Kamu Kenapa, Nayara?
Bunda Dona masih menunggu jawabanku, sementara bibirku terkatup rapat. Sungguh pada detik itu aku sangat bingung dan ketakutan. Aku ingin jujur dan bercerita semuanya pada Bunda Dona. Aku ingin mengeluarkan semua perasaan tidak nyaman dan sesak didalam dadaku. 

"Jangan takut, Nayara. Kamu jujur saja sama Bunda. Katakan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu," desak Bunda Dona. 

Aku membuka mulutku dan mulai bercerita pada Bunda Dona. 

"Nayara dipukul Papa, Bunda," jawabku dengan suara lirih nyaris tak terdengar.  

"Astaghfirullah haladzim! Benar dugaan bunda, kamu disiksa sama Papamu!" tegas Bunda Dona terlihat geram. 

Aku mulai berkaca-kaca. Ucapan Bunda Dona sungguh bagai oase di padang pasri untukku kala itu. Hanya Bunda Dona yang berusaha memahami aku. Wanita itu betul-betul tulus menyayangiku dibanding kedua orang tuaku aku juga ibu tiriku. 

"Bunda mendengar teriakanmu, Nay. Bunda mendengar kami menangis dan berteriak. Tapi bunda enggak bisa berbuat apa-apa. Maafkan bunda ya, Nayara. Bunda bukan siapa-siapa yang bisa menolongmu," bisik Bunda Dona memelukku. 

"Kamu dipukul papamu pakai apa?" tanya Bunda Dona lagi. 

"Ikat pinggang, Bunda," lirihku tak lepas menangis. 

"Itu yang dikepala juga?" tanya Bunda Dona lagi. 

Aku hanya mengangguk tanpa sanggup berkata-kata lagi. 

"Sudah, sudah. Tenang, Nay. Nanti bunda akan berusaha bantu kamu. Yang penting kamu harus kuat ya. Lekas sembuh ya, Nayara. Kalau ada apa-apa kamu bilang sama Bunda," bisik Bunda Dona takut-takut. 

Aku tahu Bunda Dona juga pasti khawatir kalau Tante Mery kembali ke kamar rawat inapku. Bagaimanapun waktu itu posisi Bunda Dona hanya tetangga. Bunda Dona tidak punya hak atau akses untuk membelaku. 

"Kamu kuat ya, Nay. Nayara harus bertahan!" bisik Bunda Dona sambil mengambil tisu dan mengusal air mataku. 

Aku mengangguk dengan rasa terima kasih yang sangat besar. Aku banyak berhutang budi pada Bunda Dona yang tinggal di depan rumahku tersebut. 

***

"Nayara! Kamu ini bagaimana? Peringkat kelas kamu turun drastis. Kamu yang biasanya selalu best 10 di kelas unggulan kok bisa nilainya berantakan begini? Kalau kamu tidak bisa memperbaiki nilaimu, kamu akan didepak dari kelas unggulan!" Bu Mona, wali kelasku tengah mendudukkan aku di ruang bimbingan dan konseling. 

"Maaf, Bu Mona," jawabku takut-takut.

"Sabar, Bu Mona. Mungkin Nayara lagi ada masalah," sahut Bu Sari. Beliau adalah guru BK yang menangani kelasku. 

Kedua guru itu sepertinya sedang bekerja sama untuk mencari akar permasalahan kenapa Nayara sang bintang kelas nilai-nilai semestenya kali ini bisa hancur berantakan. 

"Kamu ada masalah apa sih?" tanya Bu Mona. Pembawaannya yang memang orang Sumatera memang terkesan tegas. 

Aku hanya menggeleng lesu. 

"Kamu kalau ada masalah bilang. Jangan diam saja, biar ibu bantu carikan solusinya," jelas Bu Mona agak melunak. Wanita itu sepertinya merasakan ada yang tak beres denganku. 

"Cerita saja, Nayara. Rahasia kamu akan aman dengan kami," sahut Bu Sari lagi. 

"Nayara hanya sedang malas belajar, Bu," jelasku akhirnya. Aku tak mau pihak sekolah sampai tahu masalahku. 

"Kamu habis sakit bukan? Kemarin Ibu lihat kamu dapat surat istirahat dari dokter cukup lama," timpal Bu Sari mencoba mengorek keterangan. 

"Iya, kamu opname selama satu minggu, Nayara. Kenapa?" tanya Bu Mona. Raut wajahnya menapakkan sedikit kekhawatiran. 

