Bab.4
Pergantian hari di kota minyak ini membuat Khaula semakin didera rasa tidak menentu. Rasa cinta yang tumbuh untuk Juki ia simpan rapat dalam dada. Sebenarnya ia ingin memberitahukan kebenaran tentang rencana pernikahannya, Khaula merasa tidak sanggup. Gadis itu tidak mau membuat sahabatnya itu terluka dan merasa tidak nyaman dalam bekerja.
Khaula memasuki ruang rapat dengan tatapan kosong, polesan bedak tipis dan lipstik bewarna peach membuat wajahnya semakin kelihatan tidak bersemangat. Juki yang melihat perubahan pada Khaula merasa kawatir. Setelah gadis itu duduk dan merapikan seluruh kertas bahan rapat, Juki mendekat. Betapa kagetnya pemuda itu, di antara kertas tersebut terselip surat permohonan cuti yang belum diserahkan Khaula ke pimpinan perusahaan.
Juki menarik napas dalam, menguatkan hati untuk sekedar bertanya tentang surat tersebut.
“Kamu cuti untuk apa?”
Khaula terkesiap. Ia bingung menjelaskan kepada Juki dan yang lain. Apalagi saat ini Juki mulai berani mengungkapkan perasaannya melalui sikap. Khaula memejamkan mata, berharap Juki tidak lagi menanyakan perihal surat tersebut.
“Khaula!”
“Anu, Juk. Aku ... aku, aku mau minta izin untuk acara pernikahanku,” jawabnya terbata-bata.
Sakit perlahan menusuk relung hati. Seketika wajah Juki berubah jadi dingin, bibirnya terkatup. Lehernya tampak mengeras, sementara napasnya terdengar berat.
Dalam hitungan detik, Juki bisa menetralisir perasaannya. Meski terlihat grogi ia berusaha tersenyum dan menjawab,” seminggu, jatah cutimu.” 
Dengan langkah gontai Juki kembali ke mejanya. Ada luka yang mulai menganga di jiwanya, ada perih yang menyelinap. Begitu pun Khaula, rasa perih itu ia simpan dengan senyum hambar yang membentuk kerucut di bibirnya yang pucat.
***

Prosesi 
Tiga hari menjelang pernikahan Khaula dan Khalid. Di halaman rumah Khaula sudah berdiri tenda-tenda besar, barang-barang pelaminan juga sudah di tumpuk di beberapa bagian. Khaula sengaja pulang menggunakan jasa travel, ia takut semakin tidak bisa menghindar dari Juki. Makanya ia menolak ketika Juki menawarkan diri mengantarnya pulang.
“Ga usah, Juk. Aku bisa sewa travel. Di sini lagi butuh pengawasan. Aku bisa,” tegasnya dan melambaikan tangan sebelum keluar dari pekarangan mess.
Kini, kaki Khaula sudah menapaki tanah kelahirannya kembali. Tubuh lunglai itu disambut aroma santan yang bercampur rempah. Bau-bau itu menguar di udara. Bagai tari-tarian menyambut kepulangannya. Ketika langkahnya berhenti di jenjang Rumah Gadang, sesosok tubuh tinggi, berbalut gamis dan jilbab lebar datang menyambut.
“Kamu sudah pulang, Khau?” Nazima tersenyum lebar, memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi.
Khaula tentu saja kaget, bagaimana mungkin Nazima tidak sedikit pun memperlihatkan rasa kecewa di depannya. Malah ia terlihat sangat girang. Khaula menyipitkan mata, dalam hati ia bertanya, apa ada yang salah dengan kejiwaan Nazima?
Melihat Khaula bengong, Nazima mengambil tas yang d jinjing Khaula.
“Nanti malam acara bainai, aku sudah persiapkan semuanya. Kenapa tidak pulang dengan mobil kantor?” tanyanya sambil menaiki satu persatu jenjang Rumah Gadang Khaula.
“Juki dan Heru tidak bisa pulang. Aku cuti hanya seminggu,” jawab Khaula datar mengikuti langkah Nazima.

