ngidam


"Bu, Firman nikah, ya?"

Mendengar penuturan Firman, gerakan tanganku yang tengah mengusap kepalanya seketika terhenti.

"Memang sudah ada calon?" tanyaku, lalu kembali mengusap rambut legamnya. 

Firman menggeleng. "Ibu aja yang cariin. Firman terima beres."

"Kuliahmu gimana?" tanyaku lagi. 

Firman tersenyum lebar. "Gampanglah itu."

Aku menekan kuat jari telunjuk di keningnya, lalu mendorongnya pelan. "Selesaiin dulu satu-satu, baru boleh kejar yang lain."

"Nggak papa, kan, nikah sambil kuliah? "

Aku menarik napas, sebab pembahasan ini akan sangat panjang. Aku pernah muda, jadi tahu persis apa yang diinginkan Firman. Firman adalah Bang Burhan versi muda. Mereka sama-sama mementingkan ego, bertindak sesuka hati jika menginginkan sesuatu, dan tidak akan berhenti sebelum apa yang diinginkan tercapai. Aku adalah bukti kuat keinginan Bang Burhan menikah muda.

Aku ingat sekali, kala itu aku dan Bang Burhan masih kuliah dan hanya perlu menunggu setahun lagi agar lulus. Namun, karena Bang Burhan yang tidak ingin menunda pernikahan, alhasil kami menikah di usia muda tanpa kematangan ego sama sekali, juga kelulusanku yang menunggu beberapa tahun hingga terlaksana. Meski saat ini hubungan kami terlihat sangat harmonis, tapi di masa lalu kami beberapa kali diterpa badai, hingga nyaris menyerah mengarungi pelayaran bersama.  

"Bu." Panggilan Firman menarikku kembali dari lintasan kenangan. 

"Ya? "

Firman berdecak. "Firman mau nikah."

Aku tertawa pelan. "Denger, ya, pernikahan itu tidak selamanya indah, Nak. Ada kalanya ego menutupi semua keindahan itu. Ibu nggak larang kalau kamu mau nikah muda, tapi saran Ibu selesaikan dulu apa yang sudah kamu mulai  baru melangkah ke tanggung jawab yang lebih besar."

Mendengar penuturanku, Firman tak lagi menanggapi. Aku yakin, meski matanya terfokus pada layar televisi, tapi pikirannya sibuk mencerna semua ucapanku. 

"Aduh, enak bener yang rebahan sambil dielus-elus." Suara Bang Burhan membuat kami menoleh. 

"Assalamualaikum, Pak," tegurku. 

"Waaalikumsalam, Bu," jawab suamiku, seraya mendekat setelah sebelumnya menyampirkan sejadah di kursi. 

"Solehah bener anakmu, Bu. Bukannya salat di masjid, malah rebahan di rumah," ujar suamiku lagi 

"Bapak itu yang kerajinan. Masih ada virus, kok, salat di masjid. Nggak patuh sama pemerintah," balas Firman.

Bang Burhan mengambil tempat di sampingku.

"Bangun, Man. Gantian. Ini wilayah kekuasaan Bapak," usir Bang Burhan. 

"Firman yang duluan, Pak," bantah Firman. 

Bang Burhan memberi isyarat agar aku membantunya, lewat gerakan kepala. 

"Man, ngalah sama bapakmu. Kasian udah tua," pintaku. 

"Dasar bocah ubanan," gerutu Firman. 

Bamg Burhan tersenyum puas. 

Dengan malas, Firman beranjak lalu mengambil tempat di salah satu kursi. Cepat, Bang Burhan merebahkan kepalanya di pahaku, persis di tempat yang ditinggalkan Firman. 

"Makanya nikah, biar ada yang elus-elus. Jangan mintanya sama istri orang," ucap Bang Burhan, seraya mengambil tanganku lalu diletakkan di atas kepalanya. 

Bapak dan anak itu memang kerap bertengkar seperti anak kecil, bahkan untuk hal-hal sepele. Tidak seperti kakak-kakaknya yang penurut, Firman jauh lebih keras kepala. 

Sinetron yang kami tonton menampilkan adegan romantis, hingga tak ada lagi suara selain dari televisi.

"Romantis, ya, Bu?" tanya suamiku tiba-tiba. 

"Hooeek ...." Sambil berpura-pura muntah, Firman berjalan cepat menuju kamarnya. 

"Kasian jomlo," ledek Bang Burhan

Sejak dulu, Bang Burhan memang mendukung anak-anaknya menikah muda. Berbanding terbalik denganku yang tak begkmitu setuju dengan keinginannya itu. Biar bagaimana pun, kami pernah menjalani masa-masa sangat sulit, jadi aku tak ingin mereka mengalami hal serupa. Paling tidak, sampai mereka mampu menghidupi diri sendiri, baru berniat menghidupi orang lain. 

"Dari pada anak-anak zina, Bu, kita juga yang tanggung dosanya." Alasan yang selalu diutarakan Bang Burhan kala aku melarangnya berhenti mengompori anak-anak agar menikah muda. 

.

Pagi.


"Bukannya liburmu masih ada hari ini, Man? Besok ajalah pulangnya. Ya? " bujukku. 

"Sore ini ada kuliah, Bu."

"Kenapa gitu nggak kuliah dari sini saja? Sama, kan?"

"Beda, Bu. Kalau habis kuliah biasanya ada tugas. Nah, tugas itu yang kadang nggak bisa Firman kerjakan sendiri."

Usai memasang sepatu, Firman mencium tangan dan kedua pipiku. Ia masuk dan berpamitan pada bapaknya. Tidak lama kemudian, mereka muncul dengan Bang Burhan yang merangkul bahu anaknya. 

"Assalamualaikum," ucap Firman. 

"Waalaikumsalam, "jawab kami bersamaan. 

Aku mengusap sudut mata, kala motor Firman tak lagi nampak. Kepergian Firman, mencipta lubang kecil dalam dada bernama sunyi. 

Aku menarik napas dengan bahu terkulai lesu. 

"Jalan-jalan, Bu," ajak suamiku. 

Aku mengangguk, lalu menggandeng tangan suamiku masuk ke rumah. Dalam hati mengucap syukur tiada henti. Meski kadang menyebalkan, tapi Bang Burhan selalu tahu cara menghibur istrinya. 

Cup! 

Bang Burhan tersenyum lebar kala kudaratkan satu kecupan di pipinya. 

.

Mengendarai motor vespa, kami membelah jalanan kampung yang asri. Tanganku melingkar di pinggang Bang Burhan, sedang telapak tangannya diletakkan di atas telapak tanganku. 

"Suit ... suit .... "

"Ciee ... ciee .... "

"Pernah muda .... "

Tiiin! Tiiin?

Aku memukul pelan bahu Bang Burhan, kala anak-anak muda yang kami temui bersahut-sahutan menggoda. Bang Burhan tersenyum sembari membunyikan klakson. 

Berkendara hampir sejam, akhirnya kami tiba di penjual buah langganan. Kami memang sangat suka mengonsumsi buah. Jika Bang Burhan menjadikan buah sebagai infused water, berbeda halnya denganku yang memakan buah dengan cara dirujak. 

"Cari buah apa, Pak Bur?" tanya Mas Karno,  pemilik lapak. 

"Yang asam-asam, Mas, soalnya istri saya lagi ngidam."

Jawaban Bang Burhan yang asal, membuatku tak tahan untuk mencubit lengannya. 

Asal banget kalau ngomong!