Lelaki yang selama ini memberi perhatian tulus, selalu ada saat dibutuhkan, tanpa merasa bersalah pergi dengan perempuan lain. Ironisnya gadis itu adalah sepupu dari orang yang selama ini menjadi bagian terindah kehidupannya.
Sepertinya laki-laki itu memang sengaja melukai batin gadis itu. Sehingga ia tidak memedulikan rasa cinta dan sayang yang diberikan kekasihnya, melebihi apa pun. Hanya dengan satu kalimat, “ Aku lebih memilih saudarimu!”
Hati mana yang kuat ditikam sedemikian dalam dan hati mana yang bisa memaafkan perlakuan yang sedemikian menyakitkan? Dari kejadian itu, maka tumbuhlah dendam yang berdaun lebat dalam jiwanya. Seperti api yang membakar sekam, api tidak tampak, namun asapnya akan terlihat sampai sekam menjadi arang.
Ketika dendam hampir menghanguskan semua kenangan indah tentang sang kekasih, tiba-tiba saja gadis itu harus menjalankan amanah yang tidak bisa ditolak. Menerima laki-laki yang pernah menyakitinya itu menjadi suami, imam dunia akhirat.
Apa yang harus ia lakukan?
Pilihan tersebut membuat gadis cantik asal Sijunjung Sumatera Barat itu, harus menelan ludah berkali-kali. Karena ia merasa perjodohan ini sangat memberatkan. Tetapi, ia tidak bisa menolak karena itu amanah. Dan amanah harus dijalankan, meski sulit.
Kecewa yang pernah dialami Khaula, membuat gadis itu berubah jadi gadis temperamental dan keras. Sakit itu membuatnya seperti kehilangan perasaan dan empati terhadap orang-orang yang ada di sekitar pemuda yang bernama Khalid, laki-laki yang diamanahkan ayahnya.
Khalid sebenarnya bukanlah orang jauh dari keluarga Khaula. Ia anak Almarhum Datuak Rajo Selo yang tinggal di kampung sebelah. Ayahnya dan Ayah Khalid bersahabat semenjak mereka kecil. Satu surau dan satu sasaran silat. Semenjak Khalid dan Khaula kecil, pemuda itu sering diajak main ke rumah Khaula oleh ayahnya.
Hubungan baik yang terjalin semenjak masa kecil itulah yang membuat mereka semakin dekat ketika remaja. Tetapi harus berakhir ketika mereka sama-sama duduk di tingkat tiga perguruan tinggi. Penyebabnya adalah Nazima, anak adik ayahnya Khaula yang bernama Syofia.
Entah dari mana awalnya, tiba-tiba saja Khalid meminta Khaula mengubah penampilannya seperti Nazima yang sudah berhijab lebar. Tapi gadis itu menolak dengan berbagai alasan, karena ia merasa belum bisa menjaga tingkah laku, dan mengubah penampilannya.
Itulah yang membuat mereka berpisah, sehingga Khalid lebih memilih Nazima dan pergi dari hari-hari Khaula berikutnya.
Setelah sekian lama berada di pusaran dendam yang membuat perasaan cintanya kepada Khalid hangus. Tiba-tiba saja ia mendengar rahasia yang datang di luar perkiraan. Ternyata semenjak bayi, ayah Khaula dan Khalid telah menjodohkan mereka.
Rahasia yang selama ini di simpan rapat ibunya, didengar Khaula ketika ibunya yang bernama Samsiah, menceritakan semuanya kepada Etek Syofia, adik ayah Khaula. Selepas zuhur saat mereka sedang mengupas sabut kelapa di samping rumah, Samsiah mengadukan hal tersebut kepada Syofia. Sebab ia bingung menyampaikannya kepada Khaula.
“Khaula sudah dewasa, Ni. Katakan saja yang sebenarnya. Aku yakin dia akan mengerti, bukankah ini amanat almarhum Uda Peto?”
“Tapi apa kamu yakin Khaula mau?” Samsiah terdengar gusar.
“Coba saja dulu, Ni. Khaula itu anak yang baik. Tidak mungkin dia mau membuat Uni kecewa,” tandas Syofia siang itu.
Pembicaraan rahasia itu membuat Khaula tersenyum penuh kebencian, teringat kelakuan Khalid tempo hari. Dalam hati ia berbisik, inilah saatnya pembalasan itu.
“Tenang sayang, pernikahan kita ini akan membuatmu menderita. Sama sepertiku yang dulu kamu khianati. Pernikahan ini bukan surgamu, melainkan neraka yang akan melumatmu perlahan,” gumamnya dengan wajah penuh dendam.
Khaula terus menguping pembicaraan mereka dari jendela kamarnya yang hanya terbuka sedikit. Mungkin ibunya tidak sadar kalau Khaula baru saja pulang ke rumah. Karena biasanya gadis itu pulang kerja sebelum asar.
***
Seperti usul Etek Syofia kepada ibunya. Di saat langit sore mulai memerah, sang ibu memanggil Khaula duduk di ruang tengah rumah gadang yang berlantai papan itu.
