Malam yang terkutuk
Siapa Yang Menghamili Istriku?
Part 5

POV Mayang

Hujan begitu deras mengguyur malam ini, belum lagi gemuruh guntur menggelegar. Diluar terlihat petir saling sahut-sahutan.

Dengan perasaan gelisah aku menunggu kepulangan suamiku. Sudah hampir jam sebelas malam Mas Fadli belum juga pulang. Entah sedang ada dimana dia? Lembur kerja kah? Tapi kenapa sampai semalam ini? Aku hanya berharap dia tetap baik-baik saja.

Saat cahaya petir berpendar, saat itu juga listrik mati. Dan semuanya menjadi gelap. Aku sendirian di rumah ini, takut sudah pasti. Namun rasa takutku bercampur dengan was-was yang merajai hati. Mengambil lilin dan menyalakannya sejenak.

Tok tok tok 

Ditengah kegelapan, suara ketukan pintu terdengar. Dengan hati yang berdebar-debar, aku beranjak membuka pintu dengan penerangan seadanya. Lampu center dari ponsel. Berharap yang datang adalah Mas Fadli. Dari sejak sore tadi ponsel suamiku itu tak bisa dihubungi.

Ryan? Sosok itu berdiri diambang pintu.

"Mbak, aku numpang berteduh dulu disini," ucapnya dengan baju yang basah kuyup. 

"Tapi, Mas Fadli juga belum pulang."

"Aku sebentar saja disini mbak," sahut Ryan sambil nyelonong masuk begitu saja.

Aroma alkohol menyeruak diantara embusan nafasnya. Aku gamang. Mau kuusir tapi keadaan diluar pun masih hujan dan gelap gulita. Lagi pula aku tak enak hati, dia adalah adik iparku. Kalau Mas Fadli tahu aku tak memperlakukannya dengan baik, ia bisa marah.

Aku berlalu ke dalam, mengambilkan handuk dan baju  ganti untuknya. 

"Ini mas, ganti dulu bajunya, baju mas kan basah."

Aku tetap memanggilnya dengan sebutan  Mas, karena umurnya jauh diatasku. Ryan hanya bergeming, sambil wajahnya menatap ke arahku dengan tatapan entah. Aku sampai bergidik ngeri dibuatnya.

Gegas ke dapur, membuatkan teh hangat untuknya. Setelah kehujanan tadi dia pasti kedinginan. Tak pernah ada rasa curiga apapun terhadapnya.

Tiba-tiba saja sebuah tangan melingkar di perutku, aku sampai terkejut dibuatnya. Detik selanjutnya deru nafasnya menyapu telingaku.

Aku berbalik dan mendorong tubuhnya menjauh.

"Apa-apaan kau ini, Mas! Sungguh tidak sopan! Aku ini kakak iparmu! Apa kamu mau kulaporkan ketidaksopananmu ini pada Mas Fadli?" tukasku dengan perasaan takut setengah mati.

Ryan yang ada di hadapanku ini pasti tengah mabuk karena bau alkohol itu tak juga lenyap darinya.

Bukannya takut dengan ancamanku, Ryan justru kembali mendekat, ia tertawa pelan. Aku mundur beberapa langkah hingga tubuhku terpentok dinding.

"Aku menyukaimu, Mayang. Sangat menyukaimu," racaunya tak jelas, gerakannya semakin membuatku takut. "Aku ingin kau jadi milikku Mayang, untuk malam ini saja, mumpung Mas Fadli gak ada di rumah."

Plaaakk ....!

Tangan ini melayang menampar wajahnya. Sungguh tidak sopan dia berkata seperti itu pada kakak iparnya sendiri. 

"Keluar kamu dari sini, Mas! Keluarrrr!" pekikku. 

"Kamu tidak bisa mengusirku, Mayang. Malam ini adalah milik kita berdua. Sudah lama aku menyukaimu, sudah lama  aku menginginkanmu tapi kenapa kamu justru memilih Mas Fadli?"

Deg! Sungguh aku tak tahu apa maksudnya. Aku berlari ke kamar dan bergegas mengunci pintu. Namun sayang, seperti kesetanan, Ryan berhasil mendobrak pintu itu. Langsung membekap dan mengunci tubuhku dengan gerakan tubuhnya.

"Mas, tolong mas, jangan ... Aku mohon mas ..." jeritku dalam isak tangis. Berulang kali aku meronta, namun seakan tak berdaya. Ryan makin beringas memperlakukanku. Entah dapat kekuatan dari mana hingga tenaganya begitu besar.

"Mas, jangaaan mas ...!"

