2
“Yayuk, gaweane dudu neng omah iki (Yayuk, ketahuilah pekerjaannya bukan di rumah ini)," jawab istrinya mengambil alih pembicaraan. Sementara sang suami mengangguk membenarkan.
“Sliramu bakal diajak maring vila pribadi kita sing ning puncak. Ningkono gaweanmu mung rewangi Nyi Ratni. Dheweke kuwi wong pintar sing wis suwe mbentengi keluwargaku. Kayo ngendikane bojoku, niki dudu gawean lumrah. Ono pantangane!” (Kamu akan dibawa ke vila pribadi kami di puncak. Di sana tugasmu hanya membantu Nyi Ratni. Dia adalah orang pintar yang sudah lama melindungi keluarga saya. Seperti yang suami saya katakan, ini bukanlah pekerjaan biasa. Ada pantangannya!)
“Sanjang mawon, punapa pantanganipun, Ndoro Ibu, Supados kula siap.” (Omong aja apa pantangannya, Bu. Biar saya siap)
Tatapanku tertuju pada si wanita, lantas berganti memandang Bi Zaenab.
Di sampingku, Bi Zaenab mengangguk setuju.
"Sliramu di penging metu seko kerjaan sak durunge gaweanmu rampung. Mbok menowo setuju, upahmu kanggo rongulan tak paringke wanci iki ugo." (Kamu dilarang mengundurkan diri sebelum pekerjaan itu selesai. Kalau setuju, gaji kamu untuk dua bulan saya bayarkan saat ini juga)
Wanita ini berucap tenang. Seakan sudah tahu bahwa tawarannya akan aku terima mentah-mentah.
Mengingat akan hutang yang harus segera dilunaskan, aku pun menyanggupi persyaratan itu.
Selanjutnya, pasangan suami istri ini memperkenalkan diri. Namanya Pak Waluyo (bukan nama sebenarnya) dan si istri bernama Bu Agni (juga bukan nama sebenarnya).
Mereka memberiku uang sejumlah 40 juta dan berjanji akan membayar tuntas jika aku mampu bertahan hidup sampai selesainya pekerjaan yang dimaksud.
Hatiku mencelos menerima uang sebanyak itu. Bebanku terasa ringan seketika.
Segera kutitipkan uang melalui Bi Zaenab, agar diserahkan pada Ibu di dusun. Jika dikali bagikan dengan bunga hutang, masih tersisa empat jutaan sebagai uang belanja untuk Ibu.
***
Sepuluh menit setelahnya, Bi Zaenab berpamitan pulang. Tinggalah aku sendiri dalam ruang ini. Pak Waluyo dan Bu Agni menghilang entah ke mana.
Lama menunggu, tanpa sadar aku setengah tertidur pada sandaran kursi.
Baru saja terbangun saat suami istri itu kembali. Bunyi berdecit dari kaki kursi yang beradu dengan lantai, mungkin sengaja mereka lakukan agar aku tahu diri.
"Eh, klambine kok ireng-ireng to?" (Eh, pakaiannya kok serba hitam to?) Aku yang masih mengantuk, spontan bertanya demikian.
Di depanku, suami istri ini ternyata baru selesai dari berganti pakaian. Pakaian serba hitam yang mereka kenakan, sedikit memantik rasa curigaku.
"Yuk, awak dewe mangkat saiki. Selak kesuwen dienteni Nyi Ratni," (Yuk, kita berangkat sekarang. Nanti kelamaan ditunggu Nyi Ratni) ucap Bu Agni mengalihkan pembicaraan. Sementara suaminya melangkah duluan dengan kunci mobil dimainkan di tangannya.
Aku dan Bu Agni bersisian menuruni tangga hingga kami tiba di area lantai satu dan segera menuju halaman untuk akhirnya menaiki mobil.
***
Perjalanan sangat melelahkan. Bayangkan aku datang dari dusun ke Jakarta dan sekarang langsung diantar lagi ke tempat yang belum kuketahui seberapa jauhnya.
Nahasnya lagi, masih tengah malam saat mobil bergerak meninggalkan kediaman Waluyo.
Aku yang hendak menatap penampakan terakhir rumah megah itu, dibuat kaget oleh sesuatu yang tiba-tiba hinggap di kaca mobil. Tepat di sampingku.
Ia melekat seperti tokek. Aku pikir mungkin sejenis binatang malam. Namun ternyata wujudnya sangatlah mengerikan.
Mirip malaikat iblis. Wajahnya hancur, kepala gundul dipenuhi urat dan sepasang sayap tumbuh di balik punggungnya.
Aku hampir bertanya pada Bu Agni, tapi urung karena makhluk itu segera terbang menghilang.
Beberapa saat kemudian, mobil telah meninggalkan kota Jakarta. Tak ada lagi bangunan tinggi dan benderang lampu-lampu. Kami memasuki kawasan yang gelap dengan rimbun pepohonan mengisi sisi kanan dan kiri jalanan.
“Lho, estu kados mekaten radosanipun, Pak?” (Lho, emang seperti ini jalannya, Pak?) Aku tak tahan untuk tidak bertanya.
Perasaanku makin tak nyaman karena Pak Waluyo maupun Bu Agni tak menjawab. Hanya dua pasang mata mereka yang sesekali menengok ke luar. Seolah daerah ini sangatlah berbahaya.
Batinku menjadi lebih tenang saat mobil telah melewati kawasan hutan yang gelap. Berganti mengarungi tanjakan perbukitan atau semacam dataran tinggi.
