BAB 1
SUAMI TIDAK PEKA
.
"Aku ingin kita bercerai saja, Pak!" Aku meletakkan kasar gelas berisi rebusan daun salam di atas meja kecil yang ada di kamar kami.
Suamiku menoleh seketika, bersamaan dengan terhentinya gerakan tangan keriput yang tengah memasang kancing pada baju koko di tubuhnya.
"Bapak salah apa lagi sih, Bu?"
"Bapak nggak peka!" Aku berbalik memunggunginya.
Aku melipat tangan di dada, perasaan kesal luar biasa. Lalu, kudengar derap langkah mendekat.
Pria yang telah menemaniku hidup selama empat puluh tahun itu berjongkok di hadapan. Tangannya menggenggam telapakku yang sama keriput dengannya.
"Ibu kenapa?" tanyanya pelan.
Nah, 'kan? Selalu begini. Lupa pada kesalahannya.
Oh, aku tidak akan luluh pada tatapan sendu itu.
"Ini hari apa?" tanyaku ketus.
Dahinya yang mengernyit semakin menambah keriput di sana.
"Rabu, 'kan?" tebaknya.
Ck!
Aku memalingkan wajah, kemudian beranjak dari hadapannya.
"Sudah Ibu duga. Bapak memang nggak pernah ngertiin Ibu."
Menuju lemari, aku mengambil beberapa helai pakaian lantas memasukkan sembarang pada tas berukuran sedang.
"Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya, sembari mencoba untuk bangkit.
Aku melirik sekilas, ia nampak kesusahan berdiri.
Pasti asam urat naik lagi. Padahal semalam sudah kularang untuk tidak memakan kacang rebus terlalu banyak. Ingin menolong, tapi hati terlanjur kesal.
"Sudah kubilang, aku ingin bercerai saja. Bapak tidak pernah menganggap hubungan ini istimewa."
"Bu! Ibu!" Masih kudengar panggilannya dari dalam rumah.
Ini sungguh menyedihkan. Dia hanya memanggil tanpa niat mengejar sama sekali. Padahal, aku telah menemaninya selama ini. Lalu segampang itu ia lupa kalau ini hari yang terlalu istimewa untuk dilewatkan. Menyebalkan.
Aku mengayun langkah menuju pangkalan ojek. Tujuanku ke terminal. Aku memutuskan ke kota hari ini. Biarkan saja lelaki tua itu sendiri sampai ia sadar apa kesalahannya.
.
Menumpangi minibus dan menempuh perjalanan selama tiga jam, akhirnya aku tiba di kota dengan sisa tangis yang membuat wajahku sembab. Sopir mobil sempat panik kala tangisku tak juga selesai.
Tujuanku saat ini adalah rumah Wira, putra pertamaku.
"Ibu? Bapak mana?"
Aku menghambur ke pelukan Mira, menantuku.
"Bapakmu, Mir. Bapakmu." Aku tersedu.
Tangan Mira sibuk mengelus punggungku. Dituntunnya tanganku masuk ke rumah, lalu memintaku duduk di sofa ruang tamu.
Mira menuju dapur dan saat kembali ia membawa nampan berisi air minum di gelas bening.
"Ibu sehat?" tanyanya.
Aku mengangguk samar. Masih sibuk menyeka air mata. Entah apa yang kutangisi.
Beberapa saat kemudian, Wira muncul dengan ekspresi yang sama mengesalkan dengan bapaknya. Entah kenapa dengan anak ini. Biasanya, saat menyambutku datang, Wira akan memeluk lalu menciumi ubun-ubunku. Namun, kali ini berbeda. Wira hanya duduk di hadapanku dengan tatapan ... entah.
"Ibu diapakan sama Bapak?" tanya Wira dengan raut wajah datar.
"Bapakmu ... bapakmu nggak peka, Wir." Suaraku tersendat oleh isakan.
Aku sudah berharap bahwa sesuatu yang romantis akan terjadi hari ini, tapi apa daya, lelaki di kampung sana malah melewatkannya dan tidak peduli sama sekali.
Kulihat Wira menggembungkan pipi. Ia tengah menahan tawa. Semprul sekali anak ini.
"Mas." Mira mendesis pada suaminya.
"Ibu istirahat dulu, ya?" Mira membawaku ke kamar yang biasa kutempati jika berkunjung ke sini.
Saat melihat seprei putih dengan motif taburan kelopak mawar merah, dadaku semakin sesak.
Di seprei itu pasti masih tertinggal aroma tubuh suamiku .
Aku kembali terisak, sebab merindukan ketiaknya. Hiks!
"Bu!" Wira muncul dengan wajah panik.
"Bapak di rumah sakit," ucapnya.
Tubuhku rasanya melayang dengan pandangan yang seketika menghitam.
.
Aku memijit kening saat mencium aroma minyak kayu putih yang menyengat.
Pandanganku semakin jelas, lalu tersadar kini tengah berada di mobil. Ada Wira di belakang kemudi dan di sampingnya duduk Lukman, suami Cici, anakku.
Aku duduk diapit Mira dan Cici di jok belakang.
"Kita perjalanan ke kampung, Bu. Kasihan Bapak," ucap Lukman.
Aku hanya mengangguk. Merasa sangat bersalah meninggalkan suamiku sendirian. Padahal, sepulang dari kebun tadi pagi ia mengeluh jika kolesterolnya sepertinya naik lagi.
"Anak-anak kalian bagaimana?"
