kobokan
BAB 2

.

"Ibu keras kepala, sih. Bapak sudah bilang jangan makan daging, makan ikan saja." Suamiku merengut,  sedang jari tangannya sibuk menekan-nekan kulit kepalaku. 

"Jarang-jarang juga makan daging, Pak. Cuma sesekali, kan," jawabku seraya menahan nyeri di kepala. 

Usai makan malam, tengkukku mendadak kaku sebab menyantap olahan daging dalam porsi banyak. Suamiku sudah mewanti-wanti agar aku mengurangi jumlahnya, tapi siapa bisa menolak wangi perpaduan santan dengan rempah itu? 

Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu, bahwa tiap tengah bulan semua anak-anak, menantu, serta cucuku akan berkumpul di rumah. Mereka akan menghabiskan waktu paling tidak tiga hari di kampung untuk menemani kami. Jadi kebetulan sekali anak-menantuku hari ini mengolah daging, makanan yang bertahun-tahun luput dari lidahku. 

Suami masih memijat ringan kepalaku, saat tiba-tiba air mata menetes begitu saja. 

"Loh ... loh, kok, malah nangis? Ibu ini masih saja cengeng kayak anak kecil."

Mendengar ucapannya, rasanya seperti disayat sembilu. Bukannya menenangkan, malah menbah runyam suasana hati. 
 
"Bapak nyesel nikah sama Ibu?" tanyaku di sela isak tertahan. 

"Iya, nyesel," jawabnya singkat. 

Aku tergugu mendengar pengakuan menyakitkan itu, lalu memilih berbalik memunggunginya. 

Ranjang terasa berderit di balik punggung, lalu tangannya melingkari pinggangku. 

"Bapak nyesel kenapa nggak lebih cepat nikahin Ibu."

Aku menahan senyum dengan wajah menghangat, lalu membalik badan dan menenggelamkan wajah di  dadanya. 

"Bapak, kok, bau tanah, ya?" tanyaku. 

"Ibu juga bau balsem," ucapnya, setelah sekilas mengendus rambutku. 

Refleks, satu cubitan kecil mendarat di perutnya. Meski mengaduh, tapi pelukannya semakin erat. 

"Kalau Ibu mati duluan, Bapak mau nikah lagi?" tanyaku berusaha tegar, meski hati ketar-ketir menunggu jawabannya. 

"Memang kalau Bapak mati duluan, Ibu gak bakal nikah lagi?" Bukannya menjawab, ia malah bertanya balik. 

Tanpa menjawab, aku memilih membenamkan wajah di pelukannya. Entahlah, memikirkan kematian rasanya tak'kan sanggup berpisah dengan lelaki menyebalkan ini. 

.
.

Pagi. 

"Ibu udah baikan?" Cici, putri keduaku bertanya di sela aktivitas sarapan yang riuh. 

"Udah lumayan, Sayang," jawabku, sembari menunggu dengan sabar kala suamiku sibuk memisahkan tulang ikan dan dagingnya di piring. 

Kali ini ia benar-benar melarangku makan daging, meski hanya kuahnya.

"Ibu kalian memang keras kepala. Mau makan enak, tapi lupa sama umur," ucap suamiku santai. 

Aku mendelik tak suka. Diomeli saat ramai itu rasanya sangat tidak enak, membuat suasana hati mendadak buruk. 

"Nah, benar, 'kan? Ibu kalian itu keras kepala. Dikasi tau malah marah," sambungnya. 

Aku menarik napas. Suasana mendadak menyeramkan. Kadang, suamiku memang tak kenal tempat jika ingin menasihati, dan anehnya, itu hanya berlaku padaku. 

"Nenek," panggil Aris, cucu berusia lima tahun. 

"Iya, Nak," jawabku. 

Meski sedang kesal, di hadapan cucu harus tetap manis.

"Ai lov yu," ucapnya dengan wajah polos. 

Keningki berkerut. 

"Sayang, dengar ai lov yu di mana?" Mira, menantuku bertanya pada putranya. 

"Tadi malam Kakek bilang gitu ke Nenek."

Mendengar jawaban itu, sontak semua mata tertuju pada wajah yang tiba-tiba memerah. 

"Cieee ... ehm," ledek Firman, putra bungsu kami yang masih berstatus mahasiswa. Kakak-kakaknya yang lain susah payah menahan tawa. 

Suamiku berlagak tak peduli dengan menenggak air. Nampak sekali salah tingkahnya. 

"Kakek, kok, kobokan diminum?" 

Seketika tawa pecah di meja makan.