Hari 21-25
Hari Ke-21
Fatimah Az-Zahra
Menangis Kehilangan Kakak-Kakaknya

Masa-masa kecil Fatimah berlimpah kasih sayang dari kedua orang tuanya, juga dari ketiga kakak perempuannya. Dia mendapatkan segala keteladanan ayah dan ibunya. Dia sering berjalan-jalan menemani ayahnya menyaksikan sudut-sudut kota Makkah. Ibunya memperlakukan dia dengan cinta dan menempanya dengan keimanan. Sedangkan ayahnya sangat mengistimewakan Fatimah. Jika putrinya marah, beliau ikut marah. Jika putrinya bahagia, Rasulullah pun ikut bahagia.
Kakaknya yang paling besar, Zainab sangat besar kasih sayangnya kepada Fatimah. Ketika Zainab menikah dengan ‘Ash bin Ar-Rabi’, Fatimah merasa sangat kehilangan karena kakaknya harus ikut pindah ke rumah suaminya. 
Meskipun Fatimah sedih, dia masih terhibur karena masih bisa bersama-sama menjalani hari-hari bersama kedua kakaknya yang lain, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Hanya saja, kebersamaan tiga orang bersaudara itu pun tidak berlangsung lama. Ruqayyah dan Ummu Kultsum dilamar oleh dua orang putra Abu Lahab, yaitu Utbah dan Utaibah. 
Kini Fatimah tinggal sendiri. Dia benar-benar kehilangan ketiga orang kakaknya. Ketika dua kakaknya itu menikah, Fatimah menangis. 
“Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai putriku?” Tanya Khadijah.
“Jangan biarkan seseorang mencabut aku darimu, wahai ibu dan ayahku. Sungguh aku tak mampu berpisah dari kalian berdua,” ungkap Fatimah.
Khadijah tersenyum mendengar ucapan putrinya. Dengan penuh cinta, Khadijah berkata, “Engkau tidak akan meninggalkan kami, Anakku. Kecuali jika engkau menginginkannya.”







Hari Ke-22
Fatimah Az-Zahra
Menjalani Kehidupan Sederhana Bersama Ali

Jika dibandingkan dengan ketiga kakaknya, kehidupan Fatimah tidaklah seberuntung mereka dalam hal harta dan kehidupan. Fatimah dan Ali hidup bersahaja. Meskipun demikian, kondisi seperti ini tidak mengurangi rasa bersyukur Fatimah. Fatimah memiliki satu hal yang tidak dimiliki oleh kakak-kakaknya, yaitu dia mendapatkan suami yang berilmu dan agamanya kuat. Seperti yang sudah kita ketahui, Ali termasuk generasi Islam pertama kali yang menjadi Muslim dalam usia yang masih begitu muda. Sementara dalam keilmuan, dia digelari sebagai pintu gerbangnya ilmu. Jadi sebelum memasuki kota ilmu (Rasulullah), tentu semua orang pasti akan melewati dulu pintu gerbangnya (Ali). 
Inilah keberutungan Fatimah yang tidak dimiliki kakak-kakaknya. Ali dan Fatimah saling mengasihi satu sama lain. Saling bantu dan saling menjaga. Pekerjaan-pekerjaan yang berat seperti mengambil air dilakukan oleh Ali.
Ali pernah menceritakan kenangan hidupnya bersama Fatimah. Dia mengatakan bahwa ketika menikahi Fatimah, dia tidak memiliki ranjang untuk tidur. Hanya tikar berbahan kulit domba yang dia punya. Tikar ini digunakan sebagai alas tidur di malam hari dan digunakan sebagai tempat duduk. Untuk mengurus rumah, Fatimah dan Ali tidak punya pembantu, jadi Fatimah mengurus semuanya sendiri. Dia juga tidak lupa menyenangkan suaminya dengan berhias mempercantik dirinya tanpa berlebihan selama berada di rumah.
Saat menikah, Rasulullah membekali Fatimah dan Ali dengan beberapa jenis barang, seperti selimut, bantal dari kulit yang diisi rumput kering, dua alat  penggiling gandum, sebuah wadah minuman, dan dua buah tempayan (guci). Fatimah ikhlas hidup sederhana, makan seadanya. Makanan dan minuman yang dimiliki keduanya bukan hanya sedikit, bahkan keras dan kering. 
Fatimah tidak pernah mengeluhkan kehidupannya yang sangat sederhana. Dia mewarisi kesabaran Rasulullah. Justru dia gunakan kondisi seperti itu sebagai kesempatan bagi dia untuk mendalami Islam. Ali mengajarinya sehingga Fatimah menjadi sosok yang makin mencintai ilmu. Fatimah mampu meriwayatkan hadis dari ayahandanya. Selain itu, dia juga pandai menggubah syair. 




