Part 5
Jangan lupa suscribe ya, biar semangat up besok pagi-pagi 😉😉😉😉😉

Selamat membaca 🥰🥰

"Kamu yakin, Li?"

"Iya, kalau kamu nggak percaya besok datang saja ke sini, asistenku akan menceritakan semuanya."

"Hmm baiklah, sudah dulu ya."

Aku menghela napas rasanya begitu geregatan, kenapa pula Mama sampai berbohong padaku?

Selesai beribadah aku menyiapkan makan malam untuk Mas Rama, benar saja tak lama kemudian terdengar klakson mobil aku segera berlari membukakan pintu pagar yang ternyata sudah dibukanya sendiri.

Mas Rama nampak tegang tak seperti biasanya, aku jadi penasaran. Tetapi aku harus menahan diri untuk bertanya, memilih menyerahkan handuk di tangannya meminta dia membersihkan diri sementara aku menunggu di meja makan.

Tak lama kemudian dia kembali dengan segar, tapi tak mengurangi raut tegang di wajahnya seperti ada yang disembunyikannya dariku.

"Kamu kenapa, Mas?" Aku tak bisa menahan diri lagi untuk bertanya.

"Kenapa?"

"Wajahmu tegang begitu,"ujarku.

"Kamu percaya tentang adanya puber kedua?"

"Percayalah, Mas. Kenapa?"

"Sepertinya Mama sedang mengalaminya."

"Hah, masak?"

"Iya."

Aku tertegun, memilih tak bertanya lebih lanjut,.lagi pula sepertinya Mas Rama tidak berniat menceritakannya lebih detail.

"Tadi itu Mama gelisah banget di mobil, ketika Mas tanya katanya dia kangen sama Papa."

Apakah pengaruh pijat itu? Mengingat umur Mama yang tak muda lagi untuk puber kedua, Mama sudah lima puluh tahun.

"Menurutmu Mama masih bisa nggak puber kedua?"

Aku menatap Mas Rama sejenak, kemudian tersenyum menenangkan.

"Mungkin saja, Mas." Aku harus menjawab itu karena tak punya asumsi lain.

"Atau jangan-jangan karena pijat itu." Mas Rama terdiam setelah mengucapkan kalimat itu begitu juga aku, kami berpandangan dalam kengerian yang menyusup perlahan.

*****

Dira, usianya baru dua puluh dua tahun, dia sudah satu tahun jadi asistennya Lili, tepat pada saat Lili baru saja menikah. Suami Lili memang orang kaya dia punya kantor sendiri dan rumahnya memang semewah ini.

Dan, Dira belum menikah.

Semasa gadis dulu aku juga pernah dipijat, tapi hanya bagian yang lelah juga seperti punggung yang sering kram bila bekerja sift malam selasa di Batam dulu. Tetapi tukang pijatnya perempuan, asli orang jawa juga, lembut dan sudah separuh baya. Tidak terbayang kalau yang mijat pria tua, meskipun ada embel-embel hajinya tapi zaman sekarang haji gadungan lebih banyak dari pada haji sungguhan.

Wajahnya nampak pucat, dia seperti kelelahan tapi masih tersenyum dan berusaha untuk kelihatan semangat. Aku yakin dia orang yang profesional dalam melakukan pekerjaan.

"Kamu bisa menceritakannya padaku, kan?" Aku sengaja tidak melengkapi pertanyaan sebab pasti Lili sudah memberitahu sebab aku ingin bertemu dengannya.

"Ya, Buk." Dia mengangguk canggung dan duduk di sofa tamu yang berseberangan dariku dan lili.

"Kenapa kamu mau dipijat oleh seorang laki-laki?"

Aku merasa kasihan, pasti tidak ada yang tahu kalau dia akan ikut acara pijat-pijat itu, bahkan Lili tidak diberitahu kalau dia tak memaksa.

"Penasaran, Buk. Apa lagi badanku capek semua."

"Kamu kan bisa mintak tolong si Mbak yang biasanya mijitin aku, Dir." Lili ikut berkomentar.

"Maaf, Buk." Dira menunduk dengan raut tak terbaca begitu, ada kebingungan di sana.

"Oke, sekarang jelaskan bagaimana tukang pijat itu memijatmu."

Dira menjelaskan dengan detail, pertama pasien harus menanggalkan seluruh pakaian kecuali celana dalam kemudian dia memijat bagian  belakang dengan posisi pasien tidur tengkurap. 

"Bagaimana caranya memijat?"

"Dia memijat pelan, sedikit menekan, dan meremas, Buk."

Astaga!

"Dia juga meremas pinggulmu begitu?" Lili nampak bergidik ketika melemparkan pertanyaan itu.

"Iya, Bu."

Tukang pijat sialan!

Setelah itu Dira juga menceritakan bagaimana proses orang itu memijat saat telentang. Tidak terlalu lama, kalau di area dada dia hanya menyentuh sebentar kalau tidak menemukan benjolan apapun seperti tumor atau kanker payudara. Lalu dia akan mulai memijit kaki sampai ke pangkal paha.

"Bagaimana rasanya dipijit bagian-bagian itu." Lili sengaja melemparkan pertanyaan yang mengerikan itu.

"Ya, enaklah, Buk." Dira menjawab dengan wajah bersemu. 

Benar-benar terkutuk tukang pijat itu.

"Lalu bagaimana dengan yang menderita tumor atau kanker payudara?" Aku teringat Lina dan sangat menyesalkan keputusnnya yang memutuskan untuk ke sana juga.

"Ya, dia remasnya di sana lama, katanya biar benjolan itu menyusut."

"Dan pasiennya percaya begitu aja?"

Dira mengangguk.

"Tetapi Pak Haji itu bisa mengobati berbagai penyakit kok, Bu. Tak hanya metode pijat, bisa juga dengan pengobatan lain. Kalau mau pijat memang harus tanpa pakaian, pasiennya bebas memilih kok tapi memang banyak yang memilih pijat katanya lebih cepat sembuhnya."

"Bagaimana reaksi tubuhnya ketika memijat pasien-pasiennya?"

"Biasa aja."

"Kamu melihat seorang wanita yang disanggul dipijat juga?" Dadaku berdentam melemparkan pertanyaan ini.

"Oh, iya. Aku lihat. Tetapi banyak yang komentar Ibu ini dispesialkan oleh Pak Haji itu."

"Maksudnya?"

Tambah ngeri aku membayangkan tubuh montok tanpa cela Mama mertua.

Komentar

Login untuk melihat komentar!