Langkahnya terhenti tepat di belakang. Sepertinya aku akan benar-benar celaka kali ini. Tubuhku hanya mematung dan kaki bagai terpasung.
Aku tak bisa bergerak sama sekali. Rasanya makin sulit untuk bernapas. Mulut pun seakan terkunci, tak bisa berteriak untuk meminta tolong. Untuk berbalik pun rasanya tak bisa, dan aku memang tak berani.
Mau meminta tolong kepada siapa juga, saat ini aku tak punya siapa-siapa lagi.
Oh, iya. Aku teringat perkataan Ibu. Dulu ia pernah mengatakan, jika suatu saat merasa sendiri dan tak punya siapa-siapa, maka ingatlah kepada Tuhan! Sejatinya Tuhan selalu ada bersama kita, hanya saja kita yang kadang abai dan melupakannya.
Benar juga, aku masih punya Tuhan. Aku sudah keliru karena menganggap diri ini tak punya siapa-siapa lagi.
"Hanummm ...."
Deg!
Pundakku merasakan sentuhan dari arah belakang. Suara yang tadi memanggil namaku, juga terdengar tak asing.
'Ya Allah ... tolonglah aku kali ini. Aku benar-benar ketakutan ...,' rintihku di dalam hati.
Setelah itu tubuhku terasa begitu lemas. Kaki seolah tak dapat lagi menjadi penopang. Aku ambruk dan setelah itu semuanya menjadi gelap.
***
Kepalaku rasanya berputar-putar, sehingga untuk membuka mata pun menjadi begitu sulit.
Namun, akhirnya tersadar juga saat badanku seolah-olah ada yang mengguncang. Aroma minyak kayu putih pun mulai tercium begitu kuat.
"Hanum bangun! Bangun, Nak! Kamu baik-baik saja, kan?"
Saat pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku adalah sosok Bik Sukma dengan ekspresi yang tak bisa kugambarkan seperti apa.
"Alhamdulillah ... kamu sudah sadar, Nak." Bik Sukma mengusap pipinya yang telah basah oleh air mata.
"Iyaaa, Bik. Terima kasih," ucapku sambil memijat kepala yang terasa agak sakit.
Bik Sukma membantuku untuk duduk dan bersandar di dinding. Mataku memindai keadaan di sekitar. Sudah terlihat terang. Sinar matahari yang masuk melalui celah ventilasi kamar pun bisa kurasakan hangatnya.
"Kenapa kamu pingsan di lantai, Nak? Awalnya bibi pikir kamu cuma ketiduran, tapi pas bibi coba bangunkan, kamu malah tidak ada respon sama sekali. Bibi benar-benar khawatir." Bik Sukma mengelus-elus pucuk kepalaku.
Kasih sayang serta ketulusan dari Bik Sukma benar-benar bisa kurasakan. Tanpa terasa air mataku pun tertumpah begitu saja. Meskipun saat ini malaikat pelindungku sedang terkurung di penjara, tapi Tuhan mengirimkan penggantinya.
"Terima kasih, Bik ...." Aku memeluk wanita tua itu. Terasa begitu aman dan hangat di dalam dekapannya.
"Sama-sama, Nak. Terus tadi kenapa pintu kamarmu sudah terbuka, Nak Hanum?"
Deg!
Berarti benar. Tadi malam memang ada orang yang masuk ke dalam kamarku.
***
Seharian aku bersama dengan Bik Sukma saja. Beliau pun mulai heran kenapa Om Danur tak jua muncul.
Yang paling heran tentulah aku, karena tadi malam sempat mendengar suara keributan yang sepertinya berasal dari ruang tamu.
Teriakan wanita minta tolong, bentakan dari lelaki yang kukira itu Om Danur, dan juga suara seperti benda pecah yang terdengar berkali-kali. Namun, nyatanya tak ada siapa-siapa.
Lantas siapa yang membuka pintu dan masuk ke kamarku tadi malam?
Aku jelas-jelas bisa merasakan saat pundak sebelah kananku seperti ada yang menyentuh dari arah belakang.
Bik Sukma juga berkata bahwa ia mendapatiku saat tengah pingsan di lantai. Saat itu kamarku pun dalam keadaan terbuka sehingga bibi bisa langsung masuk.
Sungguh aneh.
"Kenapa, Nak Hanum? Dari tadi melamun saja."
Bik Sukma mengelus pipiku. Tiba waktunya perpisahan, beliau tak lama lagi akan pulang. Ia berkali-berkali mengajakku agar ikut ke rumahnya saja, tapi aku menolak.
Meskipun Om Danur tampak tak peduli, tapi
aku juga takut kalau harus pergi tanpa meminta ijin darinya.
"Ngga papa, kok. Bibi siap-siap pulang saja, nanti kemaleman, loh." Aku memasang muka polos.
Bik Sukma sempat bertanya dan kembali mengajak untuk ikut pulang bersamanya, tapi aku menyakinkannya bahwa aku tak takut sendirian di rumah.
Maaf, Bik! Aku berbohong. Sebenarnya aku takut. Sangat ... sangat ... takut.
***
Saat ini waktu menunjukkan pukul delapan lewat beberapa menit. Belum ada tanda-tanda kedatangan Om Danur. Pintu kamar dan jendela sudah terkunci. Lampu juga sudah kunyalakan semua.
Sebenarnya aku berharap agar istri dan anak Om Danur segera datang. Setidaknya aku tak perlu merasa kesepian dan sendiri lagi.
Aku cukup akrab dengan sepupuku itu. Jarak
usia kami hanya terpaut beberapa bulan saja. Namun sayang keberadaan istri dan anak Om Danur tak pernah terlihat sejak aku tiba di sini.
Ting!
Aku tersentak saat bel berbunyi. Apa Om Danur sudah datang? Tapi seharusnya, kan, ia membawa kunci.
Ting!
Bel kembali berbunyi dan kali ini aku bangkit dari tempat tidur. Sepertinya aku terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak. Bisa saja yang datang itu malah sepupuku bersama ibunya.
Ting!
Bel kembali berbunyi saat aku sudah sampai di depan pintu depan.
Aku memutar anak kunci, lalu membuka pintu.
Krieeettt!
Perkiraanku salah. Saat pintu terbuka tampak sosok pria yang perawakannya mirip Bapak. Ternyata Om Danur yang sedari tadi memencet bel. Wajahnya terlihat aneh, tampak pucat seperti mayat.
Namun, yang membuatku lebih merinding adalah sosok di belakang Om Danur. Seorang wanita bergaun merah yang tampak masih berdiri di depan pagar.
Wanita misterius yang datang ke rumahku sebelum Bapak tewas pada malam itu. Kini ia muncul kembali.
Deg!
NEXTAR
Masih banyak misteri yang belum terpecahkan, Gaess. Semangat buat aku, ya. 👶