Hari Ke-23
Fatimah Az-Zahra
Anak-Anaknya yang Mulia

Fatimah dan Ali dikaruniai anak sebanyak 5 orang. Satu orang yang bernama Muhassin meninggal saat masih kecil. 2 Orang laki-laki, yakni Hasan dan Husain. Dua orang perempuan yaitu, Zainab dan Ummu Kultsum. Mereka pada tahun yang berurutan. Hasan lahir pada tahun ketiga Hijrah. Menyusul setahun kemudian, Husain. Lalu Muhassin dan Zainab. Ummu Kultsum menjadi pengecualian. Dia lahir berjarak dua tahun dari Zainab. 
Nama tiga anak laki-laki: Hasan, Husain dan Muhassin merupakan pemberian dari Rasulullah. Dalam riwayat Imam Ahmad diceritakan, pada awalnya Ali hendak menamai ketiga anaknya ini Harb (perang) karena dia senang berperang. Kemudian Rasulullah menamai mereka seperti itu mengikuti nama anak-anak Harun, yaitu Syabbar, Syabir, dan Musyabbir. Dalam hadis lain disebutkan pula Ali hendak memberi nama Hasan dengan Hamzah dan Husain dengan Ja’far. Tapi Rasulullah mengganti nama kedua cucunya. Sedangkan kedua cucu perempuannya, Rasulullah menamai keduanya sama dengan kedua kakak Fatimah, Zainab dan Ummu Kultsum.
Hasan dan Husain memiliki kemiripan dengan kakeknya. Ali berkata, “Hasan itu menyerupai Rasulullah dari dada sampai kepala. Sedangkan Husain menyerupai Rasulullah pada tubuh bagian bawahnya (di bawah dada sampai kaki).” (HR. At-Tirmidzi).
Rasulullah sangat mencintai cucu-cucunya. Belia sering memeluk, mencium, dan bercanda dengan Hasan dan Husain. Bila salah seorang dari keduanya menaiki punggung beliau saat  bersujud, Rasulullah memanjangkan sujudnya. Saat Rasulullah berkhotbah, muncul Hasan dan Husain. Beliau turun dari mimbar menemui keduanya. Beliau memeluk dan memangku kedua cucunya lalu kembali ke mimbar. Kedua cucunya beliau bawa ke mimbar. 
Dari Usamah bin Zaid, “Rasulullah memegangku dan mendudukkanku pada salah satu paha beliau. Beliau juga mendudukkan Hasan pada pahanya yang lain. Kemudian beliau mendekap kami sambil berkata, Ya Allah sayangilah mereka berdua karena sesungguhnya aku menyayangi keduanya.” (HR. Bukhari)





