Kata perubahan bisa menerpa siapapun, termasuk gadis manis berusia 17 tahun ini. Sejak kematian ibunya, kehidupannya benar-benar berbalik 180 derajat. Jika sebelumnya dia menjadi sosok pendiam, penurut, dan cerdas. Kini sifat itu tidak akan ditemukan lagi. Setelah keluar dari rumah, sosok lugunya akan bertransformasi menjadi monster. Seperti sekarang ini, adegan seorang anak laki-laki yang diinjak oleh gadis manis itu. Ah, terlalu sulit menyebut gadis manis, sebut namanya Talia.
"Stop, Li," lirih laki-laki itu.
Talia menyeringai dan menendang badan laki-laki itu lalu berjongkok sambil mencengkram kerah baju laki-laki itu, "Denger ya, Rio. Ini peringatan terakhir gue buat lo. Kalau sampai lo macam-macam lagi, habis lo," ucapnya lalu meninggalkan tubuh tidak berdaya itu.
Semua orang yang berada di lorong itu menatap tanpa kedip. Seolah menyaksikan aksi pembulian yang sangat menarik. Beberapa orang berseru dan menyoraki kemenangan Talia. Ada pula yang bergidik ngeri dengan tindakan Talia yang sangat berani dan kasar. Pasalnya Rio adalah berandalan sekolah. Talia berjalan menerobos kerumunan. Di ujung lorong, sudah ada Guru BK yang berkacak pinggang, menantikan kehadirannya. Talia tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ikut Bapak ke ruang BK," ucap Guru BK berkepala botak bernama Pak Sakkar. Talia hanya mengangguk dan mengekor dibelakang Pak Sakkar. Bagi semua siswa, menghadapi Pak Sakkar akan sangat menakutkan. Tapi beda dengan Talia yang menganggap ruang BK sebagai tempat istirahatnya. Bagaimana tidak, setiap jam istirahat, dia akan berada di ruangan ini, menikmati ocehan yang mirip kereta api.
Terdengar helaan napas panjang dari mulut Pak Sakkar setelah duduk di kursi pengadilannya. Tanpa disuruh, Talia sudah duduk dihadapannya sambil memainkan memutar-mutar kursinya.
"Kenapa Kamu memukuli Rio?" tanya Pak Sakkar masih dalam mode tenang.
"Nggak tau Pak. Tangan Saya gatal pengen mukulin orang. Tiba-tiba Rio jail, yaudah Saya lampiaskan aja ke dia," jawab Talia.
"Jawab dengan benar Talia!"
"Itu udah bener, Pak. Atau Bapak nggak tau makna jail bagi seorang cowo?" kata Talia sambil mengangkat jari telunjuk dan jari manisnya lalu menggerak-gerakkannya.
"Berhenti bertele-tele. Bapak tidak mengerti bahasa anehmu itu," kata Pak Sakkar mengibas-ngibas tangannya di udara.
"Makanya bapak jangan cuma sibuk urusin kesalahan siswa, sesekali belajar bahasa Saya. Mau diajarin kapan Pak?"
"Talia! Diam!" Pak Sakkar ingin mengacak-acak wajah Talia, "Apa kamu tau dampak kelakuanmu?"
"Seperti biasa, dapat hukuman atau scors, biasa aja itu Pak."
"Bapak sudah bosan hadapi Kamu, Talia. Hukuman tidak mempan untukmu, discors pun malah tambah kacau, maka dari itu, Bapak memutuskan untuk memanggil ayahmu"
Mendengar itu, Talia seketika menegang di tempatnya. Jika ayahnya tau kelakuannya di sekolah akan sangat bahaya. Dia tidak akan bisa menebak, apa yang akan ayahnya lakukan padanya? Sejak ibunya meninggal, Talia seperti menemukan kepribadian baru ayahnya. Ayahnya sangat berbeda sewaktu keluarganya masih lengkap. Entah karena kasih sayangnya sudah berpindah ke ibu tiri dan adik tirinya. Talia selalu kesepian sejak ibunya tiada.
