3. bab tiga
Foto suamiku (3)

"Iya, itu Mas Fajar. Mungkin dia gak tahu kali, ya, kalo gue punya aplikasi tiktok? Makanya seenaknya ciuman diumbar-umbar," sahutku dengan senyum sinis, meski dalam hati terasa remuk.

"Bentar, bentar, itu Mayang bukan, sih?" Ara tiba-tiba menyeletuk.

Aku langsung menoleh. "Kok kamu kenal?" tanyaku bingung. 

"Masa kalian lupa, sih. Ituloh, Mayang yang dulu jadi idola di SMP sekolah kita," sahut Ara. 

Kami semua sontak saling berpandangan. Aku mengingat-ingat Mayang yang Ara maksud. 

"Lagian kok lu santai banget, sih, Lin? Lu udah tahu laki lu selingkuh?" tanya Dita penasaran, menyela pembicaraan kami. 

Aku menghela napas dan menyenderkan punggung pada kursi. 

"Mas Fajar kurang pintar mainnya. Mungkin dia nggak tau kalo gue punya tiktok, gue sempet liat live-nya tadi pagi. Kan lu tau sendiri gue kurang update. Sibuk di kantor," sahutku lemah. 

"What?" timpal Ara. "Live?" 

Aku mengangguk samar. 

"Parah si Fajar. Bilangnya nggak ada sinyal tapi bisa tuh live. Lu dibohongi, Lin," timpal Fitri. 

Sahabatku yang lain mengamini ucapannya. 

"Gini, deh, gimana kalo kita adain reuni temen-temen SMP?" usul Dita membuatku mengernyitkan dahi. 

"Reuni?" timpal Ara tak kalah terkejut. 

"Iya. Jadi kita buktikan dia benar Mayang siswa hits itu atau bukan. Yang dulu jaman SMP suka buly orang," jawab Dita. 

Aku menimbang ucapannya. Tapi kupikir ada benarnya juga usul dia. 

"Tapi kan kita sudah lama putus kontak sama temen SMP," ujar Fitri. 

"Gampang kalo itu, biar jadi urusanku," timpal Ara. 

Dia memang paling update di antara kami. Aktif di berbagai media sosial dan memiliki banyak followers. Tentunya mudah bagi dia menemukan teman-teman lama kami. 

Beda denganku, yang sibuk mengurusi kantor dan beberapa cabang Swalayan milikku. Ya, aku mewarisi harta Papa. Jadi aku tidak sempat bermain sosmed. Hanya sesekali lihat tiktok atau instagram.

Aku punya satu Abang tetapi kini menetap di Jerman. Memiliki usaha cafe terkenal di sana. Jadi aku mengurusi usahaku sendiri bersama Mas Fajar. Sahabat-sahabatku juga bekerja di tempatku menjadi staf penting. 

Kami sama-sama memiliki kesibukan masing-masing. Jadi mumpung hari libur, hari ini Dita mengajak kami semua nongkrong. 

***

Sampai di rumah, setelah mandi aku membuka laptop. Mengurusi beberapa file untuk meeting dengan klien besok. 

Malam sebelum tidur, aku membuka ponsel. Aku menghubungi Fikran karyawanku yang sekaligus sahabat Mas Fajar. 

"Halo, Bu?" sapa suara di seberang sana. 

Aku sontak bangkit dari ranjang. "Maaf ganggu, Fik. Saya mau tanya, kata Dita kemarin kamu sempet video call sama Mas Fajar, kan?" 

"E-enggak, kok, Bu. Bukan Pak Fajar," sahutnya yang dari suaranya terdengar jelas dia gugup.

Meski kenal baik dan dekat dengan Mas Fajar, dia tetap memanggilku Ibu. Menghargaiku sebagai atasannya di kantor. Begitu pun pada Mas Fajar. Kami tetap bersikap profesional jika di kantor. 

Tak terkecuali sahabat dekatku. Kami tetap berbahasa formal untuk menjaga etika. Tapi beda lagi kalo sudah di rumah. 

"Fikran, jujur sama saya!" ujarku tegas. 

"B-benar, Bu. Saya sudah jujur," sahutnya tetap tak mau mengaku. Entah kenapa aku yakin kalau dia berbohong. 

"Oke, mulai besok kamu nggak perlu lagi ke kant--"

"T-tunggu, Bu. Tunggu! Baik, maafkan saya. Saya akan jujur," timpalnya mendengar ancamanku. 

Aku tersenyum sinis. Maaf, Fikran, aku butuh mengancammu agar kau mau mengaku. 

"Bagus. Katakan sekarang," pintaku. 

"I-iya, Bu. K-kemarin Pak Fajar sempat menghubungi saya untuk mengabari progres pembangunan proyek." 

"Kenapa tidak mengaku dari tadi? Toh saya istrinya?" tanyaku sinis. 

"M-maaf, Bu. Pak Fajar melarangku memberitahu Ibu," ujarnya dengan suara lemah. 

"Siapa wanita bernama Mayang?" tanyaku tak sabar. 

"Hah? M-mayang? Maaf, Bu, saya tidak tahu. Anak saya nangis, sekali lagi maaf, Bu." 

Tut!

Sial, telepon dimatikan sepihak oleh Fikran. Dia terdengar ketakutan saat aku menyebut nama Mayang. 



Komen dan like yuk biar author makin semangat update bab.

Komentar

Login untuk melihat komentar!