SIAPA YANG MENGHAMILI ISTRIKU?
Vonis mandul ditengah kabar kehamilan istriku
*
"Silahkan pak, ini hasil pemeriksaannya," ujar seorang suster sembari menyerahkan kertas itu padaku.
Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Perlahan aku membuka hasil tes kesuburanku. Aku melakukan hal ini diam-diam tanpa sepengetahuan istri. Aku tak ingin menyinggung perasaannya, lagi pula dia selalu menolak untuk diajak ke dokter, sekedar konsultasi ataupun ikut promil. Dia selalu yakin bahwa dirinya tidak mandul, alasannya karena Allah belum memberikan amanah kepada kami. Ya, sudah tujuh tahun pernikahanku dengan Mayang, tapi kami belum dikaruniai keturunan.
Jadi, aku berinisiatif untuk melakukan test kesuburan ini sendiri, setidaknya jika aku yang bermasalah, aku takkan pernah memojokkannya lagi. Dan aku akan mengikuti semua petunjuk dokter.
Aku tercengang saat membacanya. Hasilnya membuatku down. Azoospermia adalah istilah medis untuk menyebutkan kondisi tidak ditemukannya******pada air mani saat seorang pria ejakulasi. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab kemandulan.
Deg! Kepercayaan diriku runtuh seketika. Rasanya belum siap untuk menerima kenyataan. Jantungku berdetak sangat cepat, keringat dinginku mulai mengucur deras. Jadi benar selama ini akulah yang mandul?
Langkahku gontai, bagaimana caranya aku mengatakan kenyataan ini pada Mayang. Rasanya benar-benar tak percaya.
Aku mengembuskan nafas panjang. Setelah lama merenung di parkiran rumah sakit, akupun pulang. Aku sangat yakin, wajahku pasti muram. Tapi aku harus merahasiakan ini dulu pada istri dan juga keluargaku.
Kulajukan motorku dengan kecepatan sedang, pikiranku masih berkelana kemana-mana.
***
Sampai di rumah
Mayang menyambutku dengan senyuman yang menawan. Ya, senyumannya itu menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan aku paling rindu dengan senyumannya yang manis, pipi berlesung dan gigi gingsulnya membuat pesona tersendiri pada dirinya.
Mayang, seorang wanita yang cantik, bagiku, bahkan menurut sebagian orang juga berpendapat seperti itu. Tingginya standar wanita Indonesia, kurang lebih 160cm, rambutnya lurus tergerai panjang sepinggang. Kulitnya putih mulus dengan perawakan yang ideal.
"Mas, udah pulang?" sambutnya sembari bergelayut manja di lenganku.
"Kok lemes gitu, kenapa mas?" tanyanya lagi.
Aku berusaha menutupi kegelisahanku dengan tersenyum. "Gak apa-apa, tadi cuma banyak pekerjaan. Jadi lebih capek aja," sahutku lagi.
Dia mengangguk. "Aku masakin makanan kesukaanmu lho, mas," ujarnya lagi.
"Iya tapi nanti saja ya makannya, mas mau mandi dulu."
"Oh, okey. Biar aku siapkan air hangatnya dulu ya mas."
"Iya sayang," sahutku sembari mengecup keningnya.
Aku masuk ke kamar dan segera mandi, bebersih diri. Setidaknya dengan diguyur air kran, pikiranku akan sedikit fresh. Aku tidak ingin Mayang mengkhawatirkan kondisiku.
Selesai mandi, aku merasa takjub dengan kondisi kamar yang dihiasi kelopak bunga mawar diatas sprei. Aku mengernyitkan kening, tumben ada beginian.
Mayang yang sedang duduk di tepi ranjang tersenyum sangat manis. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Seketika dia langsung menghambur ke arahku, memelukku dengan erat.
"Selamat ulang tahun ya mas, aku sengaja buat kejutan ini untukmu," ucapnya dengan manja. Bibirnya pink merona membuatku ingin mengecupnya.
"Ayo mas, pakai bajunya dulu. Yang lain sudah menunggu," sergahnya sembari memberikan kemeja kaos untukku.
"Siapa?" tanyaku. Karena selain kita berdua, tak ada lagi yang tinggal di rumah ini. Lagi pula, tadi saat aku masuk rumah, tidak ada siapapun disini selain Mayang.
Dia menggandengku menuju ke meja makan.
"Surprize ...!" teriaknya.
Mataku terbelalak kaget ketika melihat ibu dan juga adik-adikku ada disini. Dengan serempak mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun, diiringi musik happy birthday to you, seperti lagu anak kecil. Cukup membuatku tersenyum geli, namun juga terenyuh.
"Selamat ulang tahun, ya nak, semoga panjang umur, sehat selalu, berkah rezekinya, makin lancar, makin sukses, cepat dapat momongan dan semoga semua keinginanmu terkabul," tukas ibu dengan senyuman yang mengembang sempurna.
"Aamiin ... Aamiin ..." jawabku sambil tersenyum menutupi kegetiran di hatiku. Aku segera memeluk ibu, yang usianya sudah memasuki enam puluh tahun.
"Selamat ulang tahun juga buat kakakku tersayang. mas Fadli Erlangga," ujar Nina, adikku.
"Selamat ulang tahun juga mas Fadli, semoga selalu menjadi yang terbaik," sahut Aina, adik bungsuku.
