"Ma, tadi Nayara melihat Papa," ujarku pada Mama suatu hari berbulan-bulan yang lalu.
Sudah sangat lama aku mengatakannya pada Mama. Aku saja hampir lupa. Sepertinya saat itu ketika perpisahan dengan teman-teman SDku.
"Oh ya? Di mana?" tanya Mama waktu itu.
"Di Mall, waktu aku jalan sama teman-temanku tadi, Ma. Tapi anehnya Papa gandeng perempuan yang bukan Mama," lanjutku lagi.
"Kamu jangan sembarangan bicara, Nayara! Mungkin kamu salah lihat! Atau jangan-jangan imajinasimu itu mulai bermain lagi ya. Kamu berhalusinasi sehingga kamu mengarang cerita!" tegas Mama yang dilanjutkan dengan kemarahan yang lain.
Kenapa? Apa yang salah? Kok Mama marah?
"Aku enggak bohong, Ma! Aku enggak membual dan mengarang. Aku betulan lihat Papa sama perempuan bukan Mama. Mereka makan dan bergandengan tangan!" tegasku marah.
Iya aku marah pada Mama. Aku marah pada Mama yang tidak percaya padaku dan menuduhku macam-macam. Aku ini hanya ingin jujur menyampaikan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa aku salah?
"Papa enggak mungkin seperti itu. Papamu orang baik, Papa enggak mungkin selingkuh!" tegas Mama sambil menjewerku.
"Aw! Sakit, Ma! Aku enggak bohong! Aku juga enggak mengarang cerita. Aku jujur, Ma. Tapi kenapa Mama malah menjewer dan memarahiku?" tanyaku sambil menangis.
Aku menangis bukan karena sakit dijewer Mama. Siksaan fisik ringan seperti dicubit, dipukul dan dijewer sudah biasa aku terima. Tetapi aku menangis lebih kepada sakit hati karena Mama tidak mempercayai ucapanku dan menuduhku macam-macam.
Lagipula apa itu selingkuh. Aku tidak mengerti arti kata itu. Aku pernah mendengarnya beberapa kali dari teman-temanku. Namun aku masih belum paham benar apa makna dari kata selingkuh yang dilontarkan Mama.
Namun ucapan Mama itu membuatku berpikir ulang. Apa benar Papa selingkuh? Apa ita yang dilakukan pria dan wanita bukan suami-istri lalu jalan berdua dan bergandengan tangan itu dinamakan selingkuh?
Di lain waktu, aku menanyakan hal itu pada Papa. Entah mengapa meskipun Mama memarahiku dan menghukumiku macam-macam aku masih saja penasaran akan hal itu.
Hingga sebuah kesempatan muncul suatu waktu. Aku tiba-tiba saja ingin menanyakan hal itu pada Papa saat kami sedang bersama.
"Pa, Nayara boleh tanya sesuatu enggak?" tanyaku pada Papa.
"Nanya apa, Nak? Boleh dong," jawab Papa sembari fokus menyetir mobil. Waktu itu kami memang sedang jalan berdua saja tanpa Mama dan Kenzio.
Papa janji akan membelikan aku tas baru karena aku juara satu di kelas. Aku yang memang bintang kelas tentu saja menjawab tantangan Papa dengan mudah. Jadilah aku dapat hadiah dari Papa.
"Pa, selingkuh itu apa sih?" tanyaku pada Papa.
"Hei, kamu masih kecil! Tahu kata itu dari mana?" tanya Papa terkejut.
"Dari Mama," jawabku santai sambil memilin anak rambut panjangku yang menjuntai di pundakku. Kumainkan juga poniku sambil melihat kaca spion.
"Kok Mama kamu ngomong gitu! Emang kenapa?" tanya Papa semakin terlihat heran.
"Iya, aku cerita sama Mama, Pa. Kapan hari kan aku lihat Papa jalan sama teman perempuan Papa. Terus Papa gandengan tangan. Aku penasaran, Pa. Aku panggil Papa enggak nengok. Jadi aku ceritakan sama Mama," jelasku sambil memainkan ujung kardiganku.
"Hah? Kapan kamu lihat papa seperti itu? Serius kamu lihat papa? Di mana?" tanya Papa terlihat kaget dan mendadak tubuhnya menegang.
Aku selalu tahu saat Papa hendak marah dan mulai emosi. Rahangnya pasti mengeras dan wajahnya memerah. Lalu otot-otot tangannya pasti kelihatan karena Papa selalu meremas sesuatu saat sedang marah.