Hari Ke-24 
Keluarga Ali & Fatimah
Sang Kakek Menengok Kedua Cucunya

Rasulullah Saw. sering menjenguk kedua cucu tercintanya, Hasan dan Husain. Suatu saat, Rasulullah masuk rumah anaknya. Fatimah dan Ali tengah lelap tertidur. Sementara cucunya, Hasan menangis karena lapar. Sang kakek tidak tega membangunkan kedua orang tuanya. 
Rasulullah pelan-pelan melangkah menuju kandang domba. Dia pun memerah air susu domba dan memberikannya kepada si kecil Hasan hingga tangisnya reda. 
Di waktu yang lain kejadian yang sama berulang. Adik Hasan, Husain menangis sementara ibunya tengah sibuk di dapur. Rasulullah segera masuk rumah Fatimah dan menegurnya, “Wahai Fatimah, tidakkah kamu tahu, tangisannya membuatku sakit.” 
*
Kunjungan berikutnya, Rasulullah mendapati kedua cucunya, Hasan dan Husain tak ada di rumah. Rasulullah bertanya, “Dimana anak-anakku, Hasan dan Husain?”
“Pagi ini tak ada makanan yang bisa dimakan. Ali mengajak mereka berdua ke rumah seorang Yahudi. Ali bekerja di sana,” jawab Fatimah.
Rasulullah segera menyusul Hasan dan Husain. Dia mendapati kedua anak itu tengah bermain. Di tangan keduanya terdapat sisa-sisa kurma. Rasulullah menegur Ali, kenapa tidak menyuruh kedua anaknya pulang biar tidak kepanasan. Ali meminta Rasululllah untuk menunggunya agar dapat mengumpulkan kurma untuk Fatimah. Rasulullah pun menungguinya bersama kedua cucunya.
Ali terus menimba air. Satu timba air dibayar dengan sebutir kurma. Setelah kurma terkumpul agak banyak barulah mereka pulang menemui Fatimah yang tengah berharap sesuatu untuk bisa dimakan. 
*
Suatu hari, Usamah bin Zaid menemui Rasulullah. Saat berbicara dengan Rasulullah ia melihat sesuatu yang aneh menonjol di balik jubah Rasulullah. Tonjolan itu bergerak-gerak. Rasulullah terlihat bersusah payah memegangnya. Usamah yang penasaran bertanya kepada Rasulullah. Sambil menyungging senyum Rasulullah, membuka jubahnya. Rupanya sosok Hasan dan Husain bersembunyi di balik jubah. Kedua bocah itu tertawa sangat senang.    











Hari Ke-25
Hasan dan Husain bin Ali
Mengajari Orang Tua Berwudhu yang Benar

Hasan dan Husain memang kakak beradik yang kompak. Belajar dan bermain selalu bersama. Kemana-mana selalu bersama. Saat kumandang azan terdengar, keduanya dengan penuh semangat berangkat ke masjid. 
Saat keduanya hendak hendak berwudhu, seorang kakek tengah berwudhu. Mereka perhatikan cara dan urutan membasuh anggota wudhu yang dilakukan kakek itu salah. Hasan dan Husain paham kalau wudhunya tidak sah, maka tentu shalatnya pun juga tidak sah. 
Sejenak keduanya berpikir bagaimana caranya mengajari kakek itu berwudhu yang benar. Mereka segan dan malu. Umur mereka masih sangat belia, sementara si kakek sudah sangat lanjut usianya.  
Ahhaaa… tiba-tiba muncul ide. Hasan dan Husain pun membuat sandiwara. Mereka berdua berpura-pura bertengkar. Pertengkaran mereka mengusik si kakek yang sudah siap masuk masjid untuk shalat. Hasan dan Husain mencegat kakek itu. Mereka berdua meminta si kakek untuk menilai wudhu siapa yang terbaik diantara mereka berdua. 
Si kakek mulai menyaksikan wudhu mereka satu persatu. Hasan berwudhu dengan cara dan urutan yang benar sesuai hukum fiqih. Kemudian disusul Husain yang juga melakukan wudhu dengan benar. 
Si Kakek tertegun begitu ditanya, “Bagamiana dengan wudhu kami, Kek?”
Tak ada yang salah dengan wudhu kedua kakak beradik itu. “Wudhu kalian sudah benar. Wudhu kakek ternyata yang masih salah.”
“Benarkah, Kek?” Hasan dan Husain kompak menanyakan lagi.
“Ya. Wudhu kakek yang salah. Aku sangat bersyukur ada anak-anak seperti kalian yang bisa menjelaskan padaku cara wudhu yang benar,” ucap kakek terharu.
Kemudian si kakek mengulangi lagi wudhunya. Tentu kali ini dengan cara dan urutan yang benar. Hasan dan Husain sangat senang bisa mengajari kakek itu berwudhu tanpa mengguruinya. Kakek, Hasan dan Husain segera menuju masjid untuk menunaikan shalat.