Aku dan Sastia sama-sama menengok. Rupanya Kak Rando yang manggilku. Dia adalah kakak tingkat dua tahun di atasku.
"St! Gebetan kamu tuh!" bisik Sastia sambil mendorongku.
"Ish, jangan berisik dong. Aku ke sana dulu ya," pamit Nayara pada Sastia.
Sahabatnya itu menangangguk lalu menunggu berjarak agak jauh dengan Nayara dan Rando berdiri.
Aku hanya tersenyum dan mendekati Bang Rando.
"Iya, ada apa, Bang?" tanyaku sambil bergerak mendekat.
"Ini buat kamu, bales secepatnya. Abang tunggu," ujar Bang Rando memberikan sebuah bungkusan pada diriku.
"Eh, apa ini? Abang ...?" Aku bertanya tanpa bisa melanjutkan kalimatnya karena grogi.
"Buka aja di rumah, jangan dibuka bareng Sastia ya. Aku malu," bisik Bang Rando sambil bergegas pergi.
"Apa itu?" tanya Sastia padaku saat aku kembali mendekatinya.
"Entah, Bang Rando kasih aku ini. Aku enggak boleh buka sebelum di rumah," jawabku mengulang ucapan Bang Rando.
"Cieee, ditembak kali kamu," canda Sastia sambil menggoda aku.
"Ih apaan sih? Jangan bikin aku kegeeran deh. Bang Rando itu idola di kelas tiga. Mana mungkin kakak kelas naksir upik abu macam aku?" elakku tak mau kegeeran.
"Aku doain deh semoga beneran ditembak. Kamu kan emang udah dari lama naksir Bang Rando," goda Sastia yang membuatku mencubit lengannya pelan.
"Aw! Sakit!" pekik Sastia dibuat-buat.
Bersamaan dengan pekikan Sastia, bel tanda jam pelajaran selanjutnya di mulai berbunyi.
Aku dan Sastia segera beranjak kembali ke kelas.
***
Sampai di rumah, aku meletakkan kado dari Bang Rando di atas meja belajarku di kamar. Kuletakkan pula tas sekolahku di kursi meja belajar dan bergegas membersihkan diri di dalam kamar mandi sembari mengganti baju.
Selesai melakukan ritual pulang sekolahku, aku lalu bergegas duduk di meja belajar. Tak sabar aku ingin membuka kado dari Bang Rando tersebut.
Namun betapa terkejutnya aku saat melihat kado dari Bang Rando sudah tidak ada. Aku coba memeriksa di sekeliling meja belajarku, barangkali aku lupa meletakkannya. Tetapi nihil, hingga ku periksa laci dan lemari meja belajar, tetap tak ada.
"Loh kok aneh! Ke mana kado dari Bang Rando ini hilang?" batinku penuh tanya.
Kembali kuperiksa ke dalam tas, di atas tempat tidur, hingga di bawah kolong. Namun aku tetap tidak bisa menemukan bungkusan yang diberikan Bang Rando padaku. Sampai aku berinisiatif menelepon Sastia, barangkali kado itu terbawa olehnya.
"Sasti, tadi kamu kebawa kado yang dari Bang Rando enggak?" tanyaku pada Sastia setelah dia mengangkat telepon.
"Loh kok kamu tanya aku, Nay? Seingetku kan tadi kamu udah masukin ke dalam tas kamu sendiri. Mana mungkinlah aku kebawa benda seperti itu, Nay? Orang yang dikasih Bang Rando kamu bukan aku," protes Sastia panjang lebar.
"Iya sih Sas. Aku sendiri merasa sudah membawa pulang dan meletakkannya di meja belajar. Tetapi setelah aku ganti baju dan membersihkan diri di kamar mandi, bungkusan itu enggak ada di meja belajar aku. Aku aneh kan?" jelasku pada Sastia.
"Eh, lah iya aneh betul! Bagaimana kok bisa enggak ada, Nay? Udah kamu periksa kolong tempat tidur, laci dan lemari di kamar kamu?" saran Sastia seperti yang telah aku lakukan.
"Sudah," jawabku singkat.
"Nayara! Coba deh kamu periksa di kamar Kenzio. Adik kamu itu, siapa tahu dia iseng," saran Sastia padaku.
"Nah, betul juga. Aku enggak kepikiran nih buat nanya Zio. Ya udah aku tutup dulu ya. Nanti aku telepon kamu lagi," sahutku pada Sastia.
Aku lalu mematikan telepon dan beranjak ke kamar Kenzio. Kulihat adik laki-lakiku itu sedang bermain handphone di kamarnya. Kenzo bahkan tidak mengalihkan perhatian dari benda pipih di tangannya itu ketika aku masuk.