"Pak, kenapa malah bawa-bawa ayah sih? Selesaikan aja urusan ini dengan Saya. Ayah Saya sibuk, pasti nggak bisa datang," kata Talia yang berusaha menenangkan dirinya.
Pak Sakkar tersenyum. Akhirnya dia menemukan orang yang tepat yang bisa menangani Talia.
"Ayah Kamu memang harus dipanggil secara khusus. Karena surat-surat yang Bapak titipkan ke Kamu tidak pernah sampai ke beliau. Maka dari itu, Bapak datang secara langsung ke rumahmu untuk memberikan surat panggilan."
"Aduh Pak. Ngapain sih pake ke rumah segala?" kata Talia berdiri daru duduknya. Talia berjalan mondar-mandir di ruang BK. Dalam hati dia merapalkan doa agar ayahnya mengalami halangan agar tidak bisa hadir.
Suara ketukan di pintu membuat Talia menghentikan langkahnya. Dia menoleh kearah pintu dan mendapati seseorang berdiri disana. Seketika napas Talia tercekat. Sepertinya hidupnya akan benar-benar berakhir.
***
Talia bernapas lega karena bukan ayahnya yang datang melainkan guru bertubuh bak gitar spayol yang berdiri anggun di ambang pintu dengan tatapan lembutnya.
"Silahkan masuk Bu Dona, ada perlu apa ya?" tanya Pak Sakkar pada orang yang mengetuk pintu tadi. Seketika kemarahan dan kesangaran Pak Sakkar berubah menjadi kelembutan dan suaranya dibuat-buat agar terdengar ramah.
Talia yang melihat itu memutar bola matanya. Beginikah semua sikap laki-laki saat melihat perempuan cantik? Talia akui, Bu Dona memang sangat cantik dengan tubuhnya yang indah, wajahnya lonjong dengan rambut panjang, tidak lupa senyumnya yang menciptakan lesung pipi yang mampu menghipnotis laki-laki manapun termasuk Pak Sakkar.
"Begini pak, orang tua Rio marah-marah di ruang kepala sekolah. Dia tidak terima anaknya babak belur gitu," kata Bu Dona.
"Benarkah?" ucap Pak Sakkar yang membuat Talia ingin muntah mendengar suara yang dibuat-buatnya. Pak Sakkar tidak pernah cocok bersikap lembut, melihat wajahnya saja sudah buat orang bergidik. Setelah melihat anggukan Bu Dona, tatapan Pak Sakkar beralih ke Talia, "lihat dampak kelakuanmu Talia. Reputasi sekolah kita akan buruk. Ini semua karena Kamu."
"Pak, Saya nggak salah ya. Yang salah itu si Rio. Jadi cowok kok******banget. Saya jadi perempuan nggak mungkin diam aja liat teman Saya dinodai oleh cowok******macam Rio," ungkap Talia. Jika tadinya dia masih berbaik hati ingin menjaga image Rio, kini tidak lagi. Enak saja, Rio yang bersalah malah berdampak ke Talia.
"Benar begitu?" tanya Pak Sakkar dan Bu Dona bersamaan.
"Benarlah Pak. Emang kapan Saya bohong?" kata Talia dengan tatapan menantang.
"Setiap saat," jawab Pak Sakkar yang sukses membuat Talia menganga. Sedangkan Bu Dona sudah terkekeh.
"Sekarang Kamu ikut menemui orang tua Rio. Kamu harus tanggung jawab atas perbuatanmu." Pak Sakkar melangkah keluar ruangannya yang lebih dulu melempar senyum pada Bu Dona.
"Ibu harap Kamu bisa jaga sikap dihadapan orang tua Rio. Ibu akan coba bantu jelaskan kalau Kamu tidak bersalah. Nanti Ibu juga akan panggil pacar Rio untuk memberikan keterangan," kata Bu Dona sebelum ikut meninggalkan ruangan Pak Sakkar.
Talia mengangguk samar. Meskipun dia selalu berbuat onar, tapi ketika berhadapan dengan Bu Dona yang merupakan wali kelasnya, Talia tetap bersikap hormat. Talia juga memilih-milih kepada siapa dan apa yang akan ia lakukan untuk mengisi kehampaan hidupnya.
Bersambung...