“Bu, niki teng pundi? Napa nami telatahipun?” (Bu, ini ke mana? Apa nama tempatnya?) Aku terpaksa bertanya lagi.
Ada sedikit kemajuan. Yang sedari tadi tak menjawab, kini Bu Agni tersenyum kecut sembari menggeleng.
Aku berusaha menenangkan diri dan beranggapan semuanya akan baik-baik saja.
Setelah melewati jalanan yang bergelombang naik turun, tibalah kami di vila yang dituju. Cahaya mobil menyoroti situasi vila itu.
Kumuh. Jauh dari kesan mewah. Walau ukurannya lumayan besar, tapi hampir seluruh dindingnya mengelupas. Menyisakan pemandangan batu bata merah yang seharusnya tertutup campuran semen.
Aku masih mengamati sebelum akhirnya tersentak saat sadar seorang wanita tua sedang menunggu di sana. Ia berdiri mematung dengan satu tangannya menopang tongkat di tanah.
“Nyi Ratni,” gumam Pak Waluyo diikuti membuka pintu mobil. Gegas ia menyambangi wanita tua itu.
Bu Agni menyusul turun. Aku meraih tas berisi pakaian lantas mengikuti langkah mereka. Nampak keduanya memberi salam dan mencium punggung tangan Nyi Ratni.
Nyi Ratni tersenyum hangat padaku. Ia menyempatkan bertanya namaku dan memperkenalkan namanya juga. Setelah itu, ia mempersilakan kami masuk ke dalam vila.
Wanita yang dianggap orang sakti ini, tidak sesakti perkiraanku. Kaki kanannya pincang dan salah satu matanya rusak.
Aku menelan ludah saat sadar bahwa itu bukanlah cacat bawaan lahir. Wanita tua ini sepertinya punya pengalaman buruk dalam hidupnya.
Ada banyak bekas jahitan pada kaki yang pincang. Lalu pada mata yang rusak, bola matanya sudah tak ada. Hanya kelopak mata yang tak bergerak.
“Wong sugih mblegedu ora nate dewean, Yuk. Tansah ana wong pinter membentengi seko mburi,” (Orang kaya raya tidak pernah sendiri, Yuk. Selalu ada orang pintar membentengi dari belakang) ucap Nyi Ratni saat kami ia persilakan duduk.
Pak Waluyo dan Bu Agni tertawa kecil mendengar pengakuan Nyi Ratni, sementara aku hanya bergeming memangku tangan di pangkuan.
Kami duduk di ruangan kecil, mirip tempat khusus untuk memberi sesajen pada makhluk goib.
Mereka masih berbasa-basi. Namun fokusku beralih ke sudut ruangan. Kulihat ada banyak boneka jerami ditumpuk di situ.
Dulu sewaktu masih kecil dan Bapak masih hidup, beliau pernah berpesan. Jika melihat ada boneka jerami di rumah orang, maka berhentilah bermain ke sana.
Menurut Bapak, pemilik boneka jerami pastilah penganut ilmu hitam. Dan boneka itu dijadikan media santet untuk mencelakai orang lain.
Aku hendak bertanya, tapi urung lagi. Sebab Pak Waluyo dan Bu Agni kini berpamitan pulang. Nampak Nyi Ratni mengantar mereka sampai ke halaman vila.
Sepeninggal mereka, situasi vila mendadak sunyi. Hanya suara angin yang sesekali mendesau. Rasanya seperti sedang diasingkan ke dunia lain.
Lampu di vila ini sebelas dua belas dengan lampu yang ada di salah satu ruangan di rumah Pak Waluyo. Sangat remang. Setelah kuteliti, ternyata adalah lampu tua yang sudah tak layak pakai.
Mungkin berkaitan dengan keperluan klenik.
“Menopo Nyi namung gadhah tugas mbentengi keluwargi Waluyo saking serangan goib? Utawi dipunsukani ayahan benten ugi?" (Apa Nyi hanya bertugas membentengi keluarga Waluyo dari serangan goib? Atau diberi tugas lain juga?)
Aku bertanya saat Nyi Ratni kembali duduk. Mulutnya sibuk memamah sirih.
“Ayahan liyo? Apa maksudmu, Yuk?" (Tugas lain? Apa maksudmu, Yuk?) balas Nyi Ratni dengan nada yang sengaja dibuat tenang. Padahal sorot matanya jelas sekali seperti menyembunyikan sesuatu.
Tatapanku terkunci padanya. Ia buru-buru membenahi kebaya kutu baru yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya. Reaksi yang khas saat seseorang sedang berdalih.
“Sadurunge moro rene, Waluyo wis menehi wejangan, 'kan?” tanyanya tanpa memandangku. (Sebelum ke sini, Waluyo sudah memberimu pengarahan, 'kan?)
Aku mengangguk.
“Yayuk, samestine sliramu ora usah akeh takon. Sliramu ditekake kanggo baturi aku ning kene, dadi nurut wae supaya perkoro iki rampung." (Yayuk, seharusnya kamu gak banyak bertanya lagi. Kamu didatangkan untuk membantuku di sini, jadi manut saja biar perkara ini selesai)
“Tur sliramu ora dewean karo aku thok. Akeh kancane sampeyan ning mburi, wis seminggu kabeh nginep ning vila iki!" ungkap Nyi Ratni yang membuatku membelalak kaget. (Lagian kamu gak berdua saja denganku. Ada beberapa temanmu di belakang, sudah sepekan mereka mendekam di vila ini)