Kemarahan Ayah Talia
Talia berjalan dengan santai memasuki rumahnya. Setelah mendapatkan hukuman scors dari kepala sekolah, menemani Selfi makan dan menghabiskan waktu bersama ketiga teman cowoknya hingga jam pulang, Talia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Dia memilih berjalan-jalan ke berbagai tempat yang bisa menghiburnya hingga sore tiba. 
Bukan tanpa alasan dia tidak pulang ke rumah. Talia nggak mau menjadi babu seharian karena perintah ibu tiri yang tidak ada habisnya. Dan sialnya, Talia tidak bisa menolak karena ayahnya selalu membela si ibu tiri. Benar-benar licik ibu tiri itu. Ditambah dengan suara adik tirinya yang memekakkan telinga. Talia dibuat pusing jika berlama-lama di rumah. Jadi untuk merayakan hari kebebasannya dia menghabiskan waktu berkeliling kota, menikmati kesibukan para pemburu uang. 
Dia menyaksikan kesibukan yang terjadi di sepanjang jalan. Melihat banyak hal di luar sana menyadarkan Talia bahwa dia masih lebih beruntung dibandingkan orang-orang yang bekerja demi sesuap nasi. Talia menghentikan aktivitasnya saat sore tiba, lalu pulang ke rumah.
"Dari mana, Kamu?"
Suara berat dan berwibawa itu menyambut kepulangan Talia. Langkah pelan nan santai Talia terhenti. Tubuhnya terputar ke arah suara itu.
"Dari sekolah, Yah. Anaknya pakai seragam lengkap gini, masih ditanyain," jawab Talia.
"Jangan bohong sama Ayah, dari mana Kamu seharian ini? Jawab!"
Talia tidak berbohong. Dia memang pulang dari sekolah, tapi di beberapa jam setelahnya dia jalan-jalan. Dia tidak akan memberi tahu ayahnya itu, karena dia bisa dihukum lagi.
Sosok gagah dengan postur tubuh tinggi itu menatap sangar kearah Talia. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Kali ini Talia sudah tidak bisa menghindar. Talia tau, cepat atau lambat Damar, ayah Talia pasti akan tahu sikap Talia di sekolah dan Talia akan diadili. Ini semua gara-gara Pak Sakkar.
"Tadi Ayah ke sekolahmu. Kamu dapat scors lagi. Bisa jelaskan sendiri, kenapa Kamu bisa di-scors?"
Benar tebakan Talia, ayahnya sudah tahu. Satu hal yang mengejutkan adalah ayahnya datang ke sekolah. Apa itu berarti ayahnya masih peduli? Atau mungkin saja, Damar datang karena Pak Sakkar mengatakan sesuatu sehingga Damar akan malu jika tidak datang?
Talia tersenyum getir, "Sepertinya Ayah sudah tau, jadi apa lagi yang ingin Ayah dengar?"
Terdengar suara dengusan dari Damar, "Kenapa Kamu melakukan kekerasan di sekolah, hah? Dulu Ayah mendaftarkan kamu belajar bela diri bukan untuk menjadi sok jagoan," kata Ayah terlihat menahan amukannya.
Bukan Talia namanya jika tidak mengacaukan suasananya, "Itu kesalahannya sendiri, ayah. Talia hanya memberi peringatan dengan sedikit melukainya."
"Sedikit?" Damar menatap heran. "Gara-gara kamu mukulin anak itu, ayah harus membayar banyak untuk berdamai dengan orangtuanya." "Kenapa ayah harus membayar kompensasi?ayah nggak tau kesalahan Rio lebih besar dibanding yang Talia lakuin ke dia."
Damar terdiam. Di sekolah tadi, dia hanya mendengar hukuman Talia dan penyebab Talia mendapatkannya. Dia sangat malu dengan itu dan segera meminta maaf kepada ibu Rio juga membayar biaya perawatan Rio. Damar terlanjur marah dan tidak memikirkan pertanyaan alasan Talia melakukan kekerasan.
Dengan napas menderu Talia meninggikan suaranya, "Ayah nggak tau 'kan? Dia, Rio suka mempermainkan perempuan, mirip dengan Ayah. Yang memparmainkan Ma.."
