Dilema Janda
Dewi, Sinta dan Ranti telah bersahabat sejak kecil. Sampai sekarang, di usia yang sudah mendekati kepala empat mereka masih selalu menyempatkan 'meet up', setidaknya sekali sebulan. Sekedar melepas kangen dan menjaga silaturahmi. Seperti sore ini, mereka ketemuan di sebuah cafe bernuansa 'classy'.

Meski sama-sama mapan secara finansial, mereka bertiga berbeda nasib urusan jodoh. 

Dewi sudah dilamar oleh seorang pria yang berkarir sebagai birokrat saat masih kuliah. Usianya masih 21 tahun ketika itu. Pria itu lebih tua 10 tahun daripada Dewi. Malang, perjodohan mereka dipisahkan oleh maut. Sang suami meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan tunggal di jalan tol. Untungnya, meski dulu segera menikah, Dewi tetap menyelesaikan kuliahnya dan kemudian bekerja serta memiliki karir yang lumayan bagus di sebuah perusahaan swasta yang cukup bonafid. Sehingga tidak ada persoalan dengan ekonomi keluarganya sepeninggal suami. Dia dan 3 orang anaknya bisa hidup sangat layak.

Sinta juga sudah menikah dengan seorang wirausahawan 2 tahun setelah dia lulus kuliah dan bekerja di sebuah bank swasta nasional. Sampai sekarang, Sinta tetap berkarir dan pernikahan mereka berjalan baik-baik saja dengan sepasang anak yang masing masing masih seusia SMP dan SD.

Sedangkan Ranti, masih melajang sampai sekarang. Entah kenapa dia memilih tidak menikah. Padahal Ranti cantik. Yang suka pada dia juga tidak sedikit. Sejak SMP banyak cowok yang naksir dia. Tapi, entah kenapa, Ranti tidak pernah pacaran. Dia seolah terobsesi mengejar prestasi akademik. Saat ini, di usia 37 tahun, dia sudah bergelar doktor.

Karena sudah bersahabat sangat lama, mereka saling terbuka. Hampir tidak ada rahasia diantara mereka. Bahkan untuk hal-hal yang sangat pribadipun, terkadang mereka tidak sungkan saling terbuka bercerita. Tidak pernah ada jaim-jaiman.

Sinta, yang meskipun saat ini boleh dibilang paling lengkap kehidupannya, tidak pernah merasa lebih dari pada kedua orang sahabatnya itu. Dia tidak suka mengomentari apalagi merecoki kehidupan mereka. Tidak pernah sok menasehati. Lebih banyak mendengar saja ketika mereka bercerita atau berkeluh kesah, dan baru mau berkomentar, berpendapat, atau memberi saran jika diminta. 

Sore itu, seperti biasa, mereka hanya ngobrol ringan. Bahannya itu itu saja sebenarnya. Mengilas balik masa SMA dengan segala pengalaman serunya yang memancing tawa. Kemudian cerita soal******bengek dunia pekerjaan. Dan tentu saja isu-isu sosial politik terkini yang dibahas secara santai. 

Setelah satu jam ngalor ngidul sambil makan dan minum, obrolan mereka terjeda. Sinta dan Ranti sibuk dengan gadgetnya. Membalasi pesan-pesan WA yang masuk. Sementara Dewi, hanya diam dan menunduk sambil mengaduk-aduk capucino nya yang masih tersisa setengah. Namun, pikirannya sepertinya sedang menerawang. Sejak awal, Dewi memang tidak serame biasanya.

Ketika Sinta dan Ranti sudah berhenti memainkan hp mereka dan kembali ngobrol pun, Dewi masih saja terlihat melamun. "Eh, Wi, kenapa kau? Ada masalah?" tanya Ranti karena melihat Dewi agak murung.

"Iya, Wi, gak biasanya kau kurang bersemangat begini, ada apa?" Sinta menimpali.

Dewi mengangkat kepalanya yang sejak tadi menekur ke gelas capucino, kemudian menoleh ke arah Ranti. "Ran, kau tidak menikah apa baik-baik saja?" Tanya Dewi pelan.

"Maksudmu?" Ranti balik bertanya. Dia sedikit kaget dan agak heran dengan pertanyaan Dewi itu. Sebab, selama ini, kedua sahabatnya itu memang tidak pernah mempertanyakan itu. 

"Mm, gimana ya? Agak susah aku ngomongnya," Dewi terlihat bimbang mau melanjutkan.

"Ah, kau ini, kayak kita ini orang lain aja. Selama ini hal apa sih yang tidak bisa kita bicarakan? Semua kita bahas terbuka kan? Kenapa sekarang tiba-tiba kau susah ngomong kayak ayam abis nelan karet gitu? Ayo cerita, gak usah sungkan," Kata Ranti sambil tersenyum lebar.