"Di mall wakut itu, Pa. Aku sedang jalan sama teman-teman. Awalnya aku enggak tahu. Tapi Maira yang menunjukkan padaku dia melihat Papa. Aku kejar Papa dan aku panggil-panggil tapi Papa udah masuk lift dengan teman perempuan Papa sambil bergandengan tangan dan ketawa-ketawa," jelasku panjang lebar.
"Nayara! Kamu salah! Kamu salah paham! Lain kali kalau melihat hal seperti itu kamu klarifikasi ke Papa dulu! Kamu tanya apa betul seperti itu! Jangan langsung kamu bilang Mama! Pantas saja Mamamu marah sama kamu! Kamu ini mulai nakal ya rupanya!" tegas Papa berapi-api.
Aku jadi ketakutan melihat Papa yang mulai meradang. Aku takut Papa mulai main fisik denganku. Papaku seorang pelaut tubuhnya kekar dan kuat. Kalau aku sampai dipukul Papa pasti rasanya berkali-kali lipat lebih sakit.
"A-ampun, Pa. Maafkan Naya! Nayara enggak ngerti kalau Nayara sudah berbuat salah," sahutku terbata. Air mata sudah menggenag di pelupuk mataku.
"Sudah, jangan menangis! Kita sudah mau masuk mall. Malu kalau dilihat orang kamu menangis! Hapus air matamu itu!" tegas Papa sambil memberikan selembar tisu padaku dengan tergesa-gesa.
Aku meraih tisu itu dan menyeka air mata yang sempat menggenang. Bertepatan dengan Papa yang sudah mendapatkan parkiran mobil, kami pun turun dan bergandengan masuk ke dalam mall.
"Ingat ya, Nayara! Kalau kamu melihat sesuatu kamu bilang ke orangnya dulu. Tanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan kamu langsung cerita yang akan membuat orang lain salah paham," nasihat Papa mengingatkan.
Papa menasihatiku sebelum kami memasuki sebuah toko buku yang cukup terkenal dan aku mulai memilih tas dan beberapa peralatan.
"Iya, Pa. Maafkan aku," sahutku menurut.
Aku lalu sibuk dengan aktivitasku sementara Papa kulihat tengah sibuk menelepon.
"Halo, iya. Sementara ini jangan menghubungi dulu. Sepertinya Naima sudah tahu hubungan kita. Iya, Nayara rupanya sempat melihat kita di Mall waktu itu!"
Sekilas kudengar Papa menelepon seseorang.
"Papa telepon siapa, Pa?" tanyaku saat menemukan tas yang sesuai. Niatku ingin menunjukkan pada Papa dulu sebelum kubeli.
"Ah enggak, cuma teman," jawab Papa sambil mematikan telepon. "Kamu mau itu?" tanya Papa.
Aku mengangguk.
Tanpa banyak bicara Papa segera menyetujui barang yang aku inginkan. Tak hanya itu, Papa juga menambah beberapa benda yang ingin aku beli. Kata Papa sekalian saja.
"Ingat ya, Nayara. Jangan bilang-bilang Mama soal papa yang tadi menelepon!" tegas Papa sembari membayari belanjaanku.
"Iya, Pa," jawabku.
Aku sangat sayang pada Papa. Sejak itu Papa sering membelikanku hadiah-hadiah kecil seperti baju dan tas baru. Juga sepatu dan banyak hal. Meski terkadang Papa terihat sembunyi-sembunyi melakukan sesuatu yang mencurigakan tetapi aku selalu berusaha jujur menanyakan semua yang kulihat pada Papa. Aku enggak mau di cap anak nakal oleh cinta pertamanku itu.
***
Di hari yang lain pada bulan dan waktu yang terus berjalan aku menemukan sebuah pesan di telepon pintar Mama. Aku waktu itu memang belum punya handphone dan masih sering pinjam handphone Mama untuk sekedar main game.
Sebuah pesan masuk ke telepon pintar Mama dengan sebuah nama kontak yang asing. 'Dia' begitu kontak itu di beri nama oleh Mama. Karena penasaran aku mencoba membuka pesan dari kontak itu.
[Naima, kalau suamimu tidak membuatmu bahagia. Aku rela kau datang kembali padaku. Aku akan membahagiakanmu]
"Hah? Siapa 'Dia' ini? Mengapa mengirim pesan yang aneh ke handphone Mama?" Aku bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau kamu melihat atau mendengar sesuatu yang aneh, tanyakan langsung ke orangnya dulu! Jangan melaporkan ke orang lain biar tidak salah paham!"
Teringat aku akan nasihat Papa. Maka aku bergegas dengan setengah berlari-lari kecil mendekati Mama.
"Ma, ini siapa? Kok kirim pesan ke Mama aneh begini sih?" tanyaku sambil menyerahkan telepon pintar itu pada Mama. Aku sudah melakukan hal yang benar kan?