Siapa yang Berselingkuh
"Apa, siapa? Oh itu, cuma teman mama," jawab Mama sambil menyuapi Zio. 

"Tapi dia kok ngomong begitu di obrolan sama Mama?" protesku masih tak puas.

"Nayara kamu jangan kurang ajar ya sama, Mama! Jangan ikut campur urusan orang dewasa! Sudah mulai sekarang, kamu enggak boleh lagi pake handphone Mama untuk main!" bentak Mama sambil merebut telepon pintar dari tanganku. 

"Ma, maaf. Nayara hanya enggak ingin Mama pergi dari kami. Jangan pergi, Ma! Kasihan Kenzio dan aku," pintaku langsung memeluk Mama waktu itu. 

"Kamu jangan lebay deh! Mama enggak akan ninggalin kalian," ucap Mama melepas pelukanku, lalu sibuk berkutat dengan benda pipih berwarna silver miliknya itu. 

Benda yang di hari-hari selanjutnya selalu membuat Mama tersenyum-senyum sendiri. Membuat Mama mengabaikan aku dan Kenzio, karena terlalu asyik berbalas pesan dengan seseorang bernama 'Dia'.

[Naima, kamu sedang apa? Bidadariku, aku rindu. Datanglah di mimpiku malam ini]

[Aku bahagia memilikimu, Naima. Kapan kita bisa hidup bersama?]

[Apa yang menghalangimu pergi untuk hidup bahagia bersamaku, Naima? Bukankah suamimu sudah tidak mencintaimu lagi? Kau bilang dia berselingkuh. Kau bilang dia kerap kali bertelepon mesra dan pergi diam-diam dengan selingkuhannya itu!]

Aku terus membaca diam-diam pesan dalam telepon pintar Mama. Aku juga semakin penasaran pada sosok bernama 'Dia'? Siapa 'Dia'?Kenapa selalu menyuruh Mama pergi meninggalkan Papa?

Setiap kali membaca pesan-pesan itu, hati ini selalu bertanya-tanya. Kalau Mama pergi, lalu bagaimana aku dengan Kenzio? Apa kami berdua akan dibawanya serta atau ditinggal untuk hidup bersama Papa?

Waktu itu semuanya masih sangat samar. Tidak jelas bagaimana jalan ceritanya. Namun kini semuanya jadi semakin terkuak. Mama pergi meninggalkan aku dan Zio. Mama bahkan membawa semua buku tabungan dan perhiasan yang disimpan Papa untuk membiayai masa depan kami berdua.

***

"Nayara, tolong kamu bantu Kenzio mandi dan bersiap ya. Papa akan bikin sarapan untuk kalian," pinta Papa padaku sehari setelah mengetahui kepergian Mama. 

"Baik, Pa," jawabku sambil bergegas membangunkan Zio di kamarnya. 

Kutarik tubuh adikku untuk bergegas mandi dan siap-siap ke sekolah. 

"Zio bangun cepat! Sekarang tidak ada Mama. Tidak ada lagi yang memandikan dan menyuapi kamu untuk sarapan! Kamu bangun atau kita terlambat ke sekolah!" omelku sambil terus menarik tubuh Kenzio. 

Adik lelakiku itu terus saja memejamkan matanya dan malas-malasan. Aku sampai kesusahan dibuatnya. Kenzio memang sangat manja dan bergantung pada Mama. 

Kenapa Mama tidak membawa Kenzio? Bukankah Mama begitu menyayangi Zio?

Untukku yang masih tiga belas tahun kala itu semuanya terasa begitu samar dan menakutkan. Aku sungguh tidak mengerti bagaimana rumitnya hubungan orang dewasa. 

"Nayara! Kenzio! Ayo sarapan dan papa akan antar kalian ke sekolah!" teriak Papa dari dapur. 

Aku susah payah menyeret Kenzio untuk segera mandi dan berpakaian. Kubantu Zio merapikan tas dan buku-buku pelajarannya. Aku melakukannya sambil terus bertanya-tanya dalam hati, "Ma, apakah Mama bisa tidur nyenyak meninggalkan kami berdua?" 

"Kak, aku masih kangen Mama. Ingin Mama pulang dan kembali sama-sama kita," gumam Kenzio mulai merajuk. 

"Zio, kita enggak punya banyak waktu untuk menangis. Sekarang yang penting kita belajar mandiri dulu, kita harus jadi anak pintar supaya Papa dan Mama bisa baikan lagi," pintaku pada Kenzio. 

"Iya, Kak," jawab Kenzio patuh. 