"Iya, Wi, ada apa sih? Cerita aja," Sinta kembali menimpali.

"Maksudku, apa kau tidak pernah 'horny'? Tidak pernah merasakan dorongan biologis? Tidak menginginkan kehangatan dari seorang laki-laki?" 

"Oh, itu maksudmu, hehe. Nggak tuh", jawab Ranti santai. Kenapa memangnya? 

Sinta yang mulai paham, kemudian berusaha berempati. "Maaf, Wi, aku simpulkan, kau sudah mulai sulit menahan hasrat ya?"

"Iya Sin, sudah setahun aku menjanda. Kau pasti pahamlah, seumuran kita ini hasrat masih bergelora. Sulit rasanya saat hasrat itu tiba. Apalagi ketika baru selesai haid. Hasrat menggebu-gebu, namun tidak bisa tersalurkan. Kau paham kan gimana beratnya kondisi demikian? Tersiksa rasanya."

"Iya Wi, aku sangat paham. Kau harus segera menikah lagi." Dalam hati, Sinta membenarkan semua yang dikatakan Dewi. Dia sendiri juga merasakan. Ketika gairah sedang tinggi-tingginya, tak jarang dia yang duluan menarik suaminya ke kamar.

"Iya, aku kan gak menutup diri, Sin. Aku memang masih sangat ingin menikah lagi. Cuma memang belum ketemu jodoh aja. Para gadis aja susah dapat suami jaman sekarang. Apalagi aku, janda dengan anak tiga. Padahal, aku sudah sangat butuh suami. Jujur aja, semasa suamiku hidup, dia selalu memberi nafkah batin yang melimpah untuk ku. Makanya sangat berat bagiku dengan kondisi sendiri seperti sekarang.

Mendengar obrolan Dewi dan Sinta itu, Ranti hanya bengong. Dia baru tahu, ternyata begitu rasanya kalau perempuan yang sudah pernah merasakan kehangatan laki-laki, kemudian tidak bisa mendapatkannya lagi. Tersiksa hebat. 

Namun, Ranti juga kepikiran. Kenapa selama ini dia tidak pernah merasakan gejolak hasrat biologis seperti dialami Dewi dan yang juga diakui oleh Sinta? Apa dia tidak normal? Atau mungkin karena hasratnya itu belum terpicu? Dia memang belum pernah disentuh sama sekali oleh laki-laki, karena belum pernah pacaran. Apa mungkin karena itu hormon estrogen dan progesteron yang menjadi pemicu hasrat seksualnya tidak bekerja sebagaimana mestinya? Ranti hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Yang pasti, sampai saat ini dia merasa enjoy-enjoy saja. Tidak merasa ada dorongan biologis yang kuat yang membuat dia merasa sangat butuh laki-laki.

Ranti akhirnya memilih diam. Dia merasa tidak punya kompetensi untuk ikut berpendapat atas masalah Dewi. Biarlah Sinta aja. 

"Andai tak ingat dosa, rasanya ingin aja aku tarik laki-laki dari jalanan untuk bisa mengguncang ranjangku," lanjut Dewi.

"Husshh, ngaco kau, Wi," sewot Sinta.

"Hehe, gak kok, aku cuma bercanda. Tapi, ya gitulah Sin, aku benar-benar tersiksa. Mungkin aku termasuk punya gairah tinggi. Aku khawatir, lama-lama aku gak tahan, sementara jodoh belum juga ketemu dan akhirnya tergoda oleh suami orang. Atau malah terjebak dosa, melakukannya dengan laki-laki bayaran. Doakan aku supaya sabar ya, Sin, Ran."

Ranti hanya tersenyum mendengar kata-kata getir Dewi itu. Dia tidak berani berkomentar apa-apa.

Sedangkan Sinta masih tetap berusaha menguatkan Dewi dengan nasehat-nasehat normatif. "Perbanyak ibadah Wi, terutama berpuasa. Mudah-mudahan itu akan bisa mengalihkan dan mengendalikan hasratmu itu."

"Ya, sejauh ini memang itu yang aku lakukan, Sin. Tapi, ya, tetap saja berat. Puasapun tak banyak membantu. Okelah selama puasa hasrat terkendali karena fokus puasa, menahan lapar dan dahaga. Tapi setelah berbuka, di malam hari, dorongan itu tetap saja muncul. Tak ada obatnya yang mujarab selain aku harus segera menikah lagi."

Sinta dan Ranti hanya bisa manggut-manggut mendengar keluh kesah sahabat mereka itu. Benar-benar berat masalah Dewi ini. Sulit dicarikan jalan keluarnya.