Aku melirik Bang Burhan yang sibuk membenahi rambutnya di depan cermin. Setelah berulang kali menghidu pangkal lengannya sendiri, kini lelaki itu kembali menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuhnya.
"Bapak mau kemana?" tanyaku dengan mata menyipit.
Tersentak, Bang Burhan menoleh.
"Eh ...." Lelaki itu mengusap tengkuknya, sedang mataku semakin menyipit penuh dengan intimidasi.
" Temenin ibulah," jawabnya enteng setelah berhasil menguasai diri.
Lalu, Bang Burhan kembali menghadap cermin. Seolah-olah dengan bercermenin maka wajahnya akan kembali awet muda.
Mendengar jawabannya, seketika mataku menyusuri ujung kaki hingga badanku sendiri. Tadi aku memang meminta Bang Burhan menemaniku mengurus tanaman di halaman, tapi kenapa dandanan lelaki tua itu necis sekali? Kami jadi lebih mirip tukang kebun dan majikannya
"Ayo, Bu!" ajak Bang Burhan, seraya berjalan mendahuluiku.
Aku membiarkan lelaki itu jalan lebih dulu, sedang aku sendiri menuju dapur mengambil sabit dan kaos tangan.
Kala mendapat apa yang kucari, aku menuju taman melewati pintu samping.
Aku tersenyum sendiri, kalq terdengar olehku siulan Bang Burhan. Dulu, siulan itulah yang biasa ia gunakan untuk menggodaku di kampus.
"Hai, cewek."
"Cantik."
"Bale-bale, dong, siapa tahu jodoh."
Candaan demi candaan semacam itu sudah menjadi makananku sehari-hari di kampus kala berpapasan dengan Bang Burhan.
Aku mengulum senyum, kala mengingat kegigihan lelaki itu mencari perhatianku. Sampai akhirnya, kala aku mulai risih dengan semua godannya, tapi lelaki itu tak kunjung terang-terangan akan apa yang ia inginkan, aku menohoknya dengan kata-kata.
"Berhenti mengganggu, Burhan! Mau kamu apasih?!" tanyaku jengkel waktu itu.
Aku bahkan masih ingat bagaimana kala itu Bang Burhan menatap jenaka seraya berjalan mendekat. Sesaat kemudian ia berlutut, sembari mengangsurkan sekuntum bunga asoka yang ia petik di taman kampus.
"Menikahlah denganku, Laksmi," ucapnya dengan binar pada sepasang matanya yang tajam.
Terima ... terima... terima ....
Sorak sorai dan tepukan tangan teman-teman hanya seperti angin lalu di telingaku, sebab pusat semesta hari itu berada tepat di hadapanku. Aku mengngguk pelan dengan senyum terkulum. Sontak, Bang Burhan memelukku yang kubalas dengan pukulan ringan di bahunya. Enak saja main peluk-peluk.
.
Siulan Bang Burhan kembali terdengar, menarikku ke luar dari nostalgia yang menggelikan.
"Tunggu siapa, Mbak?" Itu suara Bang Burhan. Lelaki itu bicara dengan siapa?
Aku mengerutkan kening lalu mempercepat langkah menuju halaman depan.
Oh, tepat sekali dugaanku. Dasar orang tua! Rupanya ini tujuannya menemaniku dengan dandanan necis.
"Ehm!"
Bang Burhan terkejut melihat keberadaanku di sisinya. Ia tersenyum meringis.
"Ngomong sama siapa, Pak?" tanyaku, seraya melirik tetangga baru yang tengah berdiri di halaman menyirami bunga-bunganya. Sepertinya itu koleksi bunga yang ia bawa dari tempat sebelumnya.
"Gak ngomong apa-apa," kilahnya seraya membuka lembaran koran dan mulai sibuk membaca.
Aku berdecak. Dasar tukang ngeles. Lalu melangkah lebih dekat dan meraih koran dari tangan Bang Burhan, kemudian membalik posisinya. Setelah itu, baru kuberikan kembali pada lelaki itu.
"Makasih, Sayang," ucapnya sembari mengedipkan sebelah mata.
Aku memutar bola mata, malas menanggapi dan memilih menuju pada jejeran tanaman di halaman. Beberapa saat kemudian, terdengar derap langkah mendekat. Aku menoleh dan mendapati tetangga baru itu sudah berdiri di belakangku
"Koleksi bunganya cantik-cantik, ya, Bu?" ucapnya.
Aku mengangguk. "Ini semua dibawain sama anak-anak," ucapku seraya menyeka peluh.
Ekor mataku menangkap pergerakan Bang Burhan yang ternyata tengah berjalan mendekat ke arah kami.
"Mbaknya tinggal sendiri, ya?" tanya Bang Burhan tiba-tiba.
"Oh, saya jadi lupa perkenalkan diri. Iya, Kek. Saya tetangga baru. Mita," ujarnya seraya mendekat pada Bang Burhan, mengambil tangan suamiku dan menempelkan di keningnya.
Melihat raut wajah Bang Burhan yang masam, aku menahan tawa. Oh, kasian sekali kau wahai kakek.
"Saya Laksmi, ini suami saya, Bang Burhan," ujarku.
Mita seketika menutup hidung dan mulutnya, lalu melirik ke arah Bang Burhan.
"Kenapa Dik Mita?" tanya bang burhan
Dih ... adik katanya. Tunggu bagianmu ferguso!
"Maaf, Bu, saya permisi. Saya lagi ngidam, tiba-tiba mual cium parfum kakek," ujar Mita, lalu cepat-cepat kembali ke rumahnya.
Aku terus mengamati Mita, hingga ia terbenam di balik pintu rumahnya, lalu melirik Bang Burhan yang raut wajahnya nampak sangat masam. Seketika, pecahlah tawaku
"Kakek, adik lagi hamil. Jauh-jauh, ya, parfumnya bau," ledekku.
Bang Burhan tak menanggapi. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Aku menggelengkan kepala, kemudian meneruskan kegiatan cabut rumput di beberapa pot. Beberapa saat kemudian, Bang Burhan kembali dengan pakaian yang berbeda.
"Kok, balik, Pak? Ngapain ganti baju?" tanyaku.
"Kenapa memangnya? Nggak boleh? Bantuin istri, kan, pahala, Bu. Bukannya seneng malah nanya," ujarnya panjang lebar.
"Halah! Bilang aja Bapak takut dihukum!" ujarku seraya menatap tajam.
Bang Burhan malah mendekat. Lelaki itu duduk persis di sampingku, lalu mendorong pundakku dengan pundaknya, seraya menampilkan senyum lebarnya.
"Jangan ngambek, Bu, nanti cantiknya luntur, loh," godanya, seraya menjawil daguku.
Aku tersenyum sinis. Aku tak 'kan luluh, Burhan!