Siapa Laki-laki itu?
Siapa Yang Menghamili Istriku?

Part 3

"Mas, i-ini punya siapa?" tanya Mayang, wajahnya pias seolah ketakutan saat melihat belati diatas meja.

"Dari Ryan," jawabku dengan malas. 

Vonis mandul ditengah kabar kehamilan istriku benar-benar membuatku shock, belum lagi, si Ryan yang menghadiahi belati itu. Untuk apa tujuannya?

Kupandangi dengan lekat wajah Mayang, ia tampak gelisah dan tak tenang.

"Kenapa?" tanyaku

"Mas, maaf ini kan benda tajam. Kalau bi--"

"Kenapa? Kamu takut? Mungkin suatu saat ini berguna untuk ..."

Tiba-tiba Mayang mengambil belati itu. Ia bangkit dengan langkah tergesa. 

Aku hanya menggelengkan kepala. Apa yang harus kulakukan untuk mengetahui kebenaran tentang anak siapa yang dikandung Mayang.

***

Pagi-pagi sekali Mayang sudah menyiapkan sarapan untukku. Dandanannya pun terlihat lebih cantik dari biasanya. Apakah dia akan pergi?

"Mas, sarapannya udah matang, kita makan dulu yuk," ucapnya dengan penuh perhatian.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku bergegas ke meja makan. Menikmati suap demi suap makanan yang dia masak.

"Mas, nanti antarkan aku periksa ke Bu bidan ya, sebentar aja," pintanya.

Aku hanya memandangnya sekilas lalu melanjutkan makan.

"Kamu pergi sendiri saja, aku lagi banyak pekerjaan," jawabku. 

Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya. Namun ia tak mampu membantahku.

"Aku berangkat," kataku dengan nada datar. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Pikiranku masih kalut. Sudah sampai setengah perjalanan aku melupakan sesuatu. Ponselku tertinggal di rumah. Hal itu membuatku harus balik lagi ke rumah.

Ditengah perjalanan dengan samar kulihat Mayang berboncengan motor dengan seorang pria. 

Hah, bukankah itu Mayang? Mau kemana dia pagi-pagi begini? Lalu siapa laki-laki itu? Jadi benar dia selingkuh dariku? Jadi ini yang dia lakukan di belakangku? Dia bilang ingin pergi periksa ke Bu bidan, nyatanya dia pergi dengan seorang pria. Dasar wanita murahan! Kenapa setelah bertahun-tahun aku baru tahu kalau tingkah istriku seperti ini selama aku di tinggal bekerja. Biar aku ikuti saja kemana mereka pergi.

Aku sudah tidak fokus untuk berangkat kerja, melihat istriku seperti ini. Aku mengikuti mereka namun tetap berusaha agar mereka tak mencurigaiku. Jaga jarak aman.

Tak lama motor itu berbelok ke sebuah rumah. Rumah klasik dengan bangunan  dan desain khas Belanda. Jendela kayu, cat tembok berwarna putih tulang, halaman yang luas, di sisi kanan terdapat pohon mangga yang rindang. Aku hanya bisa mengawasi mereka dari balik pagar halaman. 

Lelaki itu dan Mayang turun dari motor, mereka berjalan beriringan, saling berbincang dan sangat akrab. Sesekali Mayang tersenyum, senyum yang biasa ia tunjukkan padaku. Mereka memasuki rumah itu bersama-sama.

Deg ... Deg ... Deg ...

Jantungku kembali berdetak sangat cepat. Emosiku kembali membuncah. Gigiku bergemeletuk, rahang mengeras. Ingin sekali kutinju lelaki itu. Berani-beraninya dia membawa istriku pergi. Aku melihat sekeliling, kompleks perumahan klasik, dengan suasana yang asri namun suasana cukup sepi. Tak ada lalu lalang kendaraan maupun orang lewat. Sebenarnya tempat apa ini?

Mayang, jadi ini yang kau lakukan di belakangku? Kau tega sekali! Kau bilang ingin pergi ke Bu bidan, tapi justru ke tempat seperti ini. 

Aku sudah seperti orang hilang, menunggu mereka yang tak kunjung keluar dari rumah itu. Resah dan gelisah menghantuiku, benar-benar menghantuiku sejak hari kemarin. Hidupku menjadi tak tenang setelah mengetahui kenyataan.

Baiklah Mayang, akan kuikuti permainanmu. 

Sebaiknya aku pulang lebih dulu dan menunggunya menjelaskan semua, apakah dia akan berbohong?

*

Ceklek ...

Terdengar pintu terbuka dan seseorang menguncinya kembali. Saat sampai di kamar kulihat Mayang terkejut dengan keberadaanku. Aku menatapnya tajam.

