Bab. 7
Setelah parade air mata usai, penghulu meminta Khalid dan Khaula duduk di belakang meja menghadap kepadanya. Sementara Juki, semenjak Khaula meminta restu kepada ibunya, ia sering terlihat menunduk. Dadanya kembang kempis menahan gejolak kecewa.
Namun, apa daya. Sebentar lagi, ia akan menjadi saksi dan ikut menandatangani berkas pernikahan Khaula. Laki-laki memang biasa berpikir dengan logika, tapi kali ini perasaan cemburu, marah mengalahkan logika Juki sebagai laki-laki. Ia, mengundurkan diri jadi saksi karena harus kembali ke kantor. Ia tidak peduli tatapan heran Zainul dan keluarga Khaula yang lain. Sebuah amplop dan satu bingkisan kecil diserahkan Juki ke tangan Khaula.
“Hadiah dari kantor, semoga bermanfaat. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai kakek-nenek. Maafkan aku tidak bisa memenuhi keinginan Pak Etek-mu,” ucapnya.
Laki-laki muda itu memaksakan dirinya tersenyum, getir.
“Juki, maafkan aku,” pinta Khaula disela isak yang tertahan. Tatapan matanya menembus jiwa Juki. Laki-laki muda itu menghela napas berat. Tak lama ia berusaha tersenyum kembali.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu tidak salah. Oh, iya. Di depan ada karangan bunga dari kantor. Terus ada titipan salam dari Heru,” ucapnya pelan. Agar jangan ada yang curiga melihat mereka.
“Juk, kenapa baru kemarin? Kenapa?” Khaula berbisik dengan suara memelas.
“Maafkan aku, Khaula. Maafkan aku,” jawabnya tak kalah lirih, agar jangan sampai di dengar orang lain.
Namun, pertanyaan Khaula barusan, walau pelan mampu menghancurkan pertahanan Juki, ia stidak mampu menahan kecewa yang sengaja disimpan melalui sikap biasa-biasa saja. Tapi, tidak mungkin ia menyatakan rasanya kepada Khaula saat ini, bisa-bisa ia dianggap gila oleh sanak keluarga gadis yang masih menatapnya tak berkedip itu. biarlah sakit yang ia rasa ditelan bersama senyum, agar jangan  seorang pun yang tahu kalau saat ini ia sedang mengumpulkan serpihan hatinya yang hancur.
Juki berusaha bersikap setenang mungkin. Menatap Khaula dengan perasaan tidak menentu. Tapi, ini untuk terakhir kalinya. Karena setelah ini, ia dan Khaula tidak ada hubungan apa-apa lagi, kecuali rekan kerja.
“Aku mencintaimu. Tapi, Khalid lebih tepat untukmu. Hari ini dan seterusnya, aku tidak akan mengganggu hubungan kalian,” gumamnya pilu.
Sebelum pamit, Juki masih sempat berpesan pada Khaula,” Jadilah istri yang baik, jadilah penyejuk mata suamimu. Karena Allah tahu mana yang terbaik untuk umatnya. Dan yang terbaik untukmu adalah Khalid,” ucapnya pelan.
Mata Juki seakan memberi isyarat pada Khaula. Agar wanita itu bisa melupakan  yang kemarin dan menganggap semua itu hanya gurauan. Mereka hanya sebatas rekan kerja, tidak ada hubungan lain.
Juki mengerjapkan mata. Ada bening yang hampir menetes di sudut matanya, namun, pemuda itu segera mendongak ke langit-langit ruangan. Agar air itu tidak luruh. Setelah menyalami Khaula, laki-laki itu pergi membawa luka yang menganga. Ia tidak peduli tatapan tamu yang hadir. Sedang Khaula, matanya tak lepas dari punggung Juki, sampai laki-laki itu hilang dari pandangannya.
“Khaula, hapus air matamu,” ucap Nazima.
Nazima tahu bagaimana keadaan hati Khaula saat ini. Sudah pasti sangat hancur. Ketika ia harus menikah, ada laki-laki yang datang memberi doa restu, tapi sepertinya bukan hanya itu yang ia bawa, melainkan ada rasa yang tersirat dari tatapan dan kehidupannya saat menyalami Khaula.
Perasaan Khaula berkecamuk. Ia tidak peduli dengan bisik-bisik bernada mereng ke padanya. Toh, selama ini ia sudah biasa dipergunjingkan. Sesaat Khaula tetap terpaku. Tak lama, Nazima mengingatkan kalau penghulu menanti jawabannya.
Nazima menarik pundak Khaula ke bahunya. “Sudahlah, Khau. Sekarang jalani takdirmu,” bisiknya pelan.
“Bagaimana Khaula, kamu sudah siap?” Pertanyaan Zainul membuat Khaula tergugu. Pelan sekali kepala gadis itu mengangguk. Nazima tersenyum datar, sementara Khalid menahan napas.
Khaula menghapus jejak air mata di pipinya. Wajahnya terus menunduk sampai akhirnya pernikahan mereka berlangsung dengan khidmat.
Kendati pun Khaula serasa sedang berada di awang-awang. Lafas sah yang digaungkan semua orang membuat Khaula sadar, kalau ia telah resmi menjadi istri Khalid. Meski tanpa rasa cinta, hanya dendam yang ia punya untuk Khalid.
“Selamat datang di kehidupanku, Khaula,” bisik Khalid ketika Khaula mencium punggung tangannya.
Khaula mendongak, menatap wajah Khalid yang dulu sangat dirindu. Tetapi, kini sedikit pun tidak ada getaran dalam dada meski kulit mereka bersentuhan. Khaula tersenyum kecut.
“Aku akan membahagiakanmu, aku janji,” katanya lagi, sambil menggenggam tangan sang istri.
Khaula tidak bisa menjawab kalimat yang keluar dari mulut Khalid, hanya******napas yang terdengar berat. Pernikahan ini terasa hambar bagi Khaula.


Komentar

Login untuk melihat komentar!