"Lega" lirihku dalam hati saat Umi dan Kalilah melangkah keluar kamar. Tatapanku tak bisa lepas dari Namira, masih terpesona dengan parasnya.
" Mas, kesambet ya ... oeee ... Mas ... Mas!" suaranya mengangetkanku dan lumayan memengkakkan telinga.
"Hello - baru pertama kali ya lihat bidadari?" ucapnya dengan penuh percaya diri dengan mengibaskan rambut panjangnya.
"Iya baru kali ini lihat bidadari, gak salah Abah milihin jodoh," ucapku setengah sadar dengan netra yang masih menguliti pesona ayu-nya, mirip bintang iklan sabun mandi dan rambut panjang yang lurus dan lebat kayak model iklan shampoo di TV.
"Emang ada bidadari bertatto?" sambil memperlihatkan tatto si punggungnya.
"Apa!" melihat gambar sayap di punggungnya yang putih mulus seketika langsung buyar pesonanya.
"Kamu bertatto? Subhanallah," aku mendekat, meyakinkan diri kalau gambar di punggungnya itu benar - benar tatto.
" Asli ini, kenapa? nyesel ya nikah sama aku? loe juga sih! mau ajah dijodohin, kayak gak bisa cari jodoh sendiri aja!" bentaknya sambil nyengir melihatku melongoh, seumur - umur baru liat dari dekat gambar tatto beneran, biasanya cuma liat di film - film.
"Ya Allah, dosa apa aku? nih perempuan gak ada akhlak banget! Abah mungut di mana sih! sabar - sabar," gumamku dalam hati menangis darah.
Padahal baru saja saya bayangkan sosok istri yang penuh kelembutan dan keibuan, ini kok malah dapat yang kayak preman.
"Gak pa - pa tattoan, yang penting cuma aku yang lihat, suami kamu seorang. Nah kamu sendiri ngapain mau dijodohin sama aku? gak laku ya? ngaku aja? cantik - cantik jomblo? jomblo forever kan?" balasku, loe jual gue beli.
"TERPAKSA! Ingat ya ! saya terima perjodohan ini soalnya babe ngancam kalo gak nikah sama loe, gue bakal dijadiin istri ke - tiga H Ramli si juragan beras. Soalnya babe punya utang sama itu orang, ya dari pada jadi istri ke - tiga mending saya terima aja perjodohan ini." tuturnya panjang lebar tanpa rasa bersalah
"Ya Allah, apa salah dan dosaku sudah jadi tumbal?" gerutuku
"Jadi tumbal? gak usah merasa dikorbankan deh, kamu juga diuntungkan dengan perjodohan ini! nda perlu capek - capek cari istri idaman," kilahnya
"Ke - PD - an banget, istri idaman dari hongkong!" jawabku mendecih padahal dalam benar juga apa katanya, apalagi selama kuliah saya tidak pernah dekat dengan akhwat.
"Buktinya kamu tadi bilang aku cantik, ngaku deh! entar lagi kamu bakal jatuh cinta sama aku!" sahutnya terkekeh memperjelas gigi putih berjejer rapi yang menambah kesan manis pada wajahnya.
"Istri idaman itu yang suara lembut, anggun, yang pin -"
"Alah... banyak bacot loe, kalo udah jatuh cinta, gak ada lagi tuh syarat ini dan itu. Memiliki saja sudah syukur!" selanya memasang baju yang dipinjamkan oleh Kalilah.
Ya Allah ... ampuni hambamu ini, bayangan berumah tangga dengan gadis ayu, berakhlak mulia, tinggi adab seperti rekan - rekan akhwat di kampus jauh banget dari ekspektasi.
"Nih gue balikin! Thanks ya!" ucapnya merapikan jilbab dan gamis yang dipakainya, kolor dan singlet yang dipakainya tadi melayang ke udara dan tepat mendarat di atas kepalaku.
"Cobaan apalagi ini!" kolor dan singlet kuhempaskan ke tempat tidur.
"Eh - sono ganti baju! oh malu ya ganti baju depan aku, sudah santai ajah saya gak bakalan ngintip?" cerocosnya.
