Aku yang sudah terlanjur panik akhirnya memberanikan diri melompat dari pagar rumahku yang hanya setinggi satu meter itu. Aku terus berlari dan mencari perlingungan dari amukan Papa.
"Nayara! Anak tidak tahu sopan santun kamu!" hardik Papa kencang. Membuat beberapa tetangga mulai membuka segaris tipis korden atau pintu rumahnya untuk mengintip.
Aku terus berlari meski kurasakan sakit semakin menjalar ke sekujur tubuhku yang lebam-lebam. Aku lalu menuju rumah Bunda Dona dan menggedor pintu rumahnya kencang.
Bunda Dona entah berada di mana. Pintu gerbangnya tidak kunjung terbuka.
Aku jadi semakin panik. Apalagi kulihat di pagar rumahku Papa sudah siap akan keluar pagar.
"Bunda! Bunda Dona tolong Nayara! Aku mau dihajar Papa!" jeritku diiringi isak tangis. Aku sungguh ketakutan Papa pasti akan menyakitiku lebih kejam lagi.
Papaku itu memang sifatnya keras dan tegas. Ia tak segan melakukan kekerasan fisik jika anaknya bandel. Saat ini di mata Papa aku adalah anak durhaka yang sedang membuang kotoran di muka orang tuanya. Kalau sampai tetangga mendengar aku disiksa, Papa dan Tante Mery pasti akan mendapat gunjingan.
"Nayara! Ya Allah kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda Dona panik.
Aku segera masuk ke dalam rumahnya dan bersembunyi di balik tubuh Bunda Dona.
Kulihat dari kejauhan Papa berjalan tergopo-gopo dengan Tante Mery. Mereka tergesa-gesa menyusulku ke rumah Bunda Dona.
"Bunda, tolong Nayara! Papa menghajar Nayara!" isakku sambil bersembunyi di balik tubuh Bunda Dona.
"Ya Allah, Nak. Apa yang terjadi dengan Papamu itu. Kenapa sampai seperti ini?" pekik Bunda Dona.
"Dona! Kemarikan anak durhaka itu! Aku akan mengajarinya sopan santun dan adab!" bentak Papa pada Bunda Dona.
"Kau ini kenapa Togar? Anak kau ini masih kecil, jangan kau sakiti, nanti dia mati, kau menyesal!" nasihat Bunda Dona.
"Tak usah ikut campur urusanku, Dona! Kau ini hanya orang luar yang kebetulan kumintai tolong menjaga anak-anak saat aku bekerja!" hardik Papa nyolot.
"Aku memang orang luar, Togar! Tapi kalau menyangkut keselamatan anak-anak, aku akan ikut campur. Kasihan mereka kalau terus-terusan kau siksa!" tegas Bunda Dona.
Papa nampak sangat marah mendengar ucapan Bunda Dona. Pria itu hendak merangsek masuk namun Bunda Dona segera mengunci pintu pagar rumahnya.
"Kak Dona ini kenapa sih! Sudah jangan ikut campur, Kak. Ini urusan rumah tangga kami. Biarkan kami mendidik anak-anak dengan disiplin," ujar Tante Mery ikut bicara.
"Ini kekerasan! Bukan disiplin! Kalian ini tidak takut apa kalau nyawa Nayara melayang? Mendisiplinkan anak enggak perlu dengan kekerasan fisik!" tegas Bunda Dona.
"Kamu belum punya anak, Dona! Tahu apa kamu soal mendidik anak!" bentak Papa terlihat sangat kesal.
Bunda Dona terlihat sangat kesal mendengar ucapan Papa. Aku tahu Papa telah menyinggung perasaan Bunda Dona.
"Kamu masuk ke dalam rumah Bunda saja, Nayara! Biar Papamu pulang dan menenangkan diri. Kamu boleh jemput Nayara dari rumahku asal kamu janji, Nayara tidak akan disiksa!" tegas Bunda Dona.
Papa mendegus kesal. Pria itu sebetulnya masih saja ngotot ingin mengambilku dari Bunda Dona. Tapi Bunda Dona berkeras untuk mempertahankan aku di rumahnya.
Sempat terjadi perdebatan antara Papa dengan Bunda Dona. Tante Merry juga tak tinggal diam dan berusaha membantu Papa. Hingga kericuhan terjadi dan membuat beberapa tetangga keluar dari rumahnya.
Reaksi tetangga komplek perumahan kami beragam. Ada yang mendukung tindakan Bunda Dona untuk menyelamatkan aku, namun ada juga yang memarahi Bunda Dona. Mereka yang memarahi cenderung merasa Bunda Dona terlalu ikut campur. Padahal saat terjadi kekerasan pada anak orang-orang seperti Bunda Dona inilah penolong kami.
"Aku bukan mau ikut campur! Aku hanya ingin menyelamatkan anak ini agar tidak sampai terluka parah!" tegas Bunda Dona saat beberapa orang mencibirnya.
Aku hanya bisa menangis sambil memeluk erat lengan Bunda Dona. Aku sangat ketakutan Papa berhasil meraih dan mengajarku hingga babak belur. Aku benar-benar yakin tidak akan bisa selamat andai saat itu Papa berhasil membawaku pulang.
Hingga Pak RT dan Pak RW datang, Papa dan Tante Mery masih berkeras untuk membawaku. Segala sumpah serapah terlontar dari mulut Papa terhadap aku maupun Bunda Dona. Sungguh saat itu hatiku benar-benar sakit mendengar makian-makian Papa untukku. Aku sudah merasakan tidak ada lagi kasih sayang dari pria yang menjadi cinta pertamaku itu terhadap aku.
"Sudah begini saja, Pak Togar. Tidak perlu terjadi keributan lebih panjang. Saya lihat Bapak masih sangat emosi. Jadi ada baiknya biarkan putri Bapak berada di rumah Bu Dona saja. Nanti setelah Bapak tenang biar nayara diantar Bu Donna untuk pulang," usul Pak RT bijaksana.
"Betul, Pak Togar. Jujur saya takut Bapak masih terbawa emosi. Nanti kalau terjadi apa-apa takutnya Bapak menyesal. Anak remaja memang sedang bandel bandelnya, Pak. Tapi mendisiplinkan nya tidak dengan kekerasan," imbuh Pak RW.
Tante Mery berbisik pada Papa dan segera menyeret Papa pulang. Wanita itu memandangku sinis seolah dari tatapan matanya ingin berkata, "Awas kamu, tunggu saja lain waktu!"
Aku bergidik ngeri memandang tatapan Tante Mery padaku.
Setelah Papa dan Tante Mery pulang, Pak RT dan pak RW memintaku dan Bunda Dona masuk ke dalam rumah.
"Sudah, Bu. Silahkan di rawat luka-luka Nayara. Nanti kalau sudah tenang bisa diantar pulang," ujar Pak RT.
Bunda Dona memapahku masuk ke dalam rumah karena ternyata lengan dan dan betisku memar.
"Kamu ada apa, Nayara? Kok papamu itu sampai memukulimu seperti ini?" tanya Bunda Dona sambil mengoleskan salep anti memar dan obat luka sobek untuk beberapa bagian yg berdarah.
"Nayara enggak tahu, Bunda. Tadi Nayara sedang tidur, terus Papa jambak rambut Nayara sampai jatuh ke lantai," jawabku yang sebetulnya masih tak paham mengapa Papa begitu marah padaku.
"Masha Allah, mendisiplinkan model apa itu sampai menjambak rambut? Terus apa lagi yang Papamu buat, Nayara?" tanya Bunda Dona.
"Papa melempar bungkus kado dari kakak kelas Naya yang sempat hilang. Jadi Nayara tadi mendapat hadiah dari kakak kelas tapi belum sempat aku buka bungkusan itu terlanjur hilang. Nayara juga enggak tahu kenapa benda itu ada di tangan Papa," jelasku polos.
"Kamu pacaran? Mungkin papamu tidak setuju kalau kamu punya pacar," tebak Bunda Dona.
"Enggak, Bunda. Bang Rando memang bilang menembak Nayara. Tapi aku belum sepakat untuk pacaran. Cuma memang aku ada ngobrol di chat sama Bang Rando. Aku juga enggak tahu kapan Papa mengambil handphone aku," jelasku ketakutan.
"Ah, bunda mengerti. Nayara, mungkin papamu khawatir kamu terlibat pergaulan bebas makanya papamu semarah itu. Harusnya kamu jelaskan pada papamu kalau kalian belum pacaran," ujar Bunda Dona.
"Tapi kan Nayara belum pacaran, Bunda. Nayara malah curiga sepertinya ada yang mengompori papa jadi marah begitu," ujarku menyampaikan kecurigaan pada Bunda Dona.
"Hah? Maksud kamu apa, Nayara?" Bunda Dona semakin penasaran.
Sejenak aku menjadi ragu, apakah akan kusampaikan kecurigaanku pada Bunda Dona atau tidak. Bagaimana sebaiknya?