Siapa yang Menghamili Istriku?
Part 7
"Oh, kirain ada hal penting apa. Benar kan kamu gak nyembunyiin sesuatu dariku? Bilang saja gak usah takut, Dek."
Aku menggeleng perlahan dan tersenyum. Sungguh aku tak ingin Ryan bertindak nekat pada kakaknya sendiri. Aku takut, ancamannya jadi nyata. Tapi, aku juga tengah terancam. Bagaimana caranya aku keluar dari masalah ini?
Keesokan harinya, Mas Fadli sudah diperbolehkan pulang. Sementara ini aku aman.
Hari-hari kulalui seperti biasa. Sebagai istri yang melayani suami. Sebisa mungkin aku melupakan kejadian kelam seperti kemarin. Ya, selagi ada Mas Fadli, dia pasti akan melindungiku.
***
Tiga minggu kulalui dengan damai, Mas Fadli pun sudah bekerja seperti biasa.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu diketuk. Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Siapa yang datang ya? Apa Mas Fadli pulang saat jam istirahat kantor?
Aku membukakan pintu. "Mas, kamu pu--"
Aku terkejut saat melihat laki-laki di depanku ternyata Ryan, bukan Mas Fadli. Seketika tubuhku gemetaran.
"Halo sayang, gimana kabarmu? Apa kamu kangen aku?" sapanya sambil tersenyum.
Aku ingin menutup pintu tapi dia langsung menahannya hingga tubuhku terhuyung ke belakang.
"Apa kamu tidak mau menemuiku, Sayang? Padahal aku kangen sekali padamu. Tiga minggu kita tidak ketemu. Harusnya dua Minggu tapi justru ada pekerjaan tambahan. Ah, aku muak sekali dengan bosku itu, aku jadi tak bisa melihatmu, padahal aku sangat merindukanmu, Sayang."
"Kamu mau apa kesini, Mas? Pergilah atau aku, aku--"
Aku terperanjat saat memandang ke halaman depan ibu mertuaku datang. Syukurlah kali ini ada ibu mertua. Aku tidak tahu apa jadinya nanti kalau tak ada beliau.
"Ryan? Sedang apa kamu disini?" tegur ibu.
Ryan menoleh, ia terlihat salah tingkah.
"Tidak apa-apa, Bu. Cuma mau ngasih oleh-oleh buat Mbak Mayang."
"Kamu belum pulang ke rumah malah mampir disini?"
Ryan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kan rumah Mas Fadli lebih dekat dari jalan raya, makanya aku mampir kesini dulu. Baru nanti pulang ke rumah. Ibu masak apa di rumah?" Ryan mengalihkan pembicaraannya.
"Oh ya sudah kamu pulang saja. Nina sama Aina yang masak tadi."
"Ya sudah Bu, aku pulang. Mbak, aku permisi pulang dulu ya. Oh iya ini oleh-olehnya malah lupa,"sahutnya kemudian sembari memberikan tas belanja entah apa isinya. Diapun berlalu begitu saja seolah tak ada beban.
"Ibu, silahkan masuk. Ada apa, Bu?"
"Ibu cuma mau ngajak kamu belanja bahan-bahan kue, mau gak, Nak?"
"Oh iya, tentu saja Bu."
"Nanti bantu-bantu ibu juga bikin kue bolu di rumah ya?"
"Iya, Bu."
Siang itu aku dan ibu mertua pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan kue. Ibu memang paling suka mengajakku ke pasar untuk satu hal ini.
Ditengah jalan tanpa sengaja aku berpapasan dengan seseorang.
"Mayang?" sapanya.
"Lho, Mas Ardi?"
"Kamu apa kabar, sama siapa?"
"Alhamdulillah, baik mas. Ini sama ibu mertuaku. Oh iya Bu, kenalin ini Mas Ardi, dulu dia temanku waktu sekolah."
"Saya Ardi, Bu. Teman Mayang dulu waktu sekolah."
Ibu tersenyum dan menjabat uluran tangannya.
"Kapan-kapan kalau ada waktu, kita ngobrol ngobrol lagi ya. Saya permisi dulu Mayang, ibu, masih ada perlu."
Aku mengangguk, begitu pula dengan ibu.
***
Sampai di rumah ibu, aku langsung berkutat di dapur dengan bahan-bahan kue. Aku sampai tidak sadar kalau Ryan memperhatikanku sejak tadi
"Selain cantik, kamu juga pintar memasak ya, benar-benar istri idaman."
Aku terdiam, berusaha tak peduli dengan yang dia ucapkan. Untung saja, adonan kue bolu sudah kelar dibuat, tinggal dimasukkan ke dalam oven.
Saat aku tengah mencuci wadah yang kotor, lagi-lagi dia merecokiku.
"Sayang, jadilah istriku. Aku akan memperlakukanmu dengan baik," bisiknya yang membuatku bergidik.
"Ryan, sedang apa kamu disitu? Jangan ganggu mbakmu."
"Enggak Bu, aku hanya cuci tangan sebentar saja.
Sejak hari itu Ryan jadi semakin nekat, setiap hari dikala jam istirahat siang, dia selalu datang, nyelonong masuk begitu saja.
