Tak Bersayap

"Anu Mpok..." suara riuh ibu - ibu nyinyir tiba-tiba hening menunggu jawabanku dengan kuping yang siap menampung setiap bahan yang akan dijadikan topik utama hari ini. 


"Anu apa?" cerca Mpok Salma dengan wajah kurang enak sembari mengatur barang dagangan


"Mau beli pem - pem -pembalut," jawabku ragu dengan nada rendah pada Mpok Salma tapi signal Ibu - ibu komplek ini begitu kuat, rada - radanya ada aura negatif, mau tak mau harus menahan malu kalo dengar nyinyiran mereka. 


" Weleh - weleh, suami idaman banget ya, Mas Abqa ini. Pembalut aja bisa siap siaga buat istri, " Ucap Mpok Ratna yang sejatinya jomblo akut alias perawan tua.


 " Jadi Mas Abqa Puasa dong," celetuk Cing Muleng diiringi suara ibu - ibu kompak terbahak-bahak.Rasanya mau langsung lenyap seketika dari tempat ini

"Sayang banget ya, padahal pengantin baru loh!" timpal Mpok Faujiah, bikin kuping, kepala dan hati makin panas. 


"Mau yang sachetan atau sebungkus besar?" pertanyaan Mpok Salma bikin makin puyeng, mana saya tau sachetan atau perbungkus. "Macam kopi ajah pakai sachetan segala." gerutuku dengan leher kaku yang tak sanggup menoleh ke arah kumpulan para pembawa berita gosip. 


"Perbungkus ajah Mpok!" keringat dingin mulai berbulir - bulir membasahi keningku, setelah duit kuberi pada Mpok Salma, secepat kilat aku bergegas meninggalkan warung pojok itu. 


"Uang kembaliannya, Mas!" Teriak Mpok Salma diiringi suara Ibu - ibu lambeh yang masih terkekeh - kekeh. 


"Nanti ajah!" lontarku sambil berjalan cepat menjauh dari TKP yang dikelilingi wartawati infotainment. 


"Bodohnya diriku, tadi mengapa nggak minta tolong ajah sama si Kalilah atau mungkin bisa beli di minimarket, meski kasirnya cewek setidaknya nggak resek kayak perempuan - perempuan lambeh curah tadi," umpatku pada diri sendiri. 


***


Setiba di rumah, Namira dan Kalilah tengah duduk di meja makan sambil mengobrol dan diselingi tawa renyah mereka berdua. 


"Loh, Nam gak takut merembes ke mana - mana?" ujarku panik pada Namira. 


"Apa sih Bang yang merembes?" tanya Kalilah penasaran. 


"Gak, kok, Mas. Sudah dikasi tadi sama Kalilah." jawabnya santai tanpa rasa bersalah. Senyumnya mengembang penuh kemenangan, seolah dia memang sengaja menjahiliku


" Apa?!" sebisa mungkin kutahan bentakan di kerongkongan, nafas di dadaku naik turun dan geraham yang mengeras. 


"Sarapan yuk, Mas," nadanya santai sambil menyodorkan piring kosong dan sendok dihadapanku. Betapa berat perjuangan tadi membeli pembalut dihadapan CCTV berjalan. 


"Nih!" kutarik kursi dan kuserahkan bungkusan yang baru saja kubeli di dekatnya. 


"Terima kasih ya Mas. sudah repot beliin aku," suara lembut yang dibuat - buat karena di sini ada Kalilah. Entahlah bakalan ngomong apa dia kalau kita kembali ke kamar. 


"Loh, Mas?" matanya memperhatikan dengan seksama bungkusan yang baru saja kuletakkan. 


"Apa lagi sih?" ketusku


"Tadi kan aku bilang yang tak pakai sayap!" ucapnya sambil menyendok nasi goreng ke mulutnya. 


"Hah?" mana saya paham yang macam itu Namira keluhku dalam hati. 


"Buat Kalilah saja, Kak. Aku suka, kok yang pakai sayap," seketika bungkusan itu sudah dipegang Kalilah. 


"Mas, entar beliin lagi ya?" ujarnya manja, tepatnya manja yang dipalsukan. 


Tanpa menjawab kuangkat piring yang masih penuh, aku beranjak menuju ruang tengah. 
"Mending makan depan TV, kalau di meja makan bisa - bisa hilang selera makan, "Keluhku.


Belum rapat bokongku di sofa, Umi malah datang entah dari mana. 

" Loh, kok makan di sini, Qa. Temenin Namira makan dong!" tegas Umi. 

"Duh - wanita - wanita ini!" gerutuku dalam hati. Terpaksa balik ke meja makan, tak berapa lama Namira dan Kalilah sudah selesai makan lalu menuju ruang tengah. 

"Makan yang banyak yang Mas, biar tambah pintar dan kuat menghadapi kenyataan," bisik Namira mendekatkan wajahnya di telingaku, senyum meledek dan satu alisnya naik, meski begitu masih saja terlihat cantik dan wanginya menggoda iman. 


"Ok, siapa takut!" kutelan bulat - bulat nasi goreng dan telur mata sapi tanpa kukunyah. 


***


"Mas, gerah nih pengen ganti baju," ucapnya melangkah menuju kamar.

Perkataan ambigu Namira memaksaku melangkah juga ke kamar,"kali aja mau ngajak aksi yang tertunda semalam karena terlalu lelah," senyum merekah dan perasaan senang tapi grogi. 


Belum sempat membuka pintu kamar, Namira keluar lagi membawa tas jinjingnya di pundak. 


"Loh? katanya mau ganti baju. Kok, malah keluar kamar?" suaraku berbisik takut kedengeran orang rumah, Namira melotot. 


"Ih dasar mesum! eh loe kira mau ngapain?" Umpat Namira


"Trus? mau ganti baju dimana?" lanjutku mengekor di belakangnya. 


"Antarin ke rumah!, ambil koper aku yang ketinggalan di mobil Babe," suara persis majikan nyuruh pembantu. 


"boleh ya?" lanjutnya lagi, suara memelas dengan bola mata disayu - sayuin mirip kucing persiapan yang lucu. 

"Kalo ada maunya ajah, tiba-tiba lembut." gerutuku dalam hati. 


Jodoh itu cerminan diri, begitu yang pernah kudengar. Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, jika aku flashback ke belakang rasanya tidak ada yang buruk saya lakukan meski manusia tak pernah lepas dari kesalahan dan dosa. Hidupku datar - datar saja, sekolah sampai kuliah yang benar, pergaulan juga Alhamdulillah sama orang baik semua, patuh sama orang tua malah. Kelewat patuh malah sampai terima saja saat dijodohin sama Namira, padahal ada akhwat yang sempat nyangkut hatiku.


"Mas!" pekiknya di telingaku hingga tak sengaja melayangkan kunci mobil hingga jatuh ke lantai. 

"Astagfirullah! nggak usah teriak kali, iya ini juga sudah ambil kunci mobil!"

"Terpesona mulu sih!" ujarnya dengan kepercayaan diri diatas rata-rata. 

"Idih... Kepedean banget sih loe!" ketusku 

"Emang!" celetuknya. 

"Abqa!" panggil Umi, yang baru saja menutup kitab yang baru dibacanya lalu diletakkan diatas meja. 

" Bicara sama istri ntu yang ramah, kok, pake loe gue sih? kedengerannya gak enak. Harus saling menghormati, jangan kayak anak kecil!" lanjut Umi, nasehat itu harusnya dialamatkan kepada Namira.
 
"Denger tuh, Mas!" timpal Namira dengan muka cengar - cengir. 


***

Kendaraan lumayan padat hari ini, baru saja lampu hijau menyala hanya beberapa detik kemudian lampu merah menyala lagi. Cukup membuat betis pegal karena keseringan menginjak kopling. 


Jarak antara rumahku dan rumah mertua kurang lebih dua jam. Ini kali kedua aku ke sana, sebelum nya tentu saat mengkhitbahnya. Perkenalanku dengan calon istriku hanya sekilas sebelum akad. Kupercayakan penuh pada Abah dan Umi soal wanita pendampingku. Tak pernah sekalipun mengajaknya jalan atau ketemuan untuk saling kenal. 


Positif thinking, nanti juga berubah kalau dibimbing baik - baik, tugas suami memang membimbing istri. Apalagi Namira masih muda, jiwanya masih sedikit labil. Usianya hanya beda setahun dengan Kalilah. 

Sepanjang perjalanan ke rumah mertua, Namira kebanyakan diam. Wajahnya makin manis saat kalem begini. Beberapa kali mataku mencuri pandang ke arahnya, sementara dia sibuk dengan smartphonenya. 


"Ngapain sih lirik - lirik,"? nyengir - nyeger menatap ku, wajahnya dipalingkan kehadapanku dengan siku bertumpu di dashboard dengan tangan yang menopang belakang kepala. Sukses bikin irama jantungku tak karuan, jika didengar lebih dekat seperti ikan yang baru ketangkap jaring, Meronta - ronta. 






Komentar

Login untuk melihat komentar!