Plak
Kalimat Talia terpotong oleh tamparan keras dari Damar. Talia jatuh terduduk. Tamparan ini tidak asing lagi di pipi Talia. Tidak akan ada lagi air mata setelah tamparan. Talia sudah kenal akan kekerasan Damar padanya. Talia tertawa hambar.
"Ayah tidak pernah mengajarimu bersikap kurang ajar seperti ini. Tamparan itu untuk menyadarkan di mana posisimu saat ini. Aku Ayahmu!"
Talia mendengus dan berdiri di depan ayahnya. Seolah-olah menantang Damar. "Iya, Ayah yang sudah hilang kesadarannya, Ayah yang hanya bisa mendidik anak dengan cara memukuli, memarahi, dan mengabaikan kebutuhan putrinya sendiri. Ayah yang bahkan tidak pernah membela putrinya. Ayah yang selalu melihat kesalahan putrinya daripada mencari kebenaran. Ayah yang bukannya membela putrinya malah menyalahkan. Ayah yang tidak pernah memeluk putrinya dan bertanya 'apakah aku baik-baik saja?' Ayah lihat aku." Talia meneriakkan semua kalimat yang sejak tadi ditahannya.
"Pernah nggak ayah berbicara lembut dengan Talia sejak wanita simpanan itu dan anaknya datang ke rumah? Nggak pernah Ayah. Talia selalu berakhir dimarahi dan dipukuli oleh ayah." Talia tidak tahan lagi dengan sesak didadanya yang hampir meledak karena tumpukan kemarahan. "Biar Talia katakan, Ayah tidak layak disebut orang tua bagi Talia."
Geram dengan kata-kata Talia yang tidak menghormatinya sebagai seorang ayah, Damar menjambak rambut Talia. Talia yang mendapatkan serangan itu hanya bisa meringis, menahan sakit dikepalanya sambil menahan tangan Damar. Rambut yang berada dikepalan tangan Damar, seperti akan tercabut hingga Talia akan botak saat itu.
"Ayah akan memberimu pelajaran karena tidak bersikap hormat pada orang tua,"
"Arghh, Ba-bagaimana Talia akan hormat? Ayah saja tidak pernah peduli pada Talia," kata Talia tidak mau kalah.
"Kamu benar-benar...," Damar tidak melanjutkan ucapannya, dia malah menyeret Talia keluar rumah. Dia membawa Talia ke bagasi. Tanpa bisa Talia tolak, tubuhnya didorong memasuki salah satu mobil disana. Damar duduk di kursi kemudi.
Talia tidak tau kemana Damar akan membawanya. Yang Talia tau, saat ini dunia dan keberuntungan tidak akan berpihak padanya. Damar sangat murka dan Talia puas akan itu. Sedikit banyaknya dia bisa melampiaskan kemarahannya hari ini.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang masih ramai. Padat kendaraan di sore hari sudah biasa terjadi di kota. Saling menyalip demi mendapat posisi terdepan agar cepat tiba di rumah sebelum petang menyapa. Jalanan kota selalu seperti ini. Secepat apapun mengendarai mobil, tetap saja lambat karena kota tidak pernah lepas dari kata macet. Seperti yang terjadi sekarang. mobil yang dikendarai Talia memperlambat geraknya. Talia memperhatikan jalanan dan mobil di hadapannya. Deretan mobil-mobil di depan menantikan macet segera berlalu. Sesekali Talia melirik Damar disampingnya yang masih terlihat marah. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Hanya terdengar suara klakson yang saling bersahutan.
"Jangan coba-coba keluar dari mobil." Damar dengan sinis menyindir Talia.
Talia mendengus. Dia tidak akan pernah mencoba melarikan diri. Dia tidak sepengecut itu. Di dalam hatinya, Talia sungguh menyayangi ayahnya. Tetapi, perlakuan dan cara ayahnya merespon tindakannya selalu di luar ekspektasinya. Karena itu, dia selalu marah setiap melihat ayahnya.
Tidak lama, mobil-mobil mulai bergerak pelan meninggalkan kemacetan. Mobil Damar berbelok kearah barat. Melihat itu, Talia sadar bahwa Damar akan membawanya ke rumah nenek. Talia jadi teringat mamanya. Dia selalu senang saat akan berkunjung ke rumah nenek bersama ayah dan ibunya. Tapi kali ini, bukannya senang, Talia malah merasa akan dibuang oleh ayahnya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!