Sosok berbaju putih itu tampak tak asing. Oh, iya, wajahnya cukup mirip dengan wanita berbaju merah yang datang ke rumah sesaat sebelum Bapak tewas malam itu.
Bukan cukup mirip, tapi sepertinya memang sosok yang sama.
Aku menahan napas seiring jantung yang berdetak kian cepat. Sosok itu masih berada di luar jendela. Untung saja ia tak semengerikan seperti saat memakai baju merah di malam itu. Meskipun wajah pucatnya membuatku takut juga.
Bughhh!
Aku tersentak saat mendengar suara pintu kamar yang dipukul dari luar oleh Om Danur. Langkah kaki terdengar semakin menjauh, diikuti suara omelan Om Danur. Syukurlah ia sudah pergi.
Aku mengelus tengkuk saat merasakan dingin yang tak biasa. Pandangan kembali kualihkan ke arah jendela yang kini terbuka sempurna. Tirai tampak bergoyang-goyang tertiup oleh angin malam.
Aneh! Sebelumnya jendela itu jelas-jelas tertutup.
Melangkah perlahan ke arah jendela. Wanita berbaju putih itu tak tampak lagi di sana. Ia menghilang tanpa jejak.
Entah siapa wanita misterius itu? Dan entah apa maunya? Kuharap ia tak jahat padaku. Semoga saja karena saat ini aku tak punya malaikat pelindung lagi.
Bapak telah berpulang. Ibu yang menjadi eksekutor harus mendekam di penjara untuk waktu yang aku sendiri pun tak tahu sampai kapan.
***
Apa yang membuatku takut pada Om Danur?
Sebenarnya bukan tanpa alasan aku menghindarinya. Sikap Om Danur tak beda jauh dengan Bapak. Nanti-nanti akan kuceritakan, saat ini aku sedang tak ingin mengingatnya.
Biar bagaimanapun, saat ini aku harus tinggal seatap bersama beliau. Entah, sampai kapan? Rasa-rasanya aku ingin cepat menjadi dewasa.
Pagi telah tiba dan perutku rasanya sakit bukan main. Iya, tadi malam aku tak sempat makan. Mungkin saja tadi malam Om Danur mengajakku makan. Entahlah, tapi aku terlalu takut untuk keluar.
Tok! Tok! Tok!
"Hanum ... Hanum sayang! Ayok keluar dulu, Nak!"
Senyumku mengembang, lalu setelah itu meloncat-loncat kegirangan saat mendengar suara lembut yang memanggil dari luar. Aku sudah menantinya dari tadi. Pintu kamar segera kubuka.
"Bik Sukma ...!" teriakku saat melihat wanita berbadan gempal yang sedang berdiri di depan pintu kamar.
Aku segera memeluk wanita yang memakai kebaya itu. Bik Sukma memang lebih suka mengenakan baju tradisional yang ia padukan dengan sarung.
Usia Bik Sukma jauh di atas Ibu, tapi aku bisa merasakan bahwa ia begitu tulus dan peduli padaku.
Begitupun denganku yang merasa tenang, dan juga berani untuk keluar dari kamar jika Bik Sukma sudah berada di rumah ini.
"Aduh, Nak! Wajahmu sudah pucat begitu. Tanganmu juga terasa dingin. Ayo kita sarapan dulu!" Bik Sukma menuntunku ke meja makan.
Andai Bik Sukma bisa berada setiap saat di rumah Om Danur, tentu aku tak perlu ketakutan lagi.
Namun sayang, Bik Sukma hanya bekerja dari pagi sampai sore hari saja. Biasanya ia sudah pulang sebelum maghrib.
Om Danur memiliki seorang istri dan anak laki-laki yang seumuran denganku. Hanya saja aku tak pernah melihat keduanya sejak tiba di rumah ini.
Entah. Aku tak berani juga menanyakannya pada Om Danur. Yang pastinya sudah beberapa hari sejak pindah ke sini, hanya ada aku dan Om Danur saja.
Bik Sukma yang sudah lama menjadi pembantu di rumah Om Danur cukup dekat denganku. Dulu sewaktu Bapak masih hidup, sesekali aku dititipkan ke sini. Itulah yang membuatku cukup dekat dengan Bik Sukma.
"Bik ... tante ke mana, ya?" tanyaku di sela-sela sarapan bersama Bik Sukma.
Hening.
Aku yang dari tadi fokus ke piring yang berisi lauk pauk, megalihkan pandangan ke arah Bik Sukma yang duduk di sebelahku.
Wajah Bik Sukma tampak ketakutan dan ... tak jua menjawab pertanyaanku sedari tadi.
Aneh, sih. Namun, lebih baik saat ini aku makan saja dulu. Perutku benar-benar keroncongan dan masih memerlukan asupan.
***
Malam kembali tiba. Aku sudah meringkuk di dalam kamar sejak Bik Sukma pamit pulang selepas adzan Maghrib berkumandang.
Kasihan juga Bik Sukma. Ia pulang kemalaman karena menemaniku sedari tadi.
Om Danur tak jua pulang-pulang sejak keluar dari dari rumah sejak pagi. Tak biasanya.
"Nak ... kamu tidak takut, kan?" tanya Bik Sukma sebelum ia pulang tadi.
"Tidak, kok. Bik Sukma pulang saja, kasihan kalau kemalaman."
Aku berbohong.
Jelas saja aku takut. Setelah Bik Sukma keluar, aku segera mengunci pintu, lalu berlari ke kamar. Om Danur pastinya membawa kunci rumah, jadi nanti aku tak perlu untuk membukakannya.
Setelah mengunci pintu kamar, aku segera berbaring di atas kasur. Saat ini aku memang sendirian di rumah, tapi rasa takut yang kurasa tak sebesar saat berada di rumah hanya berdua dengan Om Danur saja.
Iya. Sepertinya ini agak sedikit mendingan.
Malam semakin larut dan semuanya memang baik-baik saja. Pun dengan tanda kedatangan Om Danur yang tak jua terdengar.
Aku memilih menutup mata saat rasa kantuk itu datang. Yah, aku sudah menguap berkali-kali sebelumnya.
BUGGHHH!
Belum sempat terlelap, aku dikagetkan oleh suara pintu yang dibanting dengan keras.
Tak hanya sampai di situ. Seketika badanku menggigil ketakutan saat terdengar suara teriakan minta tolong.
Teriakan dari seorang wanita yang terdengar begitu menyayat hati.
Deg!
NEXTAR
Hai, Gaess! Jangan lupa baca & subcribe ceritaku yang lain juga, ya! Semoga kelen semua sehat selalu. Aamiin.