"Tok - tok"
Pintu kamar diketuk
"Kak Nam - Abang! sarapan yuk, sudah ditungguin tuh sama Abah dan Umi di meja makan," ucap Kalilah dari balik pintu.
"Iya Kal, entar lagi kita keluar kok, jawabku
"Nah, mantu idaman Abah Umi sudah dipanggil tuh!" ujarnya dengan percaya diri sembari terkekeh seolah sedang meledekku.
"Mantu idaman itu dia yang nyiapin sarapan bukan malah dilayani begini," balasku bersungut-sungut membayangkan istri yang bisa dibanggakan.
"Ingat Mas... Aku menantu bukan pembantu! tapi tenang ajah, saya pasti bantu Umi di dapur, nanti kamu bakal ketagihan sama masakan aku,"
"Emang bisa masak?" lontarku tak percaya
"Lia aja nanti!" nadanya datar lalu melangkah menuju pintu kamar.
"Kenapa balik?" kakinya melangkah mundur.
"Anu ... Mas," matanya menatap aneh dihadapanku
" Gak usah macam - macam deh, sarapan kan sudah siap di meja makan, tuan putri?" ledekku dengan memutar bola mata dan duduk di tepi ranjang.
Dia tak bergeming, netranya memelas.
"Kalau diam begini kan makin cantik cah ayu," gumamku.
"Mas ... boleh minta tolong?" suaranya dilembutkan, jelas sekali ada maunya.
"Minta tolong, apa? tadi aja juteknya level kayangan!"
"Lagi datang bulan nih, beliin pembalut dong di warung depan! boleh ya mas?" suaranya di sayu - sayuin.
"Hah? Ya salam! ogah ah, malu!" kutolak mentah - mentah permintaannya, baru nikah sehari sudah begini amat ya!
"Ya udah, entar lagi banjir nih!" ucap Namira yang langsung merebahkan diri di atas kasur, lalu berguling-guling.
"Eh loe ngapain kayak ulat keket?" baru lihat perempuan jenis ini.
"Kalo loe gak beliin pembalut sekarang, entar lagi seprei putih sama spring bed ini bakal berubah jadi warna merah." nada bicaranya mulai mengancam.
"Gak sudi! Mau jadi merah kek, ijo kek terserah. Kenapa gak beli sendiri ajah sih?"
"Ya udah kalo gak mau, saya sarapan ajah sama Abah Umi. Biarin deh, ini darah haid merembes kemana-mana!" ancamnya sambil bangkit dari tempat tidur hendak melangkah keluar kamar.
"Ok! Ok! tunggu di sini!" rambut kuacak - acak tak karuan lalu melangkah keluar kamar.
"Karma apa yang kudapat ini Ya Allah? nasib, kok, gini amat yah?" ratapan dalam hati, lebih sedih dari ratapan ibu tiri.
Pintu baru kubuka setengah, Namira kembali berucap " Mas yang gak pakai sayap ya? Ingat loh gak pakai sayap!"
"Apa pula itu, emang burung pakai sayap segala!" gerutuku menutup pintu kamar sedikit kencang.
***
Abah dan Umi seperti sudah selesai sarapan, mungkin kelamaan nunggu menantu barunya keluar dari singgasananya. Abah dan Umi kelihatannya bahagia banget, belum tau aja kelakuan Namira barusan. Harus dirukiyah itu cewek!
"Apes banget!" pas sampe di warung Mpok Salma, eh di situ banyak ibu - ibu ngumpul beli sayuran. Mau balik kepalang tanggung, dilemanya sampai keubun - ubun.
"Eh ada pengantin baru?" ucap Cing Muleng yang sedang milah - milih sayur, Cing Muleng ini lidahnya diam - diam menyengat. Emang sih gak pernah ngomong kasar, tapi sekali nyeletuk, kita kayak disengat listrik.
"Wah ... aura pengantin baru masih awet nih," timpal Mpok Faijah yang komedonya banyak dan mulutnya dower karena keseringan gosip sana sini.
"Mau beli apa nih, dek!" ucap Bu Siti, seolah aku terselamatkan dari ibu - ibu CCTV.
"Mau beli anu Mpok," garuk - garuk kepala