"Huuek ... Huuek ..."
Siang itu perutku terasa begitu mual dan ingin muntah. Setelah pertengkaranku tadi dengan Mas Fadli yang salah paham terhadapku. Beruntung dia tak berlarut-larut memarahiku, bahkan dia bersikap perhatian. Mas Fadli tengah pergi membeli makan siang.
"Sayang, apa kamu sedang hamil?" tanyanya menghenyakkanku. Lagi-lagi dia datang tiba-tiba.
"Apa itu anakku?" tanyanya lagi
"Jangan ngaco kamu! Ini anak Mas Fadli!" tukasku. Enak sekali dia berbicara sembarangan seperti itu.
"Oh ya? Bukankah kita melakukannya disaat masa subur kamu?"
"Diam! Cukup kamu merendahkan aku, Mas! Akan kuungkap semua kelakuan bejatmu terhadap Mas Fadli dan ibu!"
"Yakin? Apa kau sudah siap untuk kehilangannya?"
"Apa maksudmu? Kau ingin membunuhnya?"
"Bukan aku yang membunuhnya, tapi anak buahku. Kau tahu? Aku punya beberapa anak buah preman yang siap sedia dan loyal dengan perintahku."
Aku terdiam, ancamannya seolah menjadi nyata apalagi saat ia mulai melakukan panggilan telepon dengan seseorang dan menyuruh untuk mengikuti Mas Fadli.
"Bagaimana? Apa kamu gak sayang dengan nyawa suamimu?"
Ryan langsung memeluk dan menciumi wajahku dengan beringas. Tentu saja aku meronta, namun tenaganya begitu besar.
"Pergii ...! Tolong jangan ganggu aku, Mas! Kumohon lepaskan aku!" teriakku. disertai isak tangis.
Bukannya berhenti, Ryan justru semakin menjadi.
"Ampun, mas! Tolong lepaskan aku!"
"Berhentilah berhubungan dengan laki-laki lain, termasuk laki-laki yang kau temui di jalan tadi. Siapa namanya? Ardi ya? Akan kucari tahu dia lebih jauh. Kalau dia salah satu rivalku, aku takkan segan-segan menghabisinya."
Keningku mengernyit, kenapa dia tahu semuanya tentangku, apa dia mengikutiku?
*
Tadi pagi, setelah aku periksa kandungan ke Bu Bidan, tanpa sengaja aku bertemu dengan Ardi, teman sekolahku dulu. Ia bilang, ada seseorang yang ingin sekali bertemu denganku. Akupun menyetujui ajakannya. Ardi membawaku ke sebuah rumah klasik peninggalan Belanda. Masuk ke dalam, berjumpa dengan seorang wanita renta yang tengah duduk di kursi roda.
"Nenek? Nenek Sekar?" pekikku, aku langsung menghambur memeluk tubuhnya dengan erat. Tak percaya saat ini aku bisa melihatnya lagi. Dia nenekku yang merawatku sejak kecil sebelum akhirnya aku dimasukkan ke panti asuhan oleh paman dan bibi. Saat itu usiaku masih sepuluh tahun. Masih sangat kecil untuk mengetahui situasi yang terjadi. Ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan, lalu paman dan bibi yang mengambil alih semuanya. Dan entahlah aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mereka membawa nenek pergi, sedangkan aku dimasukkan ke panti asuhan.
Nenek Sekar tersenyum melihatku, netranya tampak berkaca-kaca, tapi rupanya dia sudah tak mampu bicara.
"Ardi, bagaimana kau bisa tahu kalau dia nenekku? Bagaimana kau bisa bersama dengannya?"
"Banyak hal yang terjadi, nenekmu berusaha mencarimu sejak dulu. Paman dan bibimu berlaku kasar padanya. Kami dipertemukan tanpa sengaja. Dan nenek menceritakan semuanya tentangmu. Hmmm, mungkin aku akan menceritakannya lain kali saja. Tidak habis kalau diceritakan dalam sehari. Dan selama dua tahun terakhir ini, aku tinggal bersama nenekmu. Kamu sering-seringlah datang kemari agar nenekmu senang."
Aku mengangguk dan akhirnya pulang ke rumah mendapati mas Fadli yang sedang marah dan salah paham terhadapku.
*
"Aku sungguh tidak suka kau berdekatan dengan laki-laki lain. Dan ingat satu hal ini sayang, aku akan berusaha keras memisahkanmu dengan Mas Fadli!" bisik Ryan membuyarkan lamunanku.
"Cukup mas! Pergilah dari sini!"
Tok tok tok
Sura ketukan pintu dari luar mengagetkan kami.
"Mayang, apa yang terjadi? Ada siapa di dalam?"
"Mayang?! Buka pintunya!"
"Mayaaang?!"
Teriak suara dari luar. Syukurlah Mas Fadli datang di waktu yang tepat. Kulihat Ryan langsung melesat pergi dari pintu belakang.
Kubuka pintu dan langsung menghambur memeluknya.
"Kamu kenapa? Ada apa? Tadi ada siapa? Apa ada orang lain yang datang kesini?"