"Ada oma opanya, Bu." Kali ini Cici, putriku, yang menjawab.
Aku kembali terisak mengingat kesakitan yang dirasakan suamiku.
"Sabar, ya, Bu. Ini ujian." Mira mengusap punggungku.
Aku mengangguk.
Hidupku memang sempurna. Anak dan menantu yang penyayang, cucu-cucu yang lucu dan sopan, dan besan yang ramah. Hanya ada satu kekurangannya. Suamiku sangat-sangat tidak peka.
.
Kami tiba di rumah sakit kabupaten. Langkahku tergesa dengan hati terus merapal doa. Semoga lelaki menyebalkan itu baik-baik saja.
Saat memasuki ruang rawatnya, ia terlihat sangat bugar. Tidak ada jarum infus, tidak ada obat-obatan di atas nakas. Aku menyesal sempat mengkhawatirkannya tadi. Senyumnya makin lebar kala mengetahui anak dan menantunya hadir semua.
Aku memilih duduk di sofa saat anak dan menantuku mengelilingi bapak mereka. Menanyakan sakit apa, mana yang sakit dan ...kenapa dengan ibu yang uring-uringan.
Sekilas kudengar suamiku berbisik,
"Perempuan memang terlalu sulit untuk dimengerti."
Ck!
Padahal kami sudah bersama selama empat puluh tahun dan dia masih tidak mengerti, katanya.
Keterlaluan sekali lelaki itu.
Aku masa bodoh dengan apa yang mereka bicarakan. Pandanganku sibuk berkeliling pada seluruh sudut ruang. Luar biasa betul suamiku ini. Ia memesan kamar VIP padahal sakitnya tidak parah.
"Bu," panggil suamiku.
Anak dan menantu seketika mundur, kala aku mendekat. Lelaki tua itu mengeluarkan sebatang mawar dari balik selimut rumah sakit yang menutupi hingga pahanya.
Aku membekap mulut. Terharu sekaligus malu.
"Happy Wedding Anniversary, Dear," ucapnya sembari mencium punggung tanganku.
"Ciee .... " Riuh suara menggoda.
Aku menutup wajah yang terasa sangat panas.
.
Kami melambai saat mobil yang membawa dua pasang suami istri itu menjauh.
Pukul tujuh malam mereka memutuskan pulang ke kota.
"Anak-anak harus sekolah besok, Bu." Wira memberi alasan.
"Kita juga nggak mau gangguin orang mau bulan madu." Itu suara Cici.
Lelaki di sampingku terkekeh sambil mengeratkan pelukan di pinggang. Astaga, memalukan sekali.
Kami lalu masuk ke rumah saat mobil mereka tak lagi terlihat.
"Minta tolong ambilkan minum, Bu," titah suamiku.
Aku mengangguk, lalu melangkah menuju dapur. Sempat heran karena suamiku juga menyusul ke dapur.
"Bapak ...," lirihku, saat menyadari di atas meja ada sekotak kue tart berbentuk hati dengan angka empat puluh di atasnya.
Aku berbalik lalu memeluk lelaki yang dulu mati-matian mengejar cintaku.
Kami berpelukan. Lama.
Seketika ia mendorong tubuhku menjauh.
"Ibu bau ketek," ucapnya sambil menutup hidung.
Aku mendelik, tapi setelahnya kembali masuk dalam pelukannya.
"Bapak bau tanah," balasku.
Setelahnya, acara suap-suapan pun terjadi.
Tidak. Lebih tepatnya ia yang sibuk menyuapiku.
"Bapak kenapa nggak makan?" tanyaku.
"Lihat Ibu saja. Sama, kok, manisnya." Ia mengedipkan sebelah mata.
Aku menutup mulut, menahan tawa agar tak tersembur. Mengingat dalam mulutku masih penuh dengan kue.
Dasar gombal.
.
Sejak subuh aku sudah harus direpotkan dengan acara bolak-balik di kamar mandi, akibat kue tart yang hampir separuhnya kuhabiskan sendiri.
Aku meminum sedikit larutan garam dari gelas yang disodorkan suamiku, lalu menyadari ada yang keluar dari bawah tubuhku.
"Pak," panggilku.
"Iya?" Matanya menatap teduh.
"Aku ... pup lagi."
Lelaki itu tersenyum. "Sini Bapak bantu."
Aku dipapahnya menuju kamar mandi dan sesuatu berceceran di lantai.
"Bapak nggak jijik?" tanyaku.
Ia baru saja mencuci tangan selepas membersihkan kotoranku di lantai.
"Kamu bagian dari hidupku, Laksmi." Dikecupnya keningku.
.
Kadang, aku merasa pernikahan ini terasa hambar. Tak ada lagi dentuman kala bergenggaman seperti saat pengantin baru dulu, tak ada lagi pelukan erat sebelum tidur, dan tak ada lagi saling membungkam dalam kecupan. Kupikir tak ada lagi cinta di dalamnya.
Aku akhirnya menyadari satu hal kala menatap wajahnya yang tengah mengelap lenganku dengan kain basah.
Rupanya, cinta tak selalu tentang ucapan atau perayaan. Dia yang mengingatkanmu kala keliru, dia yang tetap mengenggam tanganmu jika terjatuh, dia yang memaafkan bila kau bersalah, dan dia yang mengalah saat kau marah, adalah bentuk persembahan cinta yang lebih dari segalanya.
"Aku masih dan akan selalu sayang, Laksmi," ucapnya saat membantuku memakai baju