 “Oh, ya, sudah. Sekarang kamu istirahat dulu, calon Anak Daro tidak boleh capek. Nanti kubuatkan air jahe, atau kamu mau teh telor?” tanyanya setelah sampai di depan kamar Khaula.
“Nanti, aja, Niz. Aku mau rebahan dulu, capek,” tolak Khaula halus.
Nazima kembali tersenyum, dan membiarkan Khaula menyibak tirai pintu kamar lalu menghilang bersama derit lantai yang semakin terdengar jauh.
***
Kamar Khaula tidak lagi seperti biasa. Ranjang yang biasanya kecil sekarang sudah diganti, begitu juga lemari pakaian dan lemari rias. Semuanya sudah baru dan mengkilat. Khaula mendesah, lalu duduk di ranjang yang sudah dilapisi kasur empuk dan dipasang seprai tebal dari satin.
“Ya, Tuhan. Apa mungkin aku bisa menerima Khalid di kamar ini?” risaunya dalam hati.
Bayangan masa lalu itu datang bersama kerinduan pada Juki. Angannya berkelana, sejauh pandangan yang ia lepas ke luar jendela yang terbuka sebagian. Kerisauan Khaula tidak berlangsung lama, karena Nazima datang membawa teh hangat dan goreng pisang. 
“Maaf, Khau. Aku masuk tak permisi,” ucapnya pelan.
Dengan berat hati Khaula menggeleng dan menjawab tidak apa-apa.
“Minum dulu tehnya. Oh, iya. Baju nikah kamu aku gantung dalam lemari, nanti malam dicoba, ya. Mana tahu tidak muat.” Nazima tidak sedikit pun memperlihatkan sakit hati kepada Khaula. Bahkan ia sangat antusias membantu pelaksanaan pernikahan Khaula.
Jiwa Khaula bergejolak, pertanyaan bodoh kembali bermain dalam kepala. Kenapa Nazima tidak cemburu? Kenapa Nazima begitu baik? Apa sebaiknya aku mengalah saja? Tapi ia ingin membalas sakit hatinya pada Khalid, satu-satunya cara hanyalah dengan menikah dengan laki-laki itu.
“Sudah Khaula, dulu ‘kan, Nazima pernah membuatmu sedih dan terluka. Sekarang balas sakit hatimu dengan cara yang manis.” Kembali  bisikan jahat meracuni pikiran Khaula.
“Terima kasih, Niz. Bisakah kamu tinggalkan aku sendiri?”
Nazima mengangguk, dan beranjak dari sisi Khaula, tanpa kata hanya senyum yang menghiasi bibirnya yang tipis.
***
Rumah Gadang Khaula terdiri dari tiga kamar, tapi satu kamar di isi padi dan barang rumah tangga lainnya. Karena rumah mereka tidak memiliki rangkiang5. Sementara kamar Khaula sudah direhab, ada kamar mandi di dalamnya yang dibuat sejajar dapur. Khaula menghempaskan badannya ke pembaringan, namun matanya tidak mau terlelap.
Suara tawa induk-induk yang bergurau sambil memasak rendang, sipuluik kuning, wajik dan kelamai terdengar riuh. Apalagi aroma rempah dari gulai dan rendang membuat perut bernyanyi riang. Itulah yang membuat Khaula seperti cacing kepanasan dalam kamarnya sendiri.
Khaula sebenarnya enggan untuk berkumpul dengan mereka, karena biasanya calon anak daro akan diolok-olok. Ditanyakan macam-macam tentang hubungan mereka sebelum ini.  Sementara Khaula belum bisa meladeni mereka karena pikirannya sedang bersama Juki di Pekanbaru sana. Apakah pemuda itu baik-baik saja? .
Lama Khaula memandang langit-langit kamar yang kini sudah ditutupi kain tabir berwarna  emas. Hatinya gundah gulana, sebagian hatinya telah direbut Juki, sementara sebagian lainnya masih menyimpan dendam pada Khalid.
Bahkan dendam pula yang  membuat gadis itu harus melewati semua runutan adat pernikahan di Minangkabau ini. Salah satunya nanti malam melaksanakan prosesi bainai yang dilakukan oleh bakonya, yaitu Nazima. Daripada sibuk bermain dengan angan-angan, akhirnya Khaula bangkit dari pembaringan, lalu menuju samping Rumah Gadang ke tempat induk-induk bergurau sambil mengaduk masakan yang terjerang.
Sambil mengaduk masakan, tawa mereka kadang melengking, kadang serempak jika ada satu hal yang tampak lucu dari salah satu di antara mereka. Bahkan hanya karena mengusap peluh dengan ujung kain samping saja, bisa jadi hiburan menarik untuk melawan panasnya kobaran api dalam tungku. Hiburan itu hanya terlihat ketika akan melaksanakan hajatan semacam pernikahan, turun mandi, dan sunat rasul. Di mana tuan rumah memerlukan bantuan untuk memasak yang lumayan banyak, jadi dengan sukarela induk-induk itu datang membantu.
Khaula mendekati tenda yang terbuat dari terpal berwarna biru tersebut, tanpa dinding, hanya beralaskan tikar plastik. Seberat apa pun pekerjaan mereka, tawa mereka tetap berderai. Karena kebersamaan itu indah, katanya.


