Jarak perempuan berbaju merah itu semakin dekat. Rambutnya terurai panjang dan tampak wajahnya yang sangat pucat.
"Mamak ... Mamak ...."
Tubuh Mamak kuguncang, tapi tak ada respon. Bapak terlalu brutal saat menghajarnya tadi. Ah, bagaimana ini? Bagaimana kalau Mamak mati? Siapa pula perempuan berbaju merah ini?
"Mak ... bangun, Maakk! Aku takut ... huuu ...."
Perempuan berbaju merah itu kini tepat di depanku, ia juga duduk di depan Mamak yang sudah terkapar. Aroma bunga tabur menguar dan tercium jelas olehku.
Ia melihat Mamak dan mulai menggeram. Aku benar-benar ketakutan sekarang. Kedua mata coba kututup dengan tangan kiri. Namun, aku masih bisa melihat perempuan itu dari sela-sela jari.
Deg!
Kini perempuan berbaju merah itu mengalihkan wajahnya ke arahku. Ia tampak benar-benar pucat dan sangat menyeramkan.
Ia makin mendekat dan jaraknya kini hanya satu jengkal di depanku. Aku bisa merasakan embusan napasnya. Aroma bunga kuburan semakin menyengat dan menusuk hidung. Rasa pusing yang tak bisa kutahan membuat pandangan berputar-putar.
Setelah itu ... semua gelap.
***
Aku membuka mata. Sayup-sayup terdengar suara yang cukup gaduh. Bangkit perlahan sambil memijit kepala yang masih nyeri, entah sejak kapan aku tertidur? Atau mungkin pingsan? Entahlah.
Di sampingku seorang wanita berbaju merah duduk dengan tubuh bergetar. Ah, tidak! Hanya sebagian saja yang berwarna merah, hanya percikan. Ia Mamak dan sudah siuman ternyata.
Bajuku pun menjadi berwarna merah, entah sejak kapan aku memiliki baju seperti ini. Merah amis dan lengket.
"Mak ... Mak ...."
Aku menarik-narik baju Mamak saat melihat sosok yang terkapar di depan. Ia berbaju merah.
Tidak!
Bukan hanya baju dalam itu yang kini menjadi berwarna merah, tapi seluruh tubuhnya berlumuran darah. Bapak!
"Mak! Bapak kenapa, Mak? Huuu ...."
Aku menangis. Meskipun membenci Bapak, tapi melihat keadaannya seperti itu membuatku ketakutan. Aku hanya bocah sepuluh tahun.
Mamak tetap bungkam. Bajunya yang berlumuran darah kutarik-tarik. Ia tak peduli dan hanya menatap lurus ke depan. Tangan kanannya menggengam sebuah benda yang biasa ia pakai untuk memotong-motong sayur dan daun bawang. Pisau dapur.
Pandangan kualihakan ke sekitar ruangan. Namun, perempuan berbaju merah bermuka pucat tadi sudah tak ada. Entah kemana dia?
Bingung harus berbuat apa, Mamak tak memedulikanku. Aku terus-terus menangis sambil menarik baju Mamak. Perasaan campur aduk. Tubuh Bapak bersimbah darah dan tak bergerak lagi.
Sampai akhirnya beberapa orang berbadan tegap masuk ke gubuk sederhana kami. Mereka merampas pisau dari tangan Mamak. Meringkus kemudian membawanya.
"Mak!!! Huuu ...."
Beberapa orang tetangga yang kukenal menghalangiku. Seorang Ibu memelukku dan ikut menangis.
"Aku mau ikut, Mamak!"
Aku coba berontak saat polisi-polisi itu membawa Mamak. Kini, aku benar-benar takut dan kesepian.
Rumahku penuh sesak oleh kerumunan orang. Mereka datang bak air bah. Beberapa polisi tampak kewalahan saat warga berdatangan dan memaksa masuk ke TKP.
"Sabar, Nak! Sabar ...." Ibu yang memelukku ikut menangis. Beliau adalah tetangga yang berkawan baik dengan Mamak. Ibu Ratna yang sering memberikan kami lauk pauk.
"Tapi ... Mamak mau dibawa ke mana? Itu ... Bapak ...."
Bu Ratna cuma menggeleng. Ia sesegukan.
Sirine ambulance terdengar begitu mengerikan, membuat bulu kudukku meremang. Beberapa orang berbaju putih masuk dan mengangkat badan Bapak.
"Apa anak ini memiliki keluarga dekat, Buk?"
Seorang polisi mendekat, ia mengusap-usap kepalaku. Ada perasaan tak nyaman saat tangannya menyentuh ubun-ubunku.
"Biar saya saja yang merawatnya, Pak," isak Bu Ratna.
Pak Polisi melepaskan tanggannya dari kepalaku, tampak berfikir.
"Tidak!"
Seorang pria muncul dari belakang.
"Tidak bisa! Hanum biar saya saja yang rawat. Saya Omnya!" Pria berbadan tegap itu menarikku kasar.
Dia Om Danur, adik kandung Bapak. Badanku bergetar hebat tatkala Om Danur mulai membawaku keluar dari rumah.
Ah, bagaimana ini? Ada rahasia tentang Om Danur yang membuatku ketakutan setiap kali mengingatnya.
NEXTAR
Jangan lupa SUBSCRIBE, Gaes, biar dapat notif tiap kali update. Tengkyu. 😉