“Khaula, kemarilah. Ada yang ingin Ibu bicarakan,” panggilnya lembut.
Ketika melihat Khaula keluar kamar untuk mengambil air minum ke dapur. Persis seperti rencana yang mereka buat tadi siang di samping rumahnya, ibunya pun memanggil Khaula untuk bicara empat mata dari hati ke hati.
Mendengar Samsiah memanggil, tentu saja Khaula tersenyum, lantas duduk bersimpuh di depan ibunya yang juga bersikap sama. Benar saja, dalam hitungan menit akhirnya sang ibu memberitahukan tentang perjodohannya dengan Khalid. Suara ibunya terdengar pelan dan terbata-bata, sepertinya ia takut menyinggung perasaan putrinya.
Kendati pun sudah tahu tentang hal itu, Khaula tetap berpura-pura menentang permintaan sang ibu, sekaligus memberi penjelasan bahwa ia belum siap untuk menikah. Khaula beralasan masih ingin mengejar karier dulu di dunia kerja. Apalagi saat ini posisinya sebagai Divisi Pemasaran belum bisa ditinggalkan. Sayang, jika proyek sekian milyar harus hilang hanya karena menikah sebelum kontrak bujangan habis.
“Rezeki istri itu dari Tuhan dan melalui tangan suami,” sergah Samsiah.
“Iya, Bu. Tapi belum ada yang cocok dengan Khaula,” elaknya pelan.
Samsiah mendengus, tak lama tatapannya berubah garang. Sebenarnya Khaula sangat bahagia ketika Samsiah terpancing bersikap diktator. Dengan demikian akan semakin lancar jayalah rencana yang mulai tersusun rapi dalam kepalanya.
“Bu, Khaula mohon. Tunggulah beberapa tahun lagi,” pintanya pura-pura berharap.
Sayangnya semua itu tidak membuat tatapan Samsiah berubah. Khaula menunduk, tak mampu membalas tatapan wanita yang selama ini membesarkannya sendiri semenjak ayahnya meninggal ketika usia Khaula masih 10 tahun.
“Ibu semakin tua, Khaula. Sementara usiamu sudah 25 tahun. Sudah pantas untuk bersuami. Ibu malu mendengar gunjingan masyarakat. Kamu tahu, kamu kini menjadi gelanggang mata orang banyak. Apalagi kamu pulang selalu di antar laki-laki berbeda, Khaula.”
Benar sekali perkataan sang ibu dan ia pasti sangat tersiksa mendengar gunjingan induk-induk yang sering duduk di lapau Mak Tuo Lima. Sambil memilih cabe merah saja, mereka bisa mengumpulkan dosa ghibah sekian kilo. Tapi ada juga sedikit sumbangsih Khaula sehingga mereka menjadikannya topik perbincangan hangat. Sehangat teh telur itik di pagi hari.
Bagaimana tidak dipergunjingkan? Kadang-kadang gadis itu pulang diantar Heru, kadang Irwan, kadang Juki yang gantengnya kayak artis Korea. Sudah pasti anak-anak gadis mereka cemburu melihat Khaula gonta-ganti pasangan. Padahal mereka semua bukan teman dekat Khaula, melainkan team work-nya di perusahaan kontruksi. Mereka saja yang kebaperan melihat Khaula dikerubungi laki-laki mapan.
Di mana pun, perusahaan yang bergerak di bidang bangunan itu kebanyakan tenaga kerjanya laki-laki. Khaula merupakan bagian dari mereka. Ia adalah seorang lulusan Desain Grafis. Sebenarnya Khaula ingin memberitahukan hal tersebut agar tidak timbul fitnah. Tapi mereka tidak akan pernah mau mendengar. Sebab sudah menjadi fitrahnya wanita memiliki dua mulut.
Lupakan pergunjingan, kini kembali pada Khaula yang sedang menatap ibunya dengan tatapan sendu.
Dalam hati Khaula berucap, ”maaf, Bu. Aku sebenernya mau segera menikah dengan Khalid, kapan perlu besok pagi. Karena aku akan membuat surga yang ia impikan menjadi neraka.”
“Khaula ini amanat ayahmu. Apa kamu mau ayahmu bersedih di kuburnya karena menolak Khalid?” tanya Samsiah parau.
Khaula menarik napas panjang, lalu meraih tangan keriput wanita tercintanya.
“Tapi apa Khalid setuju, Bu? Bukankah ia sudah memiliki tunangan?” tanyanya pura-pura menyelidik.
“Khalid mau, demi amanat bapaknya juga. Sebenarnya kalian sudah dijodohkan semenjak bayi. Jadi walau bagaimanapun, kamu dan Khalid harus tetap menikah,” jelas Samsiah runut.
Yes! Khaula mengangguk. Seketika itu juga ibunya tersenyum dan memeluk Khaula.
“Pembalasan itu segera datang, sayang! Kita lihat nanti!”
Matanya membulat, bibir tersenyum sinis membayangkan wajah Khalid, ketika kepalanya berada di pundak sang ibu.