"Zio, sibuk ya?" tanyaku pada Kenzio.
"Aku sedang war! Jangan ganggu, Kak!" tukan Kenzio mengancam. Bocah itu akhir-akhir ini memang sedang getol-getolnya bermain game.
Sudah kunasihati untuk tidak terlalu sering supaya tidak kecanduan. Tetapi Kenzio tidak mengindahkan peringatanku.
"Zio lihat bungkusan kado di kamar kakak enggak?"tanyaku pada Kenzio.
"Enggak!" jawabnya singkat.
"Zio ih main game melulu! Ganti baju dulu, Dek," nasihat Nayara sambil membantu adiknya melepaskan baju seragamnya.
Mau tak mau, Nayara kadang harus belajar melakukan pekerjaan menjadi Ibu untuk Kenzio.
"Kamu sudah makan?" tanya Nayara lagi.
Kenzio menggeleng tanpa mengalihkan pandangan dari telepon pintarnya. Bocah itu masih asyik saja bermain.
"Kakak ambilin makan ya. Kakak suapin," tawar Nayara pada adiknya.
Kenzio mengangguk singkat tanpa berkata-kata.
Nayara lalu bangkit dan turun ke lantai bawah untuk mengambil makanan bagi dirinya dan Kenzio.
"Mau apa kamu! Jangan ambil lauk itu! Itu kesukaan Papamu!" hardik Tante Mery saat Nayara ingin mengambil daging rendang.
Nayara hanya diam lalu beralih mengambil tempe dan tahu serta sayur sop. Ia hendak mengambil ayam goreng saat lagi-lagi Tante Mery mengomelinya.
"Makan secukupnya jangan serakah begitu! Kembalikan, itu kebanyakan!" perintahnya pada Nayara.
"Ini buat aku dan Zio, Tante!" bentakku kesal. Aku jadi terpancinh emosi melihat gelagatnya yang makin menyebalkan.
"Ayam gorengnya satu saja!" bentak Tante Mery benar-benar galak.
"Tante ini kenapa sih? Uang belanja juga dari Papaku! Aku berhak dong makan makanan ini! Ini uang Papaku!" bentakku kesal sambil mencomot dua potong ayam goreng dan meletakkannya di atas piringku.
Wanita itu hanya memandangku dengan tatap mata penuh kebencian. Ia tak akan berani menyakitiku. Wanita itu hanya suka memanas-manasi Papa untuk menyiksaku.
Kunaiki tangga dengan senyum kemenangan karena berhasil membawa makanan dengan lauk yang layak untuk aku dan Kenzio.
"Ayo makan dulu, Zio," pintaku sambil menyuapkan sesendok ke mulit Kenzio. Kenzio mengunyah makanannya masih sambil bermain game.
Adikku itu memang sangat kuat bermain game. Dia bisa berjam-jam duduk dan bermain lalu cuek dengan lingkungan sekitarnya. Makanya nilai sekolahnya tidak pernah bagus.
Aku sendiri menyuapkan sesendok setelah suapanku pada Kenzio. Kunikmati makan siang kamu perlahan sambil memainkan telepon pintar. Kubuka beberapa sosial media yang aku punya. Sejenak kami menikmati kebahagiaaan dengan cara kami masing-masing.
"Dek kalau sudah warnya, solat zuhur, ya. Kakak turun cuci piring dulu," pamitku pada Kenzio.
Bocah itu lagi-lagi hanya mengangguk tanpa menoleh padaku.
Aku turun lagi ke lantai satu, menuju dapur untuk mencuci piring. Ada beberapa piring dan gelas kotor si wastafel. Kubantu mencucinya, kupikir itu bayaran setimpal untuk makan siang enak kami siang ini. Meski sempat berdebat, setidaknya Tante Mery sudah menyajikan makan siang untuk kami.
Ketika naik ke kamarku, aku melihat tiga pesan masuk ke telepon pintarku. Satu dari Sastia, satu dari Kak Rando dan satu lagi obrolan grup sekolah.
[Gimana? Ketemu?] Sastia bertanya padaku.
Aku jawab dengan emoticon mengangkat bahu dan kedua tangan.
Setelah membalas pesan Sastia aku beralih membaca pesan Bang Rando.
[Nay, gimana? Kok belum kasih jawaban ke aku? Aku di tolak ya?]
[Hah, ditolak apaan, Bang? Aku belum buka kado kakak. Maaf kadonya ilang, Bang]
Aku mengirim pesan obrolan sambil membubuhkan banyak emoticon menangis. Aku takut Bang Rando marah.