Muallaf Takut Disunat

Ramon ingin masuk Islam sejak sering berdiskusi dengan teman sekantornya, Amin. Dia tidak bisa lagi mengelak dari panggilan hidayah. Amin selalu mampu memberi jawaban memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan kritisnya tentang apa itu Islam dan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim.  

Hatinya sudah mantap ingin segera berstatus muallaf. Tekad itu makin kuat karena Ramon melihat banyak teman-temannya yang dulu begajulan, berubah total sejak mendekatkan diri dengan ajaran Islam. Terlihat tenang, santun, dan bersahaja. Seolah tidak lagi resah dengan segala problematika kehidupan dunia. Mereka seperti terlahir sebagai manusia yang sama sekali baru. Ramon juga ingin seperti mereka. Menjadi manusia yang lebih baik.  

Motivasi Ramon semakin bertambah, ketika salah seorang selebritis papan atas Indonesia, yang kebetulan juga idolanya, jadi mualaf. Ya, Ramon memang sangat mengaguminya. Segala tindak tanduk seleb itu selalu jadi perhatiannya. Ketika dia memperkenalkan sebuah metode diet, Ramon ikut mencobanya. Si seleb mulai latihan binaraga, Ramon pun menirunya. Semua akun medsos sang seleb dia follow. Termasuk canel youtube-nya pun dia subscribe.  

Agar semakin memahami Islam, Ramon juga sudah mulai banyak bertanya dan belajar kepada Hamid, marbot Masjid dekat rumahnya. Ramon ingin, saat dia mengucapkan ikrar Syahadat nanti, sedikit banyak sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman untuk menjalani ajaran agama barunya kelak.  

Sejauh ini, Ramon merasa bisa menerima segala apa yang disampaikan Hamid. Dia merasa tidak akan berat-berat amat menjalankan ajaran Islam. Tinggal dua hal yang masih mengganjal. Pertama, pacarnya belum tahu akan rencananya itu. Kedua, disunat. 

Soal pacarnya, Siska, Ramon tidak terlalu khawatir. Dia yakin Siska amat mencintainya. Jika nanti tahu, Siska pasti tidak akan mempermasalahkan. Lebih dari itu, Ramon bahkan optimis akan bisa mengajak Siska jadi mualaf pula. 

Masalah kedua yang berat. Ramon takut disunat. Membayangkan bahwa ujung p*nisnya harus dipotong, membuat segala persendiannya terasa ngilu. Memang dibius. Namun, bius itu sendiri juga sebuah masalah baginya. Karena dia juga takut disuntik. Kejadian ketika dia sempat tidak bisa berjalan setelah disuntik di sekolah ketika SD dulu, menyebabkan dia phobia dengan jarum suntik. Jika tidak mengingat harus disunat ini, sebenarnya Ramon sudah siap bersyahadat sejak dulu. 

Suatu sore selepas Ashar, sambil duduk ngopi di teras masjid, Ramon menyampaikan keresahannya ini kepada Hamid. 

"Mid, aku takut disunat," ujar Ramon setengah berbisik. 

Hamid tersentak dan terkekeh geli. Saking gelinya, tawanya menyebabkan kopi setengah panas yang baru saja ia teguk, tersembur dari mulutnya dan membasahi lantai teras. 

"Ah, Lu, Bang, badan berotot gitu, takut disunat." Hamid kembali terkekeh. Dia masih sulit menahan geli. 

"Aku serius, Mid. Selama ini aku masih nunda-nunda Syahadat tuh, sebenarnya karena takut harus segera disunat aja. Padahal, hatiku udah mantap mau segera masuk Islam supaya bisa segera ikut belajar agama sama-sama dengan bapak-bapak lainnya yang rutin pengajian di masjid ini." 

"Yang Lu takutin itu, apanya, Bang?" Hamid mulai serius menanggapi. 

"Kan, ngeri, Mid, gimana sih Lu?" sungut Ramon. 

"Waktu kanak-kanak dulu, sering aku dengar teman-teman cerita, sunat itu sakit. Dan makin tua disunat, makin sakit rasanya, karena udah keras." 

Hamid yang tadinya udah mau serius, kembali pecah tawanya mendengar penuturan Ramon itu. 

"Heran gua, Bang. Lu ini keren, intelek, percaya aja sama cerita masa kanak-kanak gitu. Gini aja, deh, Bang. Lu browsing-browsing dulu, deh. Baca-baca tuh tentang macam-macam metode sunat jaman sekarang. Simpel dan gak sakit, kok. Atau Lu nonton tuh, film Upin-Ipin yang edisi sunatan, tuh. Biar Lu yakin kalau sunat itu gak sakit sama sekali." Hamid bicara sambil badannya terguncang-guncang karena ketawa terus.  

"Eh, ya, Bang, satu lagi, nih. Katanya, make love jauh lebih nikmat loh, jika p*nis udah disunat, hihihi." 

"Ah..yang bener Lu, Mid? Tau dari mana Lu?" Ramon kaget, tapi semringah mendengar penjelasan Hamid yang terakhir itu. 

Dia teringat pernah bablas bermesraan dengan Siska, dan akhirnya make love. Luar biasa nikmatnya "surga dunia" itu dia rasa. Nah, ini si Hamid bilang, jika sudah sunat akan lebih nikmat lagi. Sungguh, Ramon penasaran. Tiba-tiba saja rasa takutnya akan sunat menurun drastis.  

"Lah, kan gua bilang, itu katanya, Bang. Ya, Lu cari aja informasi lebih lanjut," Hamid berkata-kata sambil mengedip-ngedipkan matanya bermaksud bikin Ramon makin kesal. 

"Ah, sial, Lu, Mid, aku pikir Lu benar-benar tahu." 

