Pasca peristiwa terminumnya air kobokan, suamiku menolak bertemu anak-anak dan cucunya. Padahal, jika dalam formasi lengkap seperti ini, Bang Burhan, suamiku, paling suka bermain bersama Aris, cucu pertama kami, atau beradu argumen dengan Firman, si bungsu sang aktivis kampus.
"Pak, ayo dong keluar kamar. Dari tadi pagi ngurung diri terus," rayuku.
"hmm," gumamnya.
"Kok, cuma hmm? Jarang anak-anak kumpul seperti ini. Besok mereka udah mau pulang, belum tentu bulan depan ngumpul lagi, 'kan?" bujukku lagi.
"Bapak sakit, Bu," ucapnya, dengan tatapan tetap fokus pada buku di hadapannya.
"Dih, mana ada sakit tapi masih baca," ujarku seraya mengambil buku dari tangannya.
"Sakit apa malu?" tanyaku lagi, kemudian bangkit dan meletakkan buku pada rak yang ada di kamar kami.
Ketika berbalik, Bang Burhan malah telah meringkuk di balik selimut. Aku mendekat dan menyibak selimut.
"Aaa, Bapak! "
"Apasih, Bu?"
"Kok, cuma pake kolor?"
"Tapi Ibu suka, kan?" tanyanya, sembari menarik lenganku agar mendekat.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku menurut masuk ke dalam selimut. Siang-siang begini, sayang sekali kalau dihabiskan hanya untuk adu mulut.
Aish! Yang jomlo silahkan tutup mata.
.
Malam.
"Bapak makan di dapur sana. Nanti sakit beneran baru tau rasa," ucapku, seraya menyisir rambut.
Sudah seharian ini Bang Burhan mengurung diri di kamar dengan alasan sakit.
"Anak-anak sudah makan, kan?" tanyanya.
"Iya. Tinggal Ibu sama Bapak yang belum."
Menarik napas, akhirnya lelaki itu keluar kamar. Aku membuntuti langkahnya.
Aris yang tengah disuapi oleh mamanya, berteriak senang kala melihat kakeknya.
"Kakeek ... ai lop yuuu ...," teriaknya, sembari merentangkan tangan.
Mendengar teriakan Aris, suasana hening seketika . Langkah suamiku terhenti bagai terpaku ke pusat bumi. Berbalik, Bang Burhan kembali masuk ke kamar dengan satu telapak tangan menutup wajah.
Aku dan semua anak-anak yang tengah menghabiskan waktu di depan TV saling berpandangan. Aku mengedikkan bahu, lalu berbalik masuk ke kamar. Seketika, terdengarlah tawa mereka di luar sana.
Astaga, dasar anak-anak!
Di dalam kamar, suamiku tengkurap dengan kepala tertutup bantal.
"Santai ajalah, Pak! Nikmati saja akibat kebucinanmu itu," ujarku.
.
Pagi.
Seperti rindu yang kerap terobati oleh kebersamaan, begitu pula pertemuan yang selalu diakhiri dengan perpisahan. Jika boleh, rasanya ingin menahan anak-anakku agar tak pernah pergi. Hanya saja, kini mereka telah tumbuh dan memiliki kehidupannya sendiri.
"Bulan depan datang lagi, 'kan?" tanyaku sembari menangkup wajah Cici.
Cici mengangguk dengan mata penuh genangan.
"Insya Allah, Bu. Kalau Bang Wira sama Lukman nggak sibuk, kita pasti datang lagi." Mira mengusap punggungku.
Aku menyeka sudut mata.
"Bu, Firman ikut pulang, ya?" Firman berujar. Ia berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada.
"Liburmu kan masih 2 hari, Firman. Temenin Ibu dulu," jawabku.
Percayalah, rumah yang awalnya ramai, lalu tiba-tiba sepi itu rasanya sangat tidak enak. Seperti kelam malam, lagi mencekam. Meski Firman bisa memutuskan untuk pulang lebih cepat, tapi aku sengaja menahannya agar rumah kami tak sunyi secepat itu.
"Kenapa, sih, Man. Kamu, tuh, belum ada tanggung jawab. Mumpung belum nikah, puas-puasinlah nemenin Ibu. Nanti klo dah nikah, waktumu bakal terbatas." Cici menggurui adiknya.
"Kak Cici belum ngerasain jadi obat nyamuk," ujar Firman.
Tiba-tiba Bang Burhan mendekat, lalu menarik pinggangku agar merapat. Ini salah satu kebiasaan yang sulit ia hindari, tak peduli waktu dan tempat. Karena aksinya ini, semua mata anak-anak sontak tertuju pada kami.
"Kan? Baru kubilang." Firman melengos, lalu masuk ke rumah.
"Kalian kalau mau pulang, pulang cepat sana. Bapak mau bikin adik buat Firman," ucap suamiku enteng.
Wajahku terasa panas kala anak-anak memandang dengan tatapan jenaka.
Refleks, satu cubitan kudaratkan di perutnya. Bukannya melepas, Bang Burhan malah mengecup pipiku.
Ya Tuhan, malunyaaa!