cemburu
Kala Bang Burhan sibuk berkelakar dengan pemilik lapak, dan aku asyik memilah buah apa saja yang akan diambil, seorang pemuda menghampiri. 

"hai, Cantik," sapanya.

Aku menengadah, lalu tersenyum menyadari siapa yang barusan memanggil. "Hai, Ganteng," balasku. 

"Sendirian aja, nih? " tanyanya lagi. 

"Mana boleh jalan sendiri. Tuh, sama pengawal," jawabku sambil menunjuk suamiku dengan gerakan dagu.  

Tak lama kemudian, Bang Burhan berbalik. Keningnya berkerut, sedang sepasang mata itu menatap tajam ke pemuda yang sibuk bercerita apa saja. Aku melirik ke arah suamiku dan pemuda itu berkali-kali, lantas tertawa meski tak tahu apa yang pemuda itu bicarakan. 

"Sayang, udah pilih buahnya? "

Kan? Bang Burhan paling tidak bisa melihatku berbicara lama dengan lelaki mana pun selain anak-anaknya. 

"Udah, Pak. Nih," jawabku seraya mengangkat kresek berisi buah-buah segar. 

"Ayo! Biar ditimbang," ujarnya lagi, seraya menarik tanganku menjauh. 

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Persis anak kecil yang tak ingin ibunya diambil orang lain. 

.

Usai membayar buah, Bang Burhan langsung mengajakku pulang. Namun, kami keluar lewat sisi kiri lapak. Aku mengerti alasan lelaki tua ini, ia hanya tak ingin aku kembali bertemu dengan pemuda yang nampaknya sengaja menungguku itu. 

"Hati-hati!" teriak pemuda itu, kala kami lewat di hadapannya. 

Aku balas melambai, membuat Bang Burhan mendelik tak suka lewat kaca spion.

Sepanjang jalan menuju rumah, ingatanku melayang pada banyaknya kejadian pilu yang kami lewati di masa lalu. Bisa sampai di titik ini, rasanya sungguh luar biasa. Kenangan demi kenangan melintas, membuatku mengulum senyum. 

"Kenapa senyum-senyum? Seneng digombali brondong?" tanya suamiku. 

Meski laju kendaraan cukup pelan, tapi bunyi motor vespa tentu lebih nyaring dibanding motor yang lain, membuat pertanyaan Bang Burhan nyaris tak terdengar, jika aku tak mendekatkan kepala. 

Aku memilih tak menanggapi, sebab percuma memberi penjelasan pada seseorang yang tengah dikuasai amarah. 

"Loh, kok, berhenti, Pak? Mogok?" tanyaku, sebab Bang Burhan menghentikan motornya.

Lelaki itu melirik lewat kaca spion, membuat tatapan kami bertemu.

"Siapa laki-laki tadi?" tanyanya. 

Aku memutar bola mata, malas sekali menanggapi kecemburuannya. 

"Itu Arka, Pak," jawabku. 

Dahinya berkerut. "Arka siapa?"

"Arka temen mainnya Firman. Gimana, sih, Bapak ini?"

Dahinya yang berkerut seketika kembali terurai, dan dengan raut wajah tanpa dosa, ia kembali melajukan motor. 

"Kalau cemburu liat tempat, Pak," ucapku, persis di samping telinganya.

Bang Burhan tak menanggapi, dan kami melalui sepanjang jalan dengan iringan mesin vespa yang berisik. 

Tiba-tiba, Bang Burhan melambatkan laju kendaraannya. Aku melongokkan kepala di antara bahunya dan tersadar rupanya Bang Burhan sedang menikmati pemandangan wanita yang tengah berjalan kaki di depan sana. Wanita itu mengenakan celana jeans dan baju kaos ketat, hingga lekuk tubuhnya terbentuk. 

"Bapak," desisku seraya mencubit perutnya kuat-kuat. 

Bang Burhan tertawa pelan, lalu kembali melajukan motornya. 

"Seneng banget, ya, liat yang padat berisi gitu?"  tanyaku kesal. 

"Seneng juga liat yang glowing-gowing, nggak kayak Ibu, udah keriput sana-sini," ucapku lagi, sedang Bang Burhan sama sekali tak menanggapi, membuat kekesalan menumpuk dalam dada. 

Aku masih berupaya meredam kesal, kala Bang Burhan kembali melambatkan laju motornya. Sesaat kemudia, mesin vespa itu bahkan berhenti total. .

O, dasar mata keranjang!

Jari-jariku kembali bermain di pinggangnya

"Apasih, Bu?" tanyanya seraya mengusap pinggang. 

"Baoak ngapain berhenti? Liatin cewek lagi?!"

"Itu ada Pak RT. " Jawabannya membuat wajahku memanas. 

Suamiku dan Pak RT berbincang dengan posisi amsih duduk di atas motor, di tepi jalan. 

Hampir 15 menit, akhirnya Pak RT pamit dan melajukan motornya ke arah berlawanan. 

Bang Burhan berulang kali membunyikan motornya, tapi vespa itu mendadak mogok. 

"Makanya, Bu, kalau cemburu liat tempat," ucap bang Burhan kala kami akhirnya mendorong motor menuju bengkel.

.

"Capek, Pak?" tanyaku seraya mengambil tempat si sisinya. 

Bang Burhan menghela napas, lalu mengangguk. Ia mengibas-ngibaskan kerah baju, menghalau peluh di sekitar leher. Bang Burhan kelelahan sendiri, sebab ia tak mengijinkanku membantunya mendorong motor. 

"Keringat, Bu," ucapnya seraya.

Aku menarik napas, sebab mengerti arah pembicaraannya. Mengabaikan rasa malu, aku menyeka dahi berpeluh itu dengan tisu.

.

Usai membayar upah pekerja bengkel dan mengucap terima kasih, kami akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. 

Tiba di depan rumah, kami melihat mobil pick up berisi barang-barang yang sebagiannya sudah diturunkan pada sebelah rumah yang telah lama kosong. 

Usai memarkirkan motor, Bang Burhan lekas menuju pagar pembatas rumah kami dan rumah tetangga, yang berukuran sepinggang. Lelaki itu pasti sengaja ingin tebar pesona sebab melihat wanita yang nampaknya pemilik rumah tengah mengawasi orang-orang menurunkan perabotnya.

"Baru pindah, Mbak?" tanya suamiku seraya menyisir rambut hingga ke belakang, menggunakan telapak tangan. 

Sok ganteng sekali Bang Burhan ini. Gigiku bergemelutuk. 

Aku mendekat, lalu menarik tangannya sedikit kasar. 

"Ayo, Bang, minum obat dulu. Nanti impotennya kambuh," ujarku seraya melempar senyum canggung pada wanita itu.