Hanya Ryan, adik pertamaku yang tidak datang. Mungkin ia tengah sibuk dengan pekerjaannya.
Seulas senyum mengembang di bibir mereka. Suasana cukup haru, membuat netraku mengembun.
"Aamiin ..."
"Selamat ulang tahun juga ya mas, aku doakan semua yang terbaik untukmu. Tetap jadi suami yang baik ya, I love you," ungkap istriku, Mayang.
"Cie ciee ..." sahut adik-adikku meledek lalu diiringi tawa yang renyah.
Ya mana mungkin kuungkapkan fakta tentang diriku hari ini, hari yang bahagia untuk mereka, tapi menyimpan kekalutan yang besar untukku.
"Ayo kita makan-makan mas, aku sudah masak makanan kesukaanmu dan juga ibu," cetus mayang.
Aku hanya tersenyum memandanginya. Dia begitu cekatan dan lihai menyiapkan semuanya.
Beberapa menu makan terhidang di meja. Ayam bakar, cumi saus tiram, sambal tomat, lalapan, kerupuk udang, buah-buahan, dan bolu sederhana. Hmmm, yummy.
"Ini kamu semua yang masak, dek?" tanyaku sembari mengambil lauk ke atas piring.
"Enggak, tadi dibantu ibu, Nina dan Aina juga, mas," sahut Mayang sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, kalian kompak ya."
Mereka tersenyum, lalu kami mulai menikmati menu yang terhidang di atas meja. Sangat enak, sangat nikmat.
Aku bersyukur melihat kedekatan istriku dengan ibu dan juga adik-adikku. Mereka sangat akrab, bahkan jarang ada cekcok diantara keempatnya. Tak seperti kebanyakan keluarga yang lain yang sering kali ada debat dengan mertua. Meskipun kami belum memiliki momongan tapi ibu menerimanya dengan hati lapang walaupun terkadang suka menyindir halus karena sampai saat ini belum juga diberi cucu.
"Ehemmm ... Ehemmm ... Ada yang ulang tahun, masa gak ada yang ngasih kado nih," ledekku.
"Hahaha tenang aja Mas, aku sudah menyiapkan hadiah untukmu," sahut Nina. Dia mengeluarkan kotak kecil dari balik meja, kotak itu dibungkus kertas kado bermotif batik coklat.
"Ini untukmu, Mas," lanjutnya sambil memberikan kotak itu padaku.
"Aku juga punya hadiah untukmu, Mas," celetuk Aina tak mau kalah. Dia memberikan kotak lebih besar padaku.
"Terima kasih adik-adikku yang manis. Kalian dapat uang dari mana?" tanyaku ingin tahu.
"Kalau aku ngumpulin dari uang saku yang diberi oleh ibu," jawab Aina.
"Aku sengaja kerja paruh waktu mas, biar bisa beliin mas hadiah," sahut Nina.
Aku tersenyum mendengarnya. Aina, adik bungsuku itu memang masih sekolah kelas dua SMA. Sedangkan Nina, dia sudah kuliah. Biaya sekolah mereka memang aku yang tanggung, karena ayah kami sudah lama meninggal. Sedangkan untuk uang sakunya, mereka dapat dari ibu. Ibu berjualan sembako rumah. Dan Ryan, anak itu hanya memikirkan dirinya sendiri meskipun ia sudah bekerja.
"Ayo dibuka, Mas," usul Aina dengan antusias.
"Baik, mas buka ya."
Aku mulai membuka kado dari Nina. Kotak kecil itu rupanya berisi jam yang sangat bagus.
"Wah, ini bagus banget Nin, terima kasih banyak ya."
"Iya mas, sengaja Nina pilih jam tangan untuk Mas Fadli, biar mas gak lupa waktu," selorohnya sambil terkekeh.
Aku tersenyum mendengarnya. Memang adikku yang satu itu, sangatlah disiplin masalah waktu.
Aku kembali membuka hadiah dari Aina. Sebuah jaket warna coklat tua, dilihat saja sudah sangat pas ke tubuhku. Aina pintar sekali memilih jaket ini, seleranya memang tinggi padahal dia masih remaja.
"Gimana mas suka gak?" tanya Aina.
"Mas suka banget, terima kasih ya Aina."
"Betul kan kataku, Mas Fadli pasti suka. Aku sengaja lho pilih hadiah jaket, biar gak kedinginan pas di jalan, biar gak kena angin. Aku lihat jaket Mas dah kusem gak ganti-ganti," sahut Aina.
Dia memang adikku yang sangat perhatian terhadap kakak-kakaknya. Aku sangat bersyukur memiliki mereka
"Kalau kamu, mau ngasih hadiah apa istriku?" candaku.
"Aku gak bisa ngasih apa-apa untuk kamu mas, tapi ... Aku punya ini buat kamu."
Dia memberikan sebuah amplop untukku.
"Apa ini?"
"Buka saja," sahutnya lagi.
Aku menyobek ujung amplop itu, ada stik benda pipih keluar dari sana ketika aku menjungkirkan amplop itu.
Sebuah testpack dengan tanda dua garis merah. Mayang hamil?
Glek! Tenggorokanku tercekat, jantungku berpacu dengan cepat. Bagaimana bisa istriku hamil? Lalu anak siapa di rahim istriku?
.
.
Next, ayo dukung cerita ini dengan klik berlangganan ya teman
Login untuk melihat komentar!