"Iya, Bu. Saya dipukul eh ... jatuh dari tangga rumah saya," jawabku memilih meneruskan kebohongan yang disebar Papa dan Tante Mery. 

"Hah? Itu kepala kamu itu? Jatuh dari tangga? Enggak patah tulang?" tanya Bu Mona yang tiba-tiba menjadi iba padaku. 

Aku hanya menggeleng lalu tersenyum lemah. Hatiku masih masih sangat sakit mengingat kejadian tersebut. Setiap sabetan ikat pinggang Papa begitu terasa menyakitkan di kulit tubuhku. 

"Kamu benar Nayara jatuh dari tangga rumah kamu? Kok bisa apa kamu mengantuk?" tanya Bu Sari yang jadi ikut penasaran. 

"Ya, Bu Sari. Saya jatuh dari tangga karena kurang hati-hati," elakku merasa tak nyaman. Sungguh aku merasa harus berhati-hati menceritakannya agar kedua guruku tidak curiga. 

Entah mengapa aku tidak berani mengaku pada kedua guru itu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku takut jika aku mengatakan sebuah kejujuran, urusannya akan panjang dan akan membuat Papa serta Tante Merry dalam masalah. 

"Cukup aneh untuk orang yang baru jatuh dari tangga dan tidak patah tulang atau memar lebam," gumam Bu Sari.

"Saya hanya tersandung lalu kepala saya menghantam lantai, Bu," jawabku mencoba meyakinkan. 

"Oh iya, Nayara. Ibu mau tanya, kamu bener Papa-Mamamu bercerai?" tanya Bu Mona.

"Benar, Bu. Papa saya sudah menikah lagi," jawabku agak malu. Sebetulnya aku tak mau dikuliti masalah keluargaku seperti ini. 

"Apa karena itu prestasimu menurun? Karena kamu masih sedih kedua orang tuamu bercerai?" tanya Bu Sari.

Aku hanya menggeleng singkat.

"Keluargamu mungkin berpisah, Nayara. Tapi jangan sampai semua menjadi beban pikrianmu. Tugas kamu hanya belajar dan menjadi siswa yang terbaik. Supaya kedua orang tuamu bangga," nasihat Bu Mona. 

"Iya, Bu," jawabku sambil menunduk. Andai semudah itu aku kembali fokus belajar, prestasiku tidak akan hancur lebur. 

"Kamu kendalanya apa?" tanya Bu Mona bertanya lagi.

"Tidak ada, Bu. Mungkin Nayara hanya butuh menyesuaikan situasi saja, Bu. Nayara masih suka kangen Mama," jelasku sedikit curhat. Biar kedua guruku itu bisa sedikit memahami. 

"Kamu anak yang kuat, Nayara. Waktu mamamu pergi juga kamu masih bisa berprestasi. Sepertinya prestasi kami menurun lebih ketika Papamu menikah lagi. Kenapa? Kamu kecewa?" selidik Bu Sari yang memang selalu tahu cerita semua siswanya. 

Aku hanya bergeming, tak ingin menceritakan bagaimana istri baru Papa itu selalu saja mencari masalah denganku. Percuma, nantinya Papa dan Tante Mery pasti mengelak.

"Tapi ya sudahlah, kalau kamu memang tidak mau cerita tak apa. Cuma Ibu minta tolong kamu yang serius belajarnya. Ibu akan sangat menyayangkan kalau kamu sampai didepak dari kelas unggulan," nasihat Bu Mona. 

Aku hanya mengangguk tak nyaman sambil terus menunduk. Aku takut kedua guruku itu bisa  membaca kebohongan dan ketakutan dari mataku. Hingga sesi konseling berakhir aku hanya diam, menunduk dan mengangguk.

"Nay! Gimana? Aman?" Sastia mendekatiku yang baru keluar dari ruang BK.

"Ya gitu deh. Aku cuma ditanyain kenapa. Akhirnya aku jawab kalau aku jatuh dari tangga," jawabku pada Sastia.

"Kenapa enggak bilang kalau kamu disiksa Papamu?" tanya Sastia.

"Aku enggak bisa, Sastia. Kalau mereka dalam masalah nanti aku lagi yang disiksa," jelasku dengan mata berkaca-kaca. 

"Ya ampun, Nay. Aku sedih banget lihat hidup kamu kayak gini. Semoga segera ada jalan keluarnya ya, Nay," sahut Sastia memelukku. 

Aku berterima kasih dan kami berjalan beriringan ke dalam kelas. 

"Nayara, tunggu! Aku mau bicara!" sebuah suara mengagetkanku. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!