"Ma-mas?" pekiknya dengan suara tertahan. Ekspresinya terlihat shock melihat aku ada di kamar.

"Ka-kamu gak berangkat kerja?" tanya Mayang lagi.

Aku terdiam sambil terus menatapnya tanpa henti. Rasanya ingin sekali kutampar wajah cantiknya, namun aku tak boleh melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Walau bagaimanapun dia istriku.

"Kamu dari mana saja? Dari tadi aku menunggumu disini!" tanyaku dengan nada penuh penekanan.

Dia tersenyum. "Aku tadi habis ke Bu bidan, mas. Lihat deh, ini hasil pemeriksaannya," ujarnya sembari mengeluarkan buku ibu hamil berwarna pink.

"Habis itu kemana lagi?" tanyaku. 

Dia terdiam.

"Gak mungkin kan periksa ke Bu bidan selama itu, kamu habis dari mana saja? Dari pagi aku menunggumu, dan jam segini kamu baru pulang?" 

Ia melirik jam di dinding, aku mengikuti arah pandangnya. Ya, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang.

Ah, rasanya aku sudah tidak sabar memaki-maki dirinya itu.

"Maaf mas, aku pikir kamu pergi kerja. Jadi tadi aku sempat mampir ke suatu tempat," jawabnya sambil tertunduk. Ia menggigit bibir bawahnya, seakan merasa bersalah. Mayang memang agak takut kalau aku membentaknya.

"Kemana? Sama siapa?"

Mayang tersenyum. "Mas, aku bikinin kopi dulu ya," ucapnya kemudian.

"Kamu kenapa mengalihkan pembicaraanku?"

Mayang tak menggubrisku, dia berlalu begitu saja ke dapur. Kudengar suara sendok dan gelas beradu. Sepertinya dia sedang mengaduk kopi. Aroma kopi menyeruak sampai ke hidungku.

"Ini kopinya diminum dulu, mas," ucap Mayang, dia meletakkan kopi itu diatas meja.

Setelah itu dia berlalu ke dapur berkutat dengan bahan makanan yang akan dia sulap menjadi makan siang, dia tidak membiarkanku bertanya lebih lanjut ataupun menjawab pertanyaanku.

Apa sih yang sedang di rahasiakan olehnya?

"Apa kamu tidak mau jujur padaku?" tanyaku. 

Mayang hanya bergeming.

"Kamu dengar aku atau tidak?"

Karena tak sabar lagi, akhirnya aku menariknya kembali ke kamar. 

"Aau Mas, sakit, hati-hati," pekik Mayang.

Sampai di kamar,

Ia berjalan mundur hingga sampai terpentok ke dinding. Netranya sudah tampak berkaca-kaca.

"Mas, kenapa kau sekasar ini padaku?"

"Siapa laki-laki itu?" tanyaku.

"Laki-laki yang mana, Mas?"

"Laki-laki yang tadi berboncengan denganmu, memakai jaket denim warna navy, lalu membawamu ke rumah peninggalan Belanda. Siapa dia?!" bentakku.

"Kamu mengikutiku, Mas?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Mayang! Cepat jawab pertanyaanku, siapa laki-laki itu? Jangan-jangan dia ayah dari bayi yang kau kandung? Apa itu benar?"

Netra Mayang tampak berkaca-kaca, hingga akhirnya butiran bening itu lolos dari kedua bola matanya. 

"A-apa maksudmu, Mas?" tanya Mayang dengan nada terbata.

"Kamu sedang berpura-pura ya? Katakan anak siapa yang ada di rahimmu?" pekikku dengan nada membentak. Kucengkeram dengan erat

Mayang lagi-lagi menggeleng, badannya terguncang hebat. Hampir saja aku menamparnya tapi tiba-tiba saja tubuhnya terkulai di lantai.

"Mayang?!"

.
.
.


Next?

***

Butuh bacaan yang sudah tamat? Bisa mampir diceritaku yang lain ya!

 1. Penyesalan (Tamat)
 2. PHK (Tamat)
 3. Tiba-tiba Ditalak (Tamat)
 4. Tak Dianggap (Tamat)
 5. Ujian Cinta (Tamat) -- 20 bab
 6. Tetangga baruku ternyata (Tamat) -- 26 bab
 7. Kembalinya Suamiku (Tamat)  17 bab
 8. Chat Mesra Di Nomor Suami (Tamat) 41 bab
 9. Pesona Mantan Istri (Tamat) 19 bab
10. Istri Yang Diabaikan (Ongoing)
11. Testpack Sepupu (Ongoing)


Komentar

Login untuk melihat komentar!