Namun Ryan sudah tak peduli lagi dengan teriakanku. Bak orang kesetanan ia menggagahiku tanpa ampun. Setelah puas dengan nafsunya Ryan justru tertidur diatas ranjangku. Seketika aku merasa jijik pada tubuhku sendiri. Aku benar-benar merasa terhina. Di kamarku sendiri, di tempatku memadu kasih dengan Mas Fadli, aku dinodai oleh adiknya. 

Hatiku perih menahan nelangsa tak berperi, badan terasa remuk redam menerima perlakuan tak senonoh dari adik iparku sendiri. Air mata ini lolos begitu saja membasahi pipi. Hancur, aku benar-benar hancur. Dada seolah begitu sesak menerima kenyataan yang ada. Kenapa kejadian seperti ini menimpaku?

Sebagai istri, sepertinya sudah tak layak lagi. Aku telah ternoda, bagaimana aku mengatakan ini pada Mas Fadli? Bahwa Ryan telah menodaiku?

Guyuran air shower tak mampu membendung tangisanku. Badanku basah namun tak bisa membersihkan jejak sentuhan kasar Ryan di tubuhku. 

"Aaaarrrgghh!!"

Aku makin tergugu, entah sudah berapa lama aku di dalam kamar mandi. Hatiku benar-benar hancur. Sangat hancur. Menyesali nasibku sendiri, seharusnya tadi aku tak perlu membukakan pintu untuknya. Mendadak beribu penyesalan menghantui. Ia datang silih berganti dengan kebodohanku.

Sekian lama meratap, namun tetap saja kejadian tak bisa dikembalikan seperti semula. Aku tetaplah ternoda. 

Tetesan air sudah tak kurasakan lagi, aku terlampau lelah. Mataku terpejam sambil memeluk lutut. Baju dan badan yang basah kuyup tak kupedulikan lagi. 

"Mayang, buka pintunya!"

Mataku terbuka saat mendengar panggilan itu. Kepalaku terasa begitu pusing dengan pandanganku mengabur, tak bisa melihat dengan jelas.

Dengan badan gemetar dan kaki yang seolah mati rasa, aku bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang ada. 

Aku membuka pintu kamar mandi. Sedetik kemudian, Ryan kembali memelukku dengan erat. Tenagaku sudah habis, semua anggota tubuhku tak punya kekuatan. Hingga aku tak bisa mengelak apa yang dilakukan Ryan sekarang. Entah kenapa dengan lelaki ini, tubuhku seolah terpaku.

Ia menciumi wajah dan bibirku berkali-kali. 

"Maaf, aku mencintaimu, sudah sejak lama. Aku sangat mencintaimu," desisnya lirih.

Saat ini hatiku sedang rapuh, ada yang tega menghancurkannya.

"Mayang, gantilah bajumu. Jangan seperti ini, nanti kamu masuk angin," tukasnya dengan lembut. Kenapa dia mendadak jadi seperti ini? Bukankah tadi dia sangat kasar dan tak berperasaan?

Ia mengurai pelukannya lalu mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.

"Maaf, tadi aku khilaf. Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Maaf sudah bersikap kasar padamu."

Aku bergeming. Nasi sudah menjadi bubur, bagaimana caranya meneruskan hidupku dalam keadaan terhina?

Ia masih memandangku lekat, sangat lekat. Entah iblis apa yang sudah merasukinya. Kenapa dia begitu tega padaku?

"Jangan katakan apapun pada Mas Fadli tentang kejadian ini," ucapnya memecah keheningan.

Dasar pecundang! Apa dia takut? Tiba-tiba saja dia mengeluarkan belati, entah dari mana asalnya.

"Maafkan aku Mayang, rasa cintaku ini sudah membuatku gila dan tak waras."

Hening.

"Temuilah suamimu besok di rumah sakit," ujarnya begitu tenang sambil melihat ke arah belati itu. Apa dia akan membunuhku? Ya, bahkan itu lebih baik dari pada aku harus hidup menanggung dosa dan nestafa.

"Suamimu di tengah jalan mengalami kecelakaan, tapi tenanglah dia sudah ditangani pihak rumah sakit dengan baik. Kau gak usah khawatir. Besok datanglah menjenguk biar aku yang antar."

Aku memandangnya tajam, sorot mataku penuh kebencian. 

"Jadi kau mencelakai kakakmu sendiri?" Aku mulai buka suara dengan nada bergetar.

Ryan tertawa kecil seolah mengiyakan tuduhanku. Dasar jahat.

"Maaf sayang, itu kulakukan, karena jatuh cinta padamu membuatku kehilangan akal."

Komentar

Login untuk melihat komentar!