“Eh, calon anak daro tidak boleh ke dapur,” celetuk Etek Samsida selaku yang dituakan di sana.
Sebagai orang yang didahulukan selangkah, Etek Samsida memikul tanggung jawab yang sangat berat. Mulai dari bahan masakan, sampai garam atau gula harus ia ingat di mana letaknya sebab ibunya Khaula tidak dibolehkan memikirkan hal-hal tentang dapur lagi.
“Tidak enak di kamar sendirian, Tek,” jawab Khaula sembari tersenyum.
“Terus kamu mau apa di sini? Mau di rendang?” gurau etek-etek yang lain.
Khaula menunduk, saat ini ia harus menjaga sikap. Ia tidak ingin dianggap wanita tidak beradab yang tidak tahu di mana harus meletakan kata. Dengan wajah memerah, Khaula duduk di antara mereka sembari membantu mengupas bawang.
Belum sampai pisau yang ia pegang melucuti kulit luar bawang, teriakan Etek Samsida terdengar nyaring.
“Khaula, tidak boleh! Calon anak daro tidak boleh kukunya kena bawang, nanti inai kamu tidak bagus. Sekarang kamu naik ke rumah! Dan kamu, Nazima. Temani Khaula!”
Begitulah kalau calon anak daro tetap berada bersama mereka, pasti banyak pantang dan larang. Dengan berat hati Khaula meninggalkan rombongan induk-induk tersebut dan naik ke rumahnya diikuti Nazima.
***
Selepas salat isya. Di ruang tengah rumah gadang berlantai papan tebal tersebut, Khaula mengunjurkan tangan dan kaki ke pada Nazima. Sementara gadis itu sibuk mengaduk tumbukan inai dalam sebuah wadah plastik. Beberapa lembar daun sirih sudah disediakan sebagai pembungkus jemari tangan dan kaki Khaula setelah ditempeli tumbukan daun inai.
“Kamu sudah siap, Khau? Apa tidak bersandar ke dinding saja, takutnya punggungmu nanti sakit,” usul Nazima lembut.
“Boleh juga, tapi apa nggak boleh sambil berbaring saja, Niz?”
“Tentu boleh, Khaula. Sebentar, aku ambilkan bantal biar lebih nyaman.” Nazima bergegas ke kamar Khaula. 
Setelahnya Nazima membentangkan kasur santai di dekat anjungan Rumah Gadang sebelah barat. Dia membawa seluruh perlengkapan bainai, lalu meminta Khaula pindah untuk berbaring di sana.
“Sudah mau di pasang yo, Niz?” Sebuah pertanyaan terdengar dari arah dapur. Ternyata Etek Samsida dan beberapa saudara Khaula yang lain ingin pula menyaksikan prosesi bainai-nya Khaula.
“Belum, Tek. Ini masih diaduk,” jawab Nazima. 
Ketika Nazima mengaduk tumbukan daun inai, Khaula mengamati wajah sepupunya itu. Tidak sedikit pun ada jejak kecewa di sana, tidak pula ada luka di matanya. Semuanya biasa-biasa saja, bahkan Nazima selalu tersenyum dengan mata berbinar ketika Khaula memintanya melakukan atau menolong sesuatu.
Proses pemasangan inai dilakukan dengan cekatan dan teliti oleh Nazima, tanpa ada ceceran di kain alas tangan Khaula. Gadis itu tersenyum dan bernapas lega setelah semua jari Khaula dibungkus dengan daun sirih.
“Kalau kamu mau tidur biar aku yang jaga jarimu,” ujar Nazima yang membuat Khaula merasa tidak enak hati.
Khaula membenci Nazima, meski tidak diperlihatkan. Khaula sengaja menyakiti gadis baik itu dengan perangainya yang menganggap Nazima bukan siapa-siapa. Khaula selalu memandang rendah kepada Nazima, bahkan Khaula memperalatnya untuk mencari gaun pengantin. Ah, rasa bersalah membuat Khaula malu pada Nazima. Tapi, Nazima juga pernah menyakitinya.

***
Bainai adalah tradisi mewarnai kuku calon pengantin perempuan yang dilakukan oleh bakonya

5 Bangunan yang menyerupai Rumah Gadang Minang, biasanya digunakan tempat penyimpanan padi.



Komentar

Login untuk melihat komentar!