Aku Antar Suami Menikah
Pagi ini suamiku terlihat gagah dengan setelan jas dan peci hitam. Wajahnya terlihat cerah dan tak henti-henti dihias senyuman. Ya, dia tentu sedang sangat berbahagia, karena akan menikah untuk kedua kalinya. 

Dia berjalan perlahan menuju iring-iringan pendamping pengantin yang telah siap di halaman rumah, seraya menggandeng tangan kedua anak kami. Si sulung di sebelah kanan, dan si bungsu di kiri. Kedua darah daging kami itu juga terlihat gembira. Mereka bertiga mengambil posisi di bagian paling depan arak-arakan pengantin.

Tepat pukul 8 pagi, arak-arakan pengantin bergerak menuju mesjid tempat akad nikah. 

Aku ikuti iring-iringan itu. Langkahku terasa enteng. Semua rasa sakit yang bertahun-tahun mendera ragaku tak terasa lagi. Aku benar-benar merasa dalam kondisi terbaik.

Dengan sigap aku berjalan menyelusup diantara iring-iringan itu. Sampai akhirnya aku berada persis di belakang suamiku.

"Mas, jangan grogi ya. Usahakan ijab qabulnya sekali saja langsung sah," ujarku memberinya dorongan moril.

Dia diam saja. Bahkan seolah tak peduli padaku. Kedua anak kamipun sama sekali tak menoleh padaku. Mereka terus melangkah.

Sesampainya di mesjid, iring-iringan pengantin segera mengambil posisi duduk sedikit berjarak dari posisi meja akad nikah. 

Sedangkan suamiku telah duduk berhadap-hadapan dengan wali sang calon mempelai wanita. Penghulu dan para saksi juga telah siap. Akad nikah akan segera dilangsungkan.

Di sebelah wali, duduk calon pengantin wanita. Seorang perempuan yang sangat cantik. Raisa, teman baikku sejak kanak-kanak. 

Dia duduk menekur. Wajahnya tampak sendu. Sesekali dia mengusap matanya dengan sapu tangan. Seperti ada kesedihan yang menggelayut di hatinya. Meski demikian, dia tetap terlihat cantik dalam balutan gaun pengantinnya yang elegan.

Aku bergegas nendekat karena tak ingin melewatkan akad nikah yang sakral itu. Kembali langkahku terasa ringan. Aku terobos orang-orang yang duduk dengan khidmat. Tak seorangpun diantara mereka yang memperdulikanku. Mereka seolah tak menganggapku ada.

Akupun tak perduli. Aku terus bergeser ke depan dan duduk persis di sebelah kedua anakku. Posisi kami hanya beberapa inci di belakang suamiku yang sudah siap mengucapkan ijab qabul.

Penghulu segera memandu akad nikah.

"Wahai Amin, Saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku bernama Raisa Binti Mahmud dengan maskawinnya seperangkat alat sholat dan emas 50 gram, tunai", ujar wali pengantin wanita dengan suara lantang dan tak terputus-putus.

"Aku terima nikahnya anak perempuan Bapak bernama Raisa Binti Mahmud dengan maskawinnya seperangkat alat shalat dan emas 50 gram, tunai," jawab suamiku juga dengan suara lantang dan tanpa terputus.

"Bagaimana para saksi? Sah?" Tanya penghulu.

"Sah!"sahut kedua saksi mantap.

"Alhamdulillaah..."

Terdengar seluruh hadirin bergemuruh mensyukuri ijab qabul yang baru saja berlangsung dengan lancar.

Kemudian, satu-persatu kerabat menyalami kedua pengantin. Suamiku tampak semakin sumringah. Tawanya lepas setiap bersalaman.

Namun, Raisa justru sesegukan. Dia tak henti-henti mengusap matanya dengan sapu tangan. Tangisnya pecah tak tertahankan lagi.

Tiba giliranku menyalami dan mengucapkan selamat kepada mereka. Aku dekati Mas Amin. Tapi dia tidak acuh. Bahkan sorot matanya sama sekali tak tertuju padaku. 

Aku ulurkan tangan untuk menyalami dan mencium tangannya. Tapi dia tidak merespon. Aku kecewa.

Aku beralih pada Raisa. Aku peluk dia. Tapi dia juga seolah tak merasakan kehadiranku. Dia masih saja terus terisak dalam tangisnya.

Tiba-tiba tubuhku gemetar. Sebuah bisikan lembut namun berwibawa memanggilku.

"Isyana, waktumu sudah habis, Aku harus membawamu kembali."

Seberkas cahaya yang sangat menyilaukan berkelebat menyambar tubuhku. Membawaku kembali ke alam kubur.