***** 

Setelah obrolan sore itu, Ramon berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang sunat. Ternyata benar yang dibilang Hamid. Memang beragam metode sunat jaman sekarang. Ada sunat laser, metode klamp, smart klamp, dan lain-lain. Semua metode itu juga menjanjikan tidak ada rasa sakit dan masa penyembuhan yang sangat cepat. Malah ada yang selesai sunat bisa langsung pakai celana, segala.  

Tak lupa, Ramon juga mencari info tentang apa yang disebut Hamid terakhir ketika itu, benarkah sunat menambah kenikmatan bercinta? Dia 'searching' di google, dan muncullah banyak artikel tentang itu. Beberapa diantaranya ada pada media-media online terkenal. Satu persatu artikel itu dibaca Ramon. 

"Hmm, benar ternyata," gumam Ramon. Wajah nya terlihat yakin. Matanya berbinar-binar.  

Namun, sikap kritis Ramon muncul. Dia belum mau langsung percaya begitu saja pada artikel-artikel itu. Harus ditanya langsung pada yang sudah pernah merasakannya. Harus didengar kesaksian dari pelakunya. 

'Tapi, tanya sama siapa, ya? Teman-temanku yang Muslim tentunya tidak akan tahu. Sebab, mereka sudah disunat sejak kecil. Tentunya tidak bisa membandingkan gimana rasa 'make love' sebelum dengan sesudah disunat.' Ramon berpikir keras. 

"Koh Achin!" Tiba-tiba Ramon tersenyum girang. 

Dia teringat pengusaha serba usaha yang sering menjadi rekanan kantornya itu. Koh Achin jadi muallaf beserta keluarganya saat berumur 35 tahun dan telah menikah selama 10 tahun. Dia lah yang tahu beda rasa 'make love' sebelum dengan sesudah sunat. 

"Aku akan tanya dia." Ramon makin bersemangat. 

Tanpa menunggu lama, Ramon langsung menyambar hp-nya dan menelpon Koh Achin. 

"Halo, Koh Achin,  ini Ramon, sedang sibukkah? bisa kita ngobrol sebentar?"  

"Oh, ya, Pak Ramon, gak sibuk, kok. Gimana, Pak, ada yang bisa saya bantu?"  

"Gini, Koh,  tu de poin aja ya. Koh Achin kan muallaf setelah menikah. Benar, gak, Koh, 'make love' setelah jadi muallaf jauh lebih nikmat dibanding ketika belum mualaf?" Ramon tak sabaran, namun nada bicaranya tetap malu-malu. 

Tawa Koh Achin pecah mendengar pertanyaan Ramon. 

"Pak Ramon juga mau 'convert' to Islam? Alhamdulillaaahhh." Koh Achin langsung menyimpulkan.  

"Iya, Koh," jawab Ramon sambil nyengir. 

"Pak Ramon memang tepat bertanya soal itu ke saya. Itu memang benar Pak Ramon. Pak Ramon rasakan sendiri deh, nanti. Ruarrr biasaaa, pokoknya." Suara ketawa Koh Achin tak henti-henti meningkah kata-katanya. 

"Hmm, berarti benar ya, Koh? Trus, istri gimana, koh? Apa juga merasakan perbedaan?" Ramon tertawa kecil. 

"Wah ... Pak Ramon ini benar-benar penasaran rupanya. Apa perlu saya suruh istri saya yang jawab langsung?" Koh Achin ngakak. 

"Waduh, jangan, dong, Koh, malu saya," tukas Ramon juga diiringi tawa lepas. 

"Ya ya, saya bercanda, kok. Tapi, saya pastikan, istri juga merasakan hal yang sama. Dia bilang gini, loh, Pak Ramon. Dulu, sebelum  sunat, masuk ada rasa, keluar gak ada rasa. Setelah sunat, masuk ada rasa, keluar juga ada rasa." Kali ini Koh Achin terpingkal-pingkal saking geli dengan kata-katanya sendiri. 

"Serius, nih, Koh?" Ramon ikut ngakak mendengar kesaksian istri Koh Achin itu. 

Sudah yakin Ramon sekarang. Dia tak ragu-ragu lagi. Malah jadi ingin segera disunat dan bersyahadat. Satu masalah selesai. 

Tinggal masalah kedua, Siska. 

Ramon sangat mencintai Siska. Dia bertekat akan menikahi Siska dengan terlebih dahulu meng-Islamkannya. Ramon merasa harus bertanggungjawab karena sudah memerawani kekasihnya itu sebelum sah sebagai suami istri. 

Meskipun semua itu terjadi berulang-ulang karena saling rela, Ramon tetap merasa itu suatu kesalahan, baik menurut ajaran agamanya yang lama, apalagi menurut Islam.  

***** 

Malam minggu, Ramon menjemput Siska ke rumahnya, lalu mengajaknya makan malam di sebuah cafe yang suasananya tenang.  

"Tumben, nyari tempat makan agak jauh begini?" tanya Siska, sesaat setelah mereka mengambil tempat di meja yang paling pojok dan agak berjauhan dari tamu-tamu lainnya. 

"Iya, Sis, aku mau menyampaikan hal yang sangat penting. Menyangkut masa depan kita. Aku ingin pindah agama, Sis, dan Aku mau kau ikut aku. Karena aku ingin menikahimu. Kita harus menebus dosa kita di jalan yang benar. Dan aku yakin, ini jalan yang benar. Satu lagi yang penting, Sis, 'make love' setelah kita Islam nanti, akan jauh lebih nikmat. Mau, ya, Sis?" 

Kemudian suasana mendadak hening. Siska terdiam. Lama dia tak bereaksi sama sekali. 

Ramon pun kebingungan.