Siapa yang menghamili istriku?
Part 4
"Mayang?!"
Aku membopong tubuhnya ke atas ranjang. Apakah Mayang kecapekan hingga dia pingsan?
"Mayang, bangunlah," ucapku dengan lembut sembari terus mengusap pipinya yang badah. Setitik genangan air masih tersisa di sudut matanya.
Saat melihat Mayang menangis, justru hal itu membuatku makin terluka. Hatiku terasa begitu perih menahan gejolak amarah di dada. Astaghfirullah hal'adzim, Ya Allah, aku hampir saja bersikap kasar padanya padahal dia tengah hamil muda.
Arrggh! Kepalaku benar-benar terasa penat. Berulang kali kupikir namun belum ada jawabnya.
Tak berapa lama, Mayang terbangun. Matanya mengerjap pelan, ia memegangi kepalanya sambil meringis kesakitan.
Melihatnya begini membuat amarahku menguap begitu saja. Apa aku harus tutup mata mengenai hal ini? Dan tidak membiarkan satu orangpun tahu mengenai masalahku?
"Mas--" ucapnya lirih. Dia berusaha bangkit dari tidurnya. "Mas, aku minta maaf sudah membuatmu marah! Tapi aku tidak pernah mengkhianatimu, Mas. Aku, aku, aku ...."
Terharu, aku langsung memeluk tubuh istriku, mendekapnya erat. Menciumi puncak kepalanya. Mungkin saja rumah sakit itu salah mendiagnosa. Ya! Mungkin saja hasil test itu salah dan tertukar. Aku percaya pada Mayang, tak mungkin dia berkhianat. Kami saling mencintai, tak mungkin kan bila menyakiti?
"Sudah, maafkan mas juga ya. Lupakan saja hal itu. Kamu baik-baik saja kan?"
Mayang mengangguk pelan, mencoba tersenyum meskipun terasa hambar. Akhirnya aku luluh, tak ingin mengungkit masalah ini lagi. Biarkan rahasia ini kukubur dalam-dalam. Aku tak ingin kehilangan Mayang.
Aku meraih buku berwarna pink yang ia bawa dari Bu Bidan. Kulihat tulisan Bu Bidan yang menerangkan usia kandungan Mayang sudah menginjak 6 minggu.
"Jaga kandungan ini baik-baik ya," ucapku sembari tersenyum meskipun masih ada secuil keraguan.
Mayang hanya memandangku dengan tatapan entah. Wajahnya terlihat begitu pias. Namun ia segera bangkit berdiri.
"Kamu mau kemana?"
"Masak, Mas. Kan sebentar lagi jam makan siang."
"Tidak usah masak, kamu istirahat saja. Aku beli makanan diluar ya?"
Sekali lagi dia mengangguk. Ekspresinya begitu datar. Aku membimbingnya agar dia duduk kembali.
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah mas saja."
Aku tersenyum lalu mengusap kepalanya pelan. Apakah aku keterlaluan karena sudah membentaknya? Matanya masih terlihat merah karena sisa-sisa tangisan tadi.
Kulajukan motorku untuk membeli makanan diluar. Ayam bakar sambal tomat, tujuanku. Mayang pasti suka.
Sudah satu jam aku meninggalkan Mayang di rumah. Mendadak perasaanku jadi khawatir.
Tapi apalah daya saat perjalanan pulang ke rumah, ban motor jadi kempes, sepertinya bocor karena tak sengaja menginjak paku. Aku menuntun sepeda motor sampai ke bengkel tambal ban terdekat.
Setelah selesai, aku segera pulang. Mayang pasti menungguku sedari tadi.
Motor kuparkirkan di halaman. Aku terperanjat kaget saat mendengar teriakan Mayang.
"Pergii ...! Tolong jangan ganggu aku, Mas! Kumohon lepaskan aku!" teriaknya disertai isak tangis.
"Ampun, mas! Tolong lepaskan aku!"
Ada siapa di dalam sampai Mayang berteriak seperti itu?
Klek, klek, aku berusaha membuka pintu namun terkunci dari dalam.
Tok, tok, tok!
Seketika hening.
"Mayang, apa yang terjadi? Ada siapa di dalam?"
"Mayang?! Buka pintunya!" teriakku namun yang terdengar hanya isak tangis.
"Mayaaang?!"
Tak berapa lama pintu terbuka. Wajah Mayang begitu sembab dengan penampilan yang tak karuan.
"Kamu kenapa?"
Ia langsung menghambur memelukku seperti orang yang tengah ketakutan.
"Ada apa?" tanyaku lagi, namun ia urung melepaskan pelukannya. Tubuhnya terguncang.
"Tadi ada siapa? Apa ada orang lain yang datang kesini?" tanyaku lagi penasaran.
Dia hanya menggeleng pelan. Apa ada yang dia sembunyikan dariku?
"Duduklah dulu. Tenangkan hatimu."
Aku memapahnya duduk di sofa. Berkali-kali ia menyeka air mata yang tak berhenti turun. Aku jadi iba melihatnya.
Setelah sedikit tenang, aku mengajaknya untuk makan bersama.
"Mas beli makanan kesukaanmu, ayo dimakan dulu."
Mayang mengangguk dan mengikutiju duduk di meja makan.
"Tadi kenapa? Apa kamu gak mau cerita sama suamimu ini?"
"Gak apa-apa, Mas."
"Apa ada orang yang masuk ke rumah?" tanyaku lagi penuh selidik. Lagi-lagi Mayang menggeleng, menyisakan berjuta pertanyaan di benakku.
"Terus kenapa tadi teriak-teriak seperti orang ketakutan?" Aku mendesaknya.
"Tak apa, Mas. Aku hanya mimpi buruk."
Mimpi buruk di siang bolong begini?
"Mimpi?"
Mayang hanya mengangguk pelan, enggan menjawab, sikapnya seolah-olah menghindari pertanyaanku.
Kuhela nafas dalam-dalam. Mungkin Mayang memang sedang banyak pikiran. Aku tak boleh makin membebaninya lagi.
Aku benar-benar melihat perubahan pada istriku. Dia sedikit berbeda, sejak satu bulanan yang lalu. Sering bengong sendiri, dan tak jarang menangis. Biarpun saat bersamaku dia berusaha memasang senyuman termanisnya.
***
Tok ... Tok ... Tok ...
Sebuah ketukan pintu begitu nyaring terdengar. Kulirik jam yang bertengger di dinding waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.
Beranjak berdiri dari bibir ranjang, namun Mayang menahan tanganku. Aku melirik ke arahnya, ia sudah membukakan mata lalu menggeleng perlahan.
"Sudah tenang saja. Kamu disini saja, gak usah ikut keluar."
Mayang mengangguk.
Kubuka pintu perlahan. Ryan tengah berdiri di depan pintu sambil menenteng sebuah kresek.
"Ryan? Ada apa malam-malam datang kemari?"
Matanya melihat ke dalam seolah mencari sesuatu.
"Eh mas, Mbak Mayangnya--"
"Udah tidur, ada apa?" tanyaku.
"Ini Mas, aku bawain pesanan Mbak Mayang, kemarin katanya mau mangga muda," sahutnya sembari memberikan bungkusan kresek itu padaku.
Mayang minta mangga muda? Tapi kenapa gak minta tolong padaku justru ke adikku?
"Oh ya? Kapan? Kok dia gak bilang padaku ya?"
"Kemarin mas, pas mau bikin kejutan ulang tahun untukmu. Siangnya Mbak Mayang datang ke rumah ibu dan minta mangga muda. Sampaikan maafku pada Mbak Mayang, soalnya baru ngasih sekarang."
"Iya, terima kasih. Mau masuk dulu?"
"Enggak usah Mas, takut ganggu waktu istirahat kalian. Aku cuma mau nganterin ini aja. Aku permisi pulang, Mas."
"Iya terima kasih. Salam buat ibu ya."
"Oke."
Setelah Ryan hilang dari pandanganku, segera kututup kembali pintu dan menguncinya.
"Siapa yang datang, Mas?" tanya Mayang.
"Ryan. Dia ngasih ini buat kamu."
Mayang mengerutkan kening saat aku menyerahkan bungkusan kresek itu padanya.
"Lain kali langsung ngomong sama mas kalau kamu pengin sesuatu. Jangan ngrepotin orang lain, ya walaupun Ryan adikku, tetap saja--"
Ucapanku mengambang di udara saat melihat ekspresi Mayang yang tak biasa.
"Mayang, kamu kenapa?"
.
.
.
Sebenarnya apa yang terjadi pada Mayang ya? Akan dikupas bab selanjutnya. Pantengin terus ya!