"Ya, begitulah, Buk. Ibuk itu dipijatnya lama, bahkan beberapa kali melontarkan pujian."
"Pujian?" Lili bertanya heran.
"Iya, sebab tubuh Ibu mulus dan montok."
Ya, Tuhan dari komentarnya saja sudah ketahuan cabulnya.
"Lalu apa tanggapan Ibu itu?"
"Senanglah, Buk. Bahkan dia berlama-lama di pijat sampai ibu itu mengerang begitu."
Tubuhku menggigil mendengar penuturan Dira, ingin rasanya aku memukul itu haji cabul.
"Tetapi dia tidak memaksa kok, Buk. Dia bahkan menanyakan apa melakukan pijatan tanpa paksaan sebelum pasien melepaskan pakaiannya dia akan menanyakan sampai dua kali."
"Tetap saja, Dir. Haji, kok pijat orang tanpa pakaian,******namanya."
Dira tidak menanggapi karena jelas suara Lili mengandung kekesalan, tidak jauh beda denganku yang menyesali cara pikir Dira. Menurut Lili dia itu melek internet tapi kok malah tergiur dengan hal berbau aneh bahkan mendekati mistis seperti ini.
"Dengar ya, Dir. Bahkan seluruh muslim tahu kalau memperlihatkan aurat pada yang bukan mahram itu berdosa, untuk mengetahui itu seseorang tak perlu sekolah tinggi waktu sekolah menengah juga sudah diajarkan. Harusnya kamu bisa berpikir dong haji kayak gimana coba yang mau menonton bahkan menyentuh banyak aurat wanita yang jelas-jelas bukan mahromnya?"
Lili menggelengkan kepala sedangkan.
"Tapi itu kan pengobatan, Buk. Harusnya tak masalah."
"Ya, pikir-pikir aja, masuk akal nggak? Dan apa yang kamu rasakan malam tadi? Apa tubuhmu bugar yang ada kamu pucat."
"Dira, sebaiknya jangan ke sana lagi, kamu itu masih gadis. Masak iya disentuh orang lain sementara suami saja belum." Aku menengahi kejengkelan Lili, dibalas senyum kecut oleh Dira.
"Sekarang katakan seperti apa rupa orang yang ngaku haji itu." Aku harus mengorek lebih dalam, sebab kalau Mama mengulang lagi pergi ke sana orang itu harus berhadapan denganku.
"Ada yang bilang umurnya sudah enam puluh tahun tapi menurut taksiranku dia seperti masih berumur empat puluh tahun. Gagah, Buk, seperti ustad di televisi." Dira bercerita penuh semangat, dia mirip orang yang sudah tertawan.
Aku tidak ingin berprasngka, apa saja bisa terjadi di zaman seperti ini, bisa saja dia merangkap tukang pelet juga.
"Kamu ingat alamat tukang pijat itu di mana?"
"Aku tidak memperhatikan, Buk. Tetapi sekitar dua jaman dari sini, sedikit masuk kampung di pinggir kota."
Aku mengangguk, jadi diperkampungan?
"Tempat prakteknya itu ramaikah?"
"Iya, ramai, bahkan terkesan ramah-ramah warga di sana."
Sebanyak itu apa tidak ada yang berpikir kalau praktek yang diizinkan adalah sebuah yang tidak benar? Apa iya semuanya di pelet?
Aku dan Lili saling berpandangan, mungkin kami harus menjadwalkan diri untuk pergi ke sana.
"Bagaimana malam pertamamu setelah dipijat?" Lili mengulang kembali pertanyaan yang sama, mungkin dia sama penasarannya denganku, mengingat mereka yang sudah mengatakan menjadi hot di ranjang, bagaimana nasib Dira yang masih lajang?
Dira nampak gugup, seperti ragu untuk menjawab.
"Katakan saja kenapa ragu, siapa tahu saja kami berminat. Ya, kan, Li?" Aku menoleh pada Lili yang cepat-cepat mengangguk.
"Ibu yakin?" Mata Dira berbinar.
"Tentu." Aku menjawab cepat.
"Sebenarnya aneh, dan membuat lelah, tapi aku senang,"jawabnya bingung.
"Maksudnya?"
"Aku seakan bisa merasakan tangan Pak Haji itu di tubuhku, hingga aku ...."
"Stop, cukup, kamu boleh kembali ke belakang." Lili mengusap wajahnya nampak memerah oleh kemarahan.
"Oke, Dira. Terima kasih atas keterangannya silahkan kembali ke belakang. Dan tolong perbanyak beribadah ya." Aku tersenyum dan tertegun melihat punggung gadis malang itu lenyap di balik pintu dapur.
"Benar-benar sialan!"geram Lili.
"Sepertinya kita harus bertindak,"gumamku tak kalah panik membayangkan Lina dan Mama.
"Apa yang harus kita lakukan? Bisa-bisa kita kena pelet juga." Lili mulai mondar-mandir. "Kasihan, Dira,"tambahnya.
"Kita harus berpikir dulu, atau kamu punya kenalan seseorang yang beneran haji? Yang benar-benar tahu ilmu agama bukannya kedok?" Tiba-tiba saja ide itu melintas dalam benakku, tentu saja kami harus butuh dukungan yang kuat guna menghentikan praktek sesat itu.
"Nah, iya. Kita butuh itu. Aku akan menanyakan pada suamiku nanti siapa tahu dia ada kenalan yang seperti kita inginkan."
Aku mengangguk setuju. Setidaknya saat ini kami bisa sedikit tersenyum karena merasa sudah menemukan jalan ke luar.
****
Aku menyambut kepulangan Mas Rama dengan senyum hangat seperti biasa, dia selalu mencium keningku sebelum masuk rumah. Hal yang sudah biasa sejak kami menikah setahun lalu.
Tetapi kali ini dia sedikit berbeda, keningnya berkerut seperti ada yang mengganggu pikirannya. Aku tidak langsung bertanya membiarkan dia membersihkan diri dan beribadah magrib dulu sementara aku menunggunya di meja makan.
"Kamu kenapa, Mas, mukanya ditekuk gitu?"
"Papa tadi menelepon."
"Terus?"
"Papa bilang Mama terus mendesah dan mengerang tadi malam. Papa bertanya apa yang Mama lakukan saat menginap di sini."