, rasa ini salah, rasa ini tak bisa dibiarkan tumbuh begitu saja. Aku harus segera menghentikannya, sebelum semuanya menjadi semakin runyam," tekad Haura sebelum bergegas kembali ke kelas.
Namun tiba-tiba,
"Buuuuuk!!! Aaawww"
_____________
Support cerita ini dengan like, komen, n vote bintang lima ya.makasih