"Ayo, kita sarapan. Kasihan Papa yang udah masak buat kita. Inget ya, Zio. Kalau masakan Papa enggak enak, kamu makan saja. Jangan protes dan jangan dibuang," nasihatku pada Kenzio. 

Bocah delapan tahun itu mengangguk. 

Kami lalu sarapan, sebuah telur ceplok kering yang keasinan dan nasi panas yang kurang air saat memasaknya menjadi sarapan kami pagi itu. Kenzio sudah mau protes karena pasti tak enak di lidahnya. Tapi aku memilih untuk memuji sarapan kami pagi ini.

"Pa, makasih ya udah dibikinin sarapan. Nayara sayang Papa," ujarku sambil memeluk Papa yang masih memakai celemek dapur. 

"Nay! Kamu ini apaan sih? Papa kan kotor habis masak. Nanti baju seragan kamu kena minyak!" protes Papa yang tidak suka berantakan itu. 

"Hehehe, maaf. Habis Nayara seneng banget Papa ada di rumah dan masak buat kami," jawabku melepaskan pelukan untuk Papa dan menghabiskan sarapanku. 

"Sebentar ya, papa siap-siap dulu. Lima belas menit lagi papa antar kalian ke sekolah," ujar Papa. 

Aku dan Kenzio mengangguk patuh. Kubantu Kenzio memakai sepatu lalu kusiapkan semuanya untuk kami berangkat sekolah. Iya aku yang harus menggantikan Mama melakukan semuanya untuk Kenzio. 

Tak apa, aku bahagia. Asal kami bertiga hidup rukun dan bahagia, aku rela. Karena aku masih berharap suatu saat Mama akan pulang dan berkumpul bersama-sama kami lagi. 

***

Namun jauh panggang dari api. Mama tak pernah kembali dan siang itu, ia bahkan membawa seorang wanita lain dalam hidup kami. 

"Nayara, Kenzio! Ini tante Mery. Tante Mery mulai minggu depan akan jadi Mama kalian di rumah ini. Tiga hari lagi, Papa akan menikahi Tante Mery," ucap Papa mengenalkan wanita itu pada kami. 

Hari itu tepat tiga bulan setelah menghilangnya Mama. Tepat sekian bulan lamanya kami hidup bertiga dengan segala kekurangannya, namun kami bahagia. Tapi rupanya mungkin hanya aku dan Zio yang bahagia, Papa tidak. Karena Papa membawa wanita baru yang akan dinikahinya menjadi mama pengganti untuk kami.

"Mengapa kita tidak hidup bertiga saja sih, Pa? Nanti kalau Mama pulang bagaimana?" tanyaku yang waktu itu masih juga belum paham peliknya urusan percintaan orang dewasa. 

"Kenzio enggak mau mama baru! Zio mau Mama pulang!" bentak Kenzio yang langsung berlari mengunci diri di kamarnya.

"Kenzio! Jaga sikapmu!" bentak Papa kesal. 

Papa sudah mau memarahi Kenzio tapi wanita itu melarangnya. Wanita yang sampai bertahun-tahun kemudian akan tetap aku panggil, Tante Mery, meski sudah berstatus istri Papa. 

"Papa butuh istri, Nayara. Kamu enggak akan bisa mengerti. Mamamu tidak akan pernah kembali lagi," jelas Papa singkat, padat dan jelas. 

Aku bisa apa kalau Papa sudah mengambil keputusan? Akhirnya aku hanya menerima semua yang sudah ditentukan oleh orang dewasa. Aku masih anak-anak, tidak akan didengar jeritan dan keluhanku meski batin ini menangis rasanya. 

"Aku hanya ingin kasih sayang keluarga utuh, Pa. Aku tidak ingin Mama baru. Tidak bisakah kita hidup bertiga saja?" ulangku lagi sambil meneteskan air mata. 

"Nayara! Jangan membantah! Nurut sama Papa!" tegas Papa sudah hampir memukulku. 

Aku menjauh dari Papa dan menyusul Kenzio masuk ke kamarku sendiri. 

"Enggak apa-apa, Mas. Nanti juga anak-anak kamu bakalan menerima kehadiranku," ujar wanita itu manis sempat kudengar. 

Aku hanya melirik tajam padanya sekilas lalu bergegas jalan ke kamarku. Aku lebih baik mengunci diri di dalam kamar. 

Pa, bukankah itu wanita yang Papa ajak jalan-jalan waktu itu? Wanita yang Papa gandeng dengan mesra di dalam lift ketika di Mall waktu itu? Aku masih ingat, Pa. Hanya saja, aku tak mau banyak bicara.

Komentar

Login untuk melihat komentar!