Lingerie
ABQARI

Rumah khas betawi di depanku berdiri kokoh dengan perpaduan warna kuning hijau, di teras rumah tampak Babe yang sedang memanjakan burung - burung kesayangannya dan Enyak mertua sedang mengerjakan sesuatu, aku baru saja memarkir mobil. Dengan senyum berbinar menyambut kedatangan kami. 


Mobil sudah berhenti, namun gadis manis ini tak beranjak. Perasaanku mulai gak enak, apalagi yang ada dipikirannya yang akan membuat darahku naik. 

"Kok, belum turun?" dia tak bergeming,

"Bukain pintu!" ketusnya, ah yang benar saja? tapi sudahlah gak baik ribut depan mertua,apalagi kali pertama aku ke sini setelah resmi jadi pasangan suami istri. Toh, cuma bukain pintu mobil kan? bukan menggendongnya sampai rumah. 


"Silakan tuan Putri?" ucapku ala - ala pangeran mempersilahkan tuan putri turun dari kendaraan, tanganku berputar - putar di udara dengan senyum yang dipaksa melebar. Ekspresinya datar dengan sorot mata angkuh. Setelah berbalik dia tersenyum lebar, kulihat dari pantulan kaca mobil."Sabar - sabar," Batinku. 

Babe dan Enyak yang melihat kejadian barusan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Namira. 

"Assalamu'alaikum, Be-Nyak," bergantian kusalami dan mencium punggung tangan mertuaku. 

"Waalaikumsalam," sahut mereka kompak. 

Duduk di teras rumah ini memang punya sensasi berbeda, ditiup angin sepoi - sepoi menjadikan suasana makin nyaman ditambah suara meriah koleksi burung Babe. 

"Eh, Abqa. Babe titip Namira ye. Dibimbing baik - baik!" pinta Babe padaku, sebagai suami putrinya. 

"Iye, Be. Insya Allah Abqa minta do'anya Babe sama Enyak ya," jawabku membayangkan yang kualami sepanjang hari ini. 

Semoga Do'a orang tua Namira terkabul agar Namira menjadi istri yang baik. 

Dari bikil dapur kudengar dentingan piring dan sendok yang beradu seperti ada perang, rupanya Namira lagi bikin minum disuruh sama Ennyak pastinya. 

Babe hanya nyengir mendengar suara gaduh dari arah dapur. Tak lama kemudian Namira membawa sebuah baki berisi empat cangkir teh lengkap dengan kudapan kue tradisional. 

Babe ternyata asik diajak ngobrol, meski penampilannya sederhana tapi pengalamannya juga banyak, disela - sela obrolan Babe mempersilahkan aku minum. 

"Abah kamu itu, paling jago silat, kite dulu seperguruan, Abahmu juga orangnya Baik banget, jaman sekarang sudah langka orang macam dia" ucap Babe, baru tau aku kalo Abah jago silat. Dari ceritanya, kedengerannya Abah dan Babe sudah berteman akrab sejak muda. 

Asyik mengobrol dengan Babe, tanpa sadar Namira tak kelihatan sedari tadi. Babe yang menyadari jika aku mencari Namira, lalu meminta Enyak untuk memanggilnya. 

"Kalau mau istirahat, masuk di kamar Namira, mungkin ntu anak ada di kamarnya," usul Babe beranjak dari kursi menuju kamar Namira. 
Tanpa banyak kata, aku mengekor saja di belakang Babe. Ada perasaan canggung, kali pertama masuk kamar gadis. 

"Masuk aje, ini kamar kamu juga. Masuk aje ye, Babe tinggal dulu!" Ujar Babe meyakinkan, aku terlihat canggung. 

Kamarnya lumayan juga, rapi tak banyak pernak-pernik khas cewek. Lebih banyak medali dan piagam penghargaan yang tergantung di dinding kamar dan sebagian tertata rapi di atas meja beserta potret diri Namira waktu kecil. 

Penasaran dengan prestasi Namira, aku mendekati medali dan piagam itu. Mungkin juara lomba fashion show atau cerdas cermat. 

Oh ternyata, semua karena memenangkan pertandingan bela diri. Sebuah foto tergantung di dinding, sekumpulan orang berseragam silat berwarna merah bis kuning dengan lambang matahari terbit, Namira berdiri tepat di tengah dengan mamakai sabuk biru. 

"Wow - istriku anak Perguruan Tapak Suci," batinku, ada desir bangga di dada sekaligus cemas. 

Beberapa menit di kamar ini baru kusadari ternyata Namira tak ada di kamar, hanya guling yg tertutupi selimut.

Menjelang sore Namira tak kunjung pulang, 

"Enyak, Namira kemana ya?" tanyaku pada Enyak yang lagi sibuk di dapur. 

"Loh bukannya tadi rebahan di kamar?" jawab Ibu Namira menepuk jidatnya. 

"Ntu anak kemana lagi? Be cari Namira ye, paling main lagi ntu anak sama cecunguk - cecunguknya. 
" pinta Enyak pada Babe. 

"Main?"kayak anak kecil saja batinku
Kuikuti saja langkah Babe mencari Namira, mukanya sudah mulai capek mencari anak perempuannya ke sana - ke mari. 

Nafasnya mulai tak teratur, "Sabar ya Abqa, kita cari ke sana yuk!" Ajak Babe menunjuk bangunan tua yang tak terawat. 

Terdengar suara tawa terbahak-bahak diikuti tawa beberapa orang yang berpenampilan seperti preman pasar. 

"Namiraaa!" teriak Babe dengan nafas yang ngos - ngosan. 

Mendengar teriakan Babe, Namira terkejut melihat kedatangan kami. Beberapa lembar uang berwarna merah diserahkan ke salah satu pria tersebut lalu segera beranjak menghampiri Babe. 

Penampilannya berubah, gamis yang dipinjamkan Kalilah tak dipakainya lagi. Meski kepalanya masih dibalut jilbab yang lebih mirip scarf, kemeja kotak-kotak dengan celana kargo berwarna army. 

"Emang pinter ni anak berakting," batinku. Babe yang mulai murka jadi kalem, ketika Namira bergelayut manja ditangan Babenya dengan memasang muka polos. 

"Taubat dong Nam! Gak malu? Ntu sudah jadi bini, jangan kayak bocah," Babe ngedumel sepanjang jalan. 

"Ih Babe, emang aye dosa apa?" sahut Namira. 

"Gak usah lagi bergaul sama ntuh anak - anak jalanan, kamu dah punya laki yang mau diurusin," jawab Babe lagi. 

"Emangnya bocah mau diurusin?" Namira nyengir dan melirikku sesaat. 

Bangunan gedung yang tak terawat ini ditinggali beberapa orang berpenampilan preman, "ngapain Namira ke sini? Bergaul dengan siapa dia selama ini?" gumamku. 

Masih banyak hal yang tidak kuketahui tentang istriku yang baru saja sehari sah menjadi pasangan resmi. Abah hanya mengatakan Namira pernah mondok, bayangan seorang istri yang patuh dan kalem tentu memenuhi ekspektasiku sebelum melakukan ijab kabul depan penghulu. 


"Dan pergaulilah istrimu dengan (akhlak yang) baik. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allâh menjadikan padanya kebaikan yang banyak [Q.s An-Nisa/4:19]"


"Ayat ini meyakinkanku Allah SWT akan selalu memberikanku pendamping yang terbaik," aku membatin, berpikir positif selalu meski Namira mengatakan pernikahan ini terpaksa diterima.


***


Menjelang sholat isya akhirnya kami sampai ke rumah. 
Penghuni lemari ini akhirnya dimiliki dua orang. Daerah kekuasaanku akhirnya sisa seperdua, Namira sudah menggeser pakaianku dan digantikan dengan menyusun baju - bajunya. Tapi perasaan jenis pakaian di lemari ini serupa hanya underwear yang berbeda mencolok, "apa yang aneh ya? "gumamku. 

"Ngapain lagi sih pake celana dan baju aku?," protesku. 

"Idih, yang pakai punya Mas siapa? ini kaos sama celana aku sendiri!" lontarnya. 

"Hah? Jadi kamu pakai kolor cowok?" ujarku sedikit merasa kaget," Dasar aneh! dari planet mana ini perempuan? untung cantik,hehehe." gerutuku juga tergelitik melihat tingkahnya. 

"Emang kenapa?" jawabnya cuek

"Mau kemana?" melihat langkah kakinya ingin keluar kamar, dengan suara yang sedikit tegas aku menahannya agar tak keluar dengan penampilan seperti itu. Apa kata Umi dan Abah? bisa - bisa dikiranya Namira pakai bajuku lagi. 

"Kenapa?" 

"Jangan begitu kalau mau keluar! Bagaimana kalau ada tiba - tiba tamu yang datang? auratmu bisa terlihat," 

"Lalu?" singkatnya lagi

"Pakai hijab dong, Nam!" tegasku

"Yang benar aje, masa pakai celana pendek gini disuruh pasang hijab?" Namira menghentikan langkahnya. 

"Maksudnya pakai baju panjang sama hijab, juga gak enak sama Abah Umi!" cercaku. 

"Iya juga ya, maaf Mas kebiasaan sih di rumah cuma pakai beginian saja. Kaos ama celana pendek." jawab Namira membuka pintu lemari.

"Mas, saya semua baju saya cuma kaos sama kolor dan celana kargo!"

Mendengar pernyataannya aku sedikit heran, kudekati lemari yang berisi pakaian Namira. 
"Ya salam... celana pendek dan baju kaos semua hampir mirip pakaianku, tak selembar daster yang ada disitu. Apalagi gamis dan hijab panjang. Kata orang kalau jodoh biasanya mirip! tapi miripnya gak gini juga kali," gumamku. 


"Mas beliin baju y?" suaranya terdengar manja. 

"Oke, sekarang siap - siap. Cepetan ganti baju! Pakai gamis yang tadi saja!" 

"Serius Mas?" katanya meragu. 

"Iya serius,belanja baju sekarang!" tegasku lagi. 

"Gak sekarang juga kali,Mas," Selanya tak beranjak. 

"Saya tunggu dimobil ya?"

"Serius beneran nih?" tanya Namira lagi. 

"Iya, sekalian beli linge - " Kuurungkan ucapanku barusan,semoga dia tak mendengarnya. 

"Apa? beli apa Mas?" Keningnya bertaut, rupanya gendang telinganya masih normal, bisa menangkap signal dengan baik. 

"Beli lingerie,Namira!" kuberanikan diri menjawab pertanyaannya, biarlah dikira******atau apalah terserah. 

"Lingerie? Lingerie apa ya Mas?" sahutnya polos. 

"Ehm dasar katro," gumamku tersenyum simpul tapi dalam hati terbahak-bahak melihat tingkah polosnya. 






Komentar

Login untuk melihat komentar!