kamar mandi
Dasar lelaki. Bagaimana mungkin ia menggoda perempuan lain sedang masih ada istrinya di sini? 

Aku menarik tangan Bang Burhan cukup keras agar lekas masuk. 

Lelaki itu menatap dengan alis berkerut, seolah-olah keberatan akan tindakanku. Namun, melihat pelototan mataku, ia justru tertawa dan merangkul sebelah pundakku. Kami akhirnya berjalan bersisian masuk ke rumah. 

"Ibu cantik, ya, kalau cemburu," ucapnya. 

"Siapa yang cemburu?" tanyaku ketus, seraya menepis tangannya di pundak. 

"Lah, itu tadi apa namanya? Sampe merah gitu mukanya." Bang Burhan kembali hendak merangkul, tapi gerakannya kalah cepat dariku. 

Aku menuju westafel, lalu mencuci semua buah yang baru kami beli. 

"Bapak kalau mau godain perempuan lain, tunggulah sampai Ibu mati dulu. Atau kalau udah kebelet mau nikah lagi, cerein saja Ibu. Beres, 'kan? "

Tiba-tiba, sepasang tangan melingkari pinggangku dari belakang. 

"Siapa sih yang mau nikah lagi?  Siapa juga yang godain perempuan lain?" tanyanya, sembari meletakkan dagu di salah satu pundakku. 

"Itu tadi. Jelas-jelas masih ada Ibu, Bapak udah tebar pesona sama tetangga baru. Ngak ngehargain banget."

"Bapak, kan, cuma nyapa, Bu, bukan godain. Lagian kan tetangga baru, harus disapalah, nanti dikiranya kita ini sombong."

"Alesan! Bilang aja seneng, karena nanti ada pemandangan enak tiap hari."

"Eh, kok Ibu tahu?" tanyanya, membuatku mengembuskan napas kasar. 

"Ceraiin atau tunggu sampai Ibu mati dulu, baru Bapak leluasa kalau mau main sana-sini."  Napasku tersengal akibat bicara panjang lebar dengan suasana hati yang buruk. 

Bang Burhan membalik badanku, lalu mengecup keningku. "Cantik banget kalau lagi ngomel," ucapnya, kala melerai jarak. 

.

"Ayo, Bu! Aaa .... " Bang Burhan mengarahkan sendok berisi nasi dan lauk-pauknya ke mulutku. 

"Bentar, Pak. Masih penuh ini," ucapku di antara kunyahan makanan. 

Sejak ditinggal anak-anak, kami memang terbiasa makan sepiring berdua. Biasanya aku yang menyuapi Bang Burhan. Namun, berhubung hari ini lelaki itu berbuat ulah, maka ia berinisiatif menyiapkan makan siang berikut menyuapiku. 

Kegiatan makan sepiring berdua ini hanya berlaku jika kami tinggal seorang diri. Jika anak-anak pulang, maka keadaan kembali seperti sedia kala. 

"Makan sepiring berdua itu salah satu cara merekatkan hubungan suami istri. Sepiring berdua, sesendok berdua, dan segelas berdua," jelas ustadz hari itu, kala kami mengikuti pengajian rutin komplek. 

"Seranjang berdua, sebantal berdua, dan sesarung berdua. Eh," kelakar Bang Burhan. Salah satu cara yang kerap ia gunakan, kala aku menolak disuapi. 

.

Pukul 13.00

Usai salat Zuhur, Bang Burhan pamit mengecek ternak lelenya yang letaknya tidak jauh dari rumah. Meski jumlahnya tak begitu banyak, tapi empang lele itu cukup menjadi lapangan pekerjaan bagi beberapa kepala keluarga di kampung ini. 

Aku memilih menonton TV, swmbaru menunggu lelaki itu pulang. Namun, hanya beberapa menit kesadaranku menghilang seiring pandangan yang menghitam sempurna. 

.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan hendak menggeliat, tapi gagal sebab sesuatu terasa menindih tubuhku. 

Kala kesadaran akhirnya terkumpul penuh, barulah kusadari ternyata Bang Burhan berbaring di bekakangku dengan satu tangannya yang melingkari pinggang. 

"Pak, bangun," ujarku seraya menggoyang-goyangkan lengannya. 

"Pak! "

"Hmm," gumamnya. 

"Pak, ayo! Sudah asar ini."

"Sekali lagi, Bu," ucapnya. 

Dahiku berkerut. 

"Sekali lagi, ya?" Kali ini suaranya terdengar lebih jelas. 

Kalimat yang ia ucapkan, seketika membawa ingatanku pada masa-masa pengantin baru. Dulu, sangat sering ia ucapkan. 

Refleks, aku mencubit pinggangnya. 

"Bapak, 'kan cuma minta tambah, Bu."

"Tambah apa, sih?" tanyaku dengan wajah teeasa panas. Sudah tua, masih saja ganjen! 

"Maksud Bapak sekali lagi, tambahin waktunya. Ibu mikir apa?" Dahinya berkerut. 

"O, jangan-jangan Ibu pikir yang iya-iya, ya?" Sepasang matanya menyelidik dengan mengulum senyum misterius. Kini, ia sudah duduk di atas karpet. 

Aku lekas beranjak. "GR, Bapak, nih! Makanya, kalau ngomong itu yang jelas," ujarku seraya berlalu. 

"Bilang aja Ibu lagi pengen. Iya, 'kan? Iya, 'kan?" tanyanya. Satu tangannya melingkari bahu. 

Aku tak lagi menanggapi, dan membiarkannya membawaku ke kamar mandi. 

Eh, kalian mikir apa? Ini mau ambil wudu loh, ya